1. Latar Belakang.
Pengkajian terhadap peranan penduduk sebagai sumber daya manusia dalam pembangunan ekonomi merupakan hal yang sangat mendasar. Hal ini mengingat penduduk adalah subyek dan sekaligus obyek pembangunan. Peranan penduduk di satu pihak dapat diandalkan sebagai modal dasar pembangunan, serta mampu menyerap output yang dihasilkan oleh perekonomian sehingga mampu untuk meningkatkan Pendapatan Nasional. Namun disisi lainnya penduduk yang besar akan menjadi beban pembangunan dan akan dapat menimbulkan problema dalam segala aspeknya. Modal dasar atau beban pembangunan terletak pada kualitas penduduk itu sendiri, bukan pada jumlah atau kuantitas penduduk.
Diantara permasalahan yang timbul ke permukaan berkaitan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk adalah ketidakseimbangan antara pertumbuhan lapangan pekerjaan dengan semakin bertambahnya tenaga kerja setiap tahunnya. Hal ini akan menimbulkan kelebihan penawaran tenaga kerja dibandingkan dengan permintaannya. Sehingga fenomena ini memunculkan adanya pengangguran dalam perekonomian.
Pengangguran, di satu sisi menunjukkan adanya selisih antara permintaan (demand for labor) dan penawaran tenaga kerja (supply of labor) dalam suatu perekonomian. Diluar itu terdapat juga sebab-sebab non ekonomis seperti pranata, sikap dan pola tingkah laku yang berhubungan dengan pengamanan hak kerja, serta keinginan si penganggur untuk menerima jenis pekerjaan yang lebih cocok dengan kualifikasi, aspirasi atau selera mereka. (Munir, 1985)
Masalah pengangguran makin hari makin meningkat. Sejak krisis global melanda banyak perusahaan gulung tikar dan mem PHK kan sejumlah karyawannya (Riau Pos, 12 November 2008). Demikian headline yang dimuat sebuah harian di Propinsi Riau. Adanya fenomena itu maka tidak dapat disangkal akan memunculkan sejumlah pengangguran baru yang pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan masalah sosial yang ada.
Dampak krisis ekonomi, terorisme, dan lain lain, makin menurunkan niat investasi dari luar negeri dan juga menurunkan daya beli masyarakat. Pemerintah harus lebih memperhatikan lagi keadaan rakyatnya. Karena masalah pengangguran sudah menjadi masalah yang sangat mengkuatirkan.
Sebenarnya, buat negara (pemerintah Indonesia) sendiri masalah tingginya angka pengangguran tidaklah mengganggu kinerja dan kelangsungan hidup negara (terkait dengan soal finansial), yg membuat "resah" negara (pemerintah) hanyalah masalah "reputasi" pemerintahan yg sedang berkuasa dan sekedar "rasa empati" tanpa bisa dilihat tindakan nyata pemerintah dalam mengatasi masalah sosial yang jadi momok dunia ini.
Masalah ini harus ditangani serius, sebab kalau masalah ini tidak ditangani secara serius, akan menimbulkan masalah-masalah yang lebih besar lagi buat negara, misalnya tingginya angka kriminalitas. Atau juga maraknya aksi demo dan terror yang sejatinya hanyalah merupakan bentuk dari rasa ketidakpuasan dan keputusasaan manusia.
Melihat realita tersebut, masalah pengangguran seharusnya ditangani dengan baik oleh pemerintah dengan melakukan tindakan riil guna menolong mereka yang benar-benar terpaksa menjadi pengangguran karena kondisi negara yang bobrok disebabkan karena amburadulnya management negara. Pengangguran, kalau itu terjadi karena murni atas kesalahan pengelola negara, maka dia menjadi tanggung jawab negara! Tapi bila pengangguran terjadi karena faktor individu, mentaly illnes, maka pengangguran model ini menjadi tanggung jawab pribadi (atau keluarga sesuai dengan sistem kekeluargaan bangsa Indonesia). Melihat angka pengangguran yang terus merangkak naik, maka sudah semestinya untuk langkah kedepan negara harus bersiap-siap mengalokasikan dana guna mengatasi masalah ini.
B. Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimanakah problema pengangguran ditinjau dalam perspektif sosiologis ?
C. Tujuan.
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memahami masalah pengangguran dalam perspektif sosiologis untuk memahami masalah sosial yang banyak terjadi di Indonesia.
D.Teori.
