2. Sekilas Tentang Pemikiran Jurgen Habermas.
Pemikiran Jurgen Habermas, intinya adalah mengharapkan diri manusia (self) mampu menentukan dirinya. Pemikiran ini muncul ketika ia melihat manusia dewasa mengalami dehumanisasi, tidak bisa bertindak bebas. Ilmu dan teknologi menjadi ideologi yang turut memenjarakan manusia. Manusia modern lagi tidak memiliki pilihan bebas. Ia terasing (alienasi) dan tertekan oleh hasil karyanya dan lingkungannya .
Menurut Habermas, saintifikasi politik dan ideologi ini akan menempati posisi kesadaran (super ego) manusia. Hukum-hukum sains dan teknologi yang rasional, teknis dan mekanis dikenakan pada manusia. Akibatnya, masyarakat kehilangan makna akan dirinya sendiri dan tidak mampu menumbuhkan partisipasi dan demokrasi. Manusia menjadi abdi dari ilmu dan teknologi yang ia ciptakan sendiri.
Menurut Habermas hal ini harus diubah. Dengan logika interaksi atau logika hermeneutik Habermas mencoba membangun sains yang praksis. Melalui logika tersebut ia menonjolkan pengakuan, saling pengertian atau komunikasi sebagai tema interaksi. Oleh sebab itu, tulisan-tulisan Habermas dalam berbagai kesempatan banyak juga menyinggung dunia komunikasi (selain ekonomi dan politik).
Dalam suasana komunikasi itulah akan terjadi dialog berdasarkan pengakuan satu sama lain diantara mereka yang mengambil bagian dialog tersebut, sambil membuang kemungkinan-kemungkinan terjadinya saintifikasi dan teknikalisasi pada dunia humanitas. Melalui diologis yang bebas dari tema-tema penguasaan sebaliknya dengan penuh kebersamaan, saling pengertian dan pengakuan satu sama lain, memungkinkan untuk menciptakan ruang waktu yang cukup dalam upaya membangun kesepakatan-kesepakatan humanitas yang sebenarnya. Dari sinilah harapan Habermas, bahwa ilmuwan bukan hanya berdiri di menara gading, tetapi juga turut melakukan perubahan sosial bersama kaum proletar.
Idealisme dari pemikiran Habermas (Frankfurt School) ini sangat menarik. Namun tak urung banyak juga menuai kritik. Kritik dari pemikiran Habermas ini adalah; apa yang digambarkan oleh Habermas itu meluncur begitu saja, tanpa melihat bahwa ada kenyataan di sisi lain dari dunia yang begitu luas ini. Di mana belum tentu ilmu dan teknologi itu yang mendominasi dunia manusia. Sebagai contoh, gambaran yang ia lihat hanyalah gambaran dunia Eropa yang ia lihat di mana ia berada. Ia tidak melihat bagaimana perlakuan orang dari benua lain terhadap orang di benua lain. Kepentingan yang muncul tidak diterapkan seramah yang ia bayangkan (idealismenya).
3. Tinjauan Terhadap Esei Habermas dan Sebuah Perbandingan.
Ada 4 Esei terakhir yang ditulis oleh beberapa penulis berkaitan dengan perkembangan Teori Kritik. Selain ditulis oleh Habermas sendiri, juga ada beberapa penulis lain yang tertarik mengkaji teori ini, antara lain :
1. End Games The Irreconcilable Nature of Modernity Esseays and Lectures, oleh : Albert Wellmer, 1998.
2. Habermas on Law and Democracy : Critical Exchanges, oleh : Michel Reosenfeld dan Andrew Arato (editors), 1998.
3. The Inclusion of The Others : Studies in Political Theory, oleh Jurgen Habermas di edit oleh : Ciaran Cronin dan Pablo de Gereiff, 1998
4. On The Pragmatics of Communication, oleh Jurgen Habermas diedit oleh Maeve Cooke, 1998.
Harus diakui bahwa, esei dan pemikiran Habermas dalam berbagai tulisannya memang banyak mencakup tentang ekonomi dan politik dalam dunia kapitalistik modern. Karya-karya tulisannya sebagaimana dijelaskan di atas, baik yang ditulis oleh Habermas sendiri maupun rekannya, sebenarnya merupakan inti dari pemahaman tentang diri dan dunia modernitas, yang terus ia bela, ia kritik dan ia rekonstruksi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa karya yang ia tulis beberapa tahun sebelumnya di era 1970-an hingga 1980-an seperti ; Knowlegde and Human Interest (1972) The Philosophycal Discourse of Modernity (1987), The Theory of Communicative Action (1984).