Identifikasi dan pengukuran bentuk pengangguran yang tepat penting untuk mengetahui sebab akibat dan pemecahannya merupakan salah satu di antara pokok pikiran yang menonjol dalam aspek teoritis dan pragmatis. Diantara kategori utama pengangguran secara umum dapat diidentifikasi sebagai berikut :
· Pengangguran yang bergeser (frictional unemployment), sebagai akibat berpindahnya dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, akibatnya terdapat tenggang waktu dan berstatus sebagai penganggur sebelum mendapatkan pekerjaan yang lainnya.
· Pengangguran musiman (seasonal unemployment), menganggur sementara diakibatkan oleh pergantian musim panen dan musim tanam.
· Pengangguran struktural (structural unemployment), menganggur karena adanya perubahan dalam struktur atau komposisi perekonomian.
· Pengangguran yang diakibatkan oleh kelebihan yang kronis dari total penawaran dibandingkan dengan permintaan tenaga kerja.(Sukandar, 2004)
Disisi lainnya masalah pengangguran terbuka dan setengah pengangguran terutama, adalah refleksi dari kemiskinan dan rendahnya produktivitas penduduknya, meskipun golongan yang disebut terakhir juga melakukan aktivitas ekonomi (baca: bekerja) demi menjaga “gengsi”? Pada mulanya mereka melakukan kegiatan tersebut hanya untuk sekedar mempertahankan hidup atau status sosial bila tidak ingin dikatakan sebagai penganggur. Namun sebagian dari mereka ada yang meneruskan kegiatan tersebut secara sukarela bahkan tidak jarang dari mereka ada yang dilakukan secara terpaksa. Hal ini mungkin dilakukannya sambil menunggu sambil melamar pekerjaan yang lebih “baik”.
Oleh Todaro (2000) mereka inilah yang terjaring pada golongan setengah pengangguran (under unemployment). Golongan ini kemudian terbagi atas (Simanjuntak, 1998)[1] :
· Setengah penganggur tidak kentara (invisible underemployment), mereka yang bekerja memenuhi jam kerja normal, namun berada pada jabatan/posisi yang sebetulnya membutuhkan kualifikasi adan atau kapasitas di bawah yang ia miliki.
· Setengah penganggur kentara (visible underemployment), mereka yang bekerja dengan jumlah jam kerja di bawah jumlah jam kerja normal (35 jam per minggu)
· Setengah penganggur potensial (potential underemployment), mereka yang bekerja memenuhi jam kerja normal dengan kapasitas kerja normal, namun menghasilkan output yang rendah dikarenakan oleh faktor organisasi, teknis, dan keterbatasan lainnya pada tempat ia bekerja.
Dari setengah pengangguran kentara memberikan indikasi pemanfaatan yang belum optimal sumber daya manusia, sedangkan setengah pengangguran tak kentara memberikan indikasi rendahnya kualitas sumber daya manusia karena produktivitas/pendapatan mereka rendah. Kondisi ini oleh Badan Pusat Statistik (2000) diungkapkan sebagai hipotesis “menganggur sebagai suatu kemewahan”. Hipotesis ini menyatakan bahwa hanya penduduk yang termasuk kelompok mampu (baca: beruang) saja yang dapat bertahan untuk “menganggur” dalam waktu yang relatif lama. Namun hal ini kurang mampu dilakukan penduduk yang termasuk kurang mampu, mengingat sumber pendapatan mereka demikian juga jaminan sosial bagi penganggur di Indonesia tidak dapat dijadikan sandaran.
Disamping itu komposisi umur dan jenis kelamin angkatan kerja juga dapat membawa akibat terhadap angka pengangguran. Secara demografis, semakin besar keikutsertaan kaum wanita dalam angkatan kerja, semakin kuranglah tingkat pengangguran tersebut. Sedangkan struktur umur muda terutama di negara berkembang, justru seringkali terlihat didominasi oleh golongan umur produktif yang yang belum memperoleh pekerjaan. Hal inilah yang menyebabkan tingginya angka pengangguran bila dikaitkan dengan kedua hal tersebut.
Pada tataran regional yang lebih sempit ternyata beberapa “ironi” yang sebenarnya merupakan kebijakan dimasa lalu, ternyata berbuah di masa-masa berikutnya. Sebut saja, secara ideal sebenarnya dengan bekal pendidikan tinggi sewajarnya angkatan kerja dapat menduduki sebuah pekerjaan sesuai dengan “investasi” yang telah dikeluarkannya, setidaknya demikian menurut Teori Human Capital (Ananta, 1993: 143). Namun apa hendak dikata, kenyataan berbicara lain. Pengangguran yang berpendidikan tampaknya menjadi “tren” dan sesuatu yang lazim di kalangan masyarakat dengan kedok “jual mahal” dikarenakan gaji (pertama) yang ditawarkan kurang sesuai dengan investasinya.