Seperti tulisan Habermas tentang ; The Inclusion of The Others : Studies in Political Theory (1998), dan juga tulisannya dalam Habermas on Law and Democracy : Critical Exchanges, 1998 yang diresensi oleh Rommand Coles dari Duke University jelas kedua karya itu adalah karyanya dalam ilmu politik dan itu terkait dengan beberapa karya sebelumnya.
Pertanyaan-pertanyaan utama dalam kedua volume tersebut selalu berkaitan dengan ; sifat, tantangan dan kemungkinan transformasi moralitas demokrasi modern, legalitas dan praktek-prakteknya dalam dunia modern dan pluralistik. Tetapi sebenarnya, tema umum dari teori politik yang diajukan oleh Habermas umumnya sederhana. Menurutnya dunia politik itu adalah : dunia intersubyektif non kekerasan yang perlu dikembangkan secara terus menerus, di mana variabel komunikasi adalah suatu variabel yang perlu dimaknai dan dikembangkan daripada bentuk-bentuk ritual atau penggunaan senjata. Teman anti kekerasan tampaknya dipengaruhi oleh para seniornya (Frankfurt School generasi pertama) yang juga tidak menyukai kekerasan dan menentang ideologi dan sistem.
Pola fikir dari teori politik Habermas ini sekilas memang berbau utopia, namun intinya, menurut Habermas untuk menciptakan hal itu harus adanya kemapanan dunia demokrasi. Demokrasi ini haruslah didasarkan konsensus yang dimotivasi secara rasional, berkesadaran dan bebas. Dalam buku itu (Habermas on Law and Democracy) Habermas, mencoba menelaah heterogenitas, ketidaksepakatan dan hubungan antara yang baik dan adil yang dikaitkan dengan sistem pasar, birokrasi dan demokrasi.
Dalam karyanya yang lain, The Inclusion of The Others, Habermas membedakan 2 model demokrasi politik, yaitu :
Ø Model Liberal, intinya adalah setiap warga negara memiliki hak untuk melindungi dirinya sendiri dari intervensi negatif dari negara atau warga negara lain. Dalam model ini, menurut Habermas setiap warganegara harus mampu menekan pemerintah untuk menciptakan perundang-undangan yang melindungi mereka dari intervensi yang merugikan mereka.
Ø Model Republik, intinya bahwa kehidupan politik adalah pilar utama untuk menciptakan solidaritas dan integrasi yang berakar pada hubungan transformatif. Dalam model ini setiap warga negara memiliki hak utama dalam partisipasi politik secara bebas dan mampu mengatur kekuatan pasar dan administratif.
Satu kritik dari tulisan Habermas di atas tadi tampaknya ia terlalu idealistik memandang masyarakat, di mana dalam model liberal dianggap semua warga memiliki keperibadian yang baik-baik saja. Pada hal setiap warga negara itu pastilah memiliki berbagai karakter yang berlainan. Dan sebaliknya dalam model republik juga Habermas tampaknya lupa, bahwa tidaklah mungkin warga negara mampu menjalankan semua aktivitasnya dalam mengatur kekuatan politik, pasar dan sebagainya, bila hak-hak pribadinya tidak dijamin.
Kritik lain dari karya Habermas, dalam The Illusion of the Others, (1998), Habermas juga mencampur-adukkan antara moral dan etika dalam suatu norma hukum. Pada hal inipun diakui bahwa norma hukum adalah suatu kerangka yang mengatur hubungan