Sangat ironis, justru pengangguran yang berpendidikan rendah dari tahun ke tahun mengalami angka penurunan. Hal ini dimungkinkan karena adanya peningkatan angka partisipasi sekolah dari penduduk usia kerja, dengan indikasi angka transisi SD ke SLTP diharapkan untuk masing-masing daerah kabupaten/kotadapat mencapai lebih dari 90%. Bisa jadi keadaan tersebut dikarenakan mereka yang berpendidikan rendah ini masuk dalam sektor pertanian atau jasa yang tidak terlalu mensyaratkan keahlian atau pendidikan formal.
E. Pembahasan Perspektf Sosiologis
G.W.F Hegel, seorang filsuf Jerman, pernah menyatakan, bahwa kerja membuat manusia mengaktualisasikan dirinya ke level yang paling maksimal. Melalui kerjalah manusia menemukan keutuhan dirinya. Dengan bekerja, manusia merasa bahagia. Dengan bekerja, tidak hanya kebutuhan ekonomi dan sosialnyalah yang terpenuhi, tetapi kebutuhan eksistensialnya. Apa yang dikatakan oleh Hegel dibantah oleh Marx. Menurut Marx, di dalam masyarakat kapitalis, kerja bukanlah tanda aktualisasi diri, tetapi tanda keterasingan manusia (Hidir, 2000). Manusia menjadi terasing, karena ia tidak pernah menikmati hasil kerjanya sendiri. Ia bekerja untuk orang lain. Ia bekerja keras, tetapi orang lainlah yang kaya. Orang lain itu adalah pemilik modal. Orang jadi tidak mengenali dirinya sendiri, yang tercermin di dalam hasil kerjanya, karena hasil kerjanya langsung menjadi milik orang lain. Saya bekerja di pertanian orang lain. Ketika panen, panen tersebut bukan milik saya, tetapi milik bos saya, yakni si pemilik pertanian yang tidak pernah bekerja sehari-harinya. Saya tidak mengenali hasil kerja saya, karena hasil kerja saya langsung diambil oleh bos saya. Saya mendapatkan uang dari kerja saya, tetapi uang itu pun bukan hasil dari kerja saya langsung, melainkan gaji dari bos saya. Kondisi semacam inilah yang menciptakan keterasingan bagi para pekerja. Mereka tidak mengenali diri mereka lagi, sama seperti mereka tidak lagi mengenali hasil kerja mereka. Kerja pun menjadi sumber ketidakbahagiaan dan kecemasan hidup.
Disini, kita menemukan dilema kerja: ketika bekerja orang merasa tidak bahagia, karena ia merasa terasing. Ketika ia menganggur, ia menjadi tidak bahagia, karena ia mengalami krisis eksistensial. Keadaan semakin mencekam, ketika di dalam masyarakat modern kapitalis sekarang ini, orang menyamakan begitu saja hakekat manusia dengan kepunyaannya.
Dalam kosa kata filsuf Perancis Gabriel Marcell, being seseorang disamakan dengan having-nya. Saya adalah apa yang saya punya, itulah pandangan yang dianut banyak orang sekarang ini. Jika saya punya rumah, mobil, dan tabungan, maka itulah saya: sang pemilik rumah, pemilik mobil, dan pemilik tabungan. Tidak kurang dan tidak lebih. Cara berpikir semacam ini tidak hanya berada di level orang yang satu memandang orang lainnya, tetapi juga cara kita memandang diri kita sendiri. Kita merasa tidak berguna, ketika kita tidak punya rumah, mobil, dan tabungan. Tanpa rumah, mobil, dan tabungan, saya bukanlah manusia. Cara berpikir semacam inilah yang merusak, yang juga membuat situasi para pengangguran menjadi lebih menyakitkan. Di satu sisi, ia kehilangan konsep tentang dirinya sendiri. Di sisi lain, ia merasa tidak berguna, karena hampir semua miliknya terancam hilang (Kompas.com updated, 12 Januari 2009).
Jadi, pengangguran pada dirinya sendiri bukanlah sebuah masalah sosial, tetapi sebuah masalah eksistensial yang terkait erat dengan keberadaan (eksistensi) seseorang. Tidak heran, banyak orang bunuh diri, karena menjadi pengangguran. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kecemasan eksistensial? Apa bedanya dengan kecemasan-kecemasan lainnya, yang tidak eksistensial? Jika kita khawatir anak anda belum pulang, padahal hari sudah malam, itu bukanlah kecemasan eksistensial. Ketika kita hendak bepergian dan cuaca mendung, dan kita takut akan kehujanan, itu juga bukanlah kecemasan eksistensial.
Kecemasan berbeda dengan ketakutan. Obyek dari ketakutan jelas: takut pada anjing, takut pada kegelapan, dan sebagainya. Sementara, obyek dari kecemasan itu abstrak. Orang cemas, karena ia takut pada apa yang akan terjadi di depan. Padahal, tidak ada orang yang bisa meramal masa depan. Kecemasan eksistensial juga sama, yakni obyeknya abstrak, yakni tentang keberadaan manusia itu sendiri. Orang mengalami kecemasan eksistensial, jika ia mempertanyakan segala sesuatu yang ia yakini sebelumnya di dalam hidupnya secara radikal. Biasanya, momen kecemasan eksistensial terjadi, ketika kita sedang mengalami krisis. Misalnya, kita tidak jadi menikah, karena calon istri kita selingkuh. Akibat peristiwa yang menyakitkan ini, kita jadi bertanya: apakah saya ditakdirkan untuk menikah? Apakah ada wanita yang bisa sungguh memahami saya?
Ketika kita di PHK secara tidak adil, kita akan bertanya? Bisakah saya hidup setelah ini? Apakah saya masih punya kesempatan untuk bekerja di tempat lain? Bagaimana dengan masa depan istri dan anak-anak saya? Itulah kecemasan eksistensial. Kecemasan yang terkait erat dengan seluruh keberadaan manusia. Inilah kecemasan paling parah yang diderita oleh banyak orang pengangguran.
Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman, pernah menulis, bahwa kecemasan eksistensial memiliki dampak positif. Dengan mengalami kecemasan eksistensial, orang menjadi terbuka terhadap realitas. Ia terbuka pada “Ada“. Dengan mengalami kecemasan eksistensial, orang menjadi bercermin, dan melihat dirinya sendiri. Ia berhenti menjadi bagian dari masyarakat, dan menjadi otentik secara individual. Tentu saja, tidak sembarang orang bisa melakukan ini. Banyak orang yang hancur secara emosional, ketika ia mengalami kecemasan eksistensial. Dibutuhkan suatu pandangan yang jernih dan hati yang tegar untuk mencari sisi positif dari kecemasan eksistensial. Dan memang, tidak semua orang memiliki kemampuan seperti itu.
Lalu bagaimana? Jika masalah utama dari orang pengangguran adalah masalah eksistensial, maka solusi utamanya juga harus berada di level eksistensial. Tentu saja, kita harus memperjuangkan berdirinya sebuah sistem, yang sungguh menghargai martabat manusia, apapun status sosialnya di dalam masyarakat. Kita juga harus memperjuangkan berdirinya sebuah sistem, yang tidak begitu mudah merendahkan manusia di dalam pekerjaannya, seperti PHK misalnya. Akan tetapi, itu semua masih jauh dari realitas di Indonesia. Bangsa kita belum bisa berpikir dan bertindak ke arah itu.
F. Penutup.
Kehidupan manusia ditandai dengan satu hal, yakni kontingensi. Artinya, kehidupan manusia itu tidak pernah pasti. Segala sesuatu berubah, dan perubahan itu tidak memiliki arah yang jelas. Jika hakekat dari kehidupan adalah kontingensi, maka kita pun harus menyingkapi kehidupan ini dengan sikap yang kontingen pula. Jika hidup ini penuh dengan ketidakpastian, maka kita harus menyingkapinya juga dengan ketidakpastian. Jika dipadatkan, argumen itu akan berbunyi seperti ini: belajarlah untuk hidup di dalam tegangan ketidakpastian, karena memang hakekat dari hidup ini adalah ketidakpastian! Belajarlah untuk selalu hidup di dalam suasana naik-turun, karena hidup ini memang naik-turun. Dengan lincah bermain di antara ketidakpastian, kita akan menjadi terbuka pada realitas. Kita tidak lagi terikat pada apa yang kita punya, tetapi menjadi dinamis dan kontingen, sama seperti realitas itu sendiri. Dengan menjadi terbuka pada ketidakpastian realitas, kita bisa melampaui paradoks pengangguran. Dengan terbuka pada realitas, siapa tahu, kita akhirnya bisa merasa bahagia.
[1] Berdasarkan pertimbangan praktis, International Conference of labour Statisticiants (ICLS) ke-13 tahun 1982 menyarankan agar pengukuran setengah pengangguran, terutama di negara sedang berkembang, sebaiknya dilakukan hanya terhadap setengah pengangguran kentara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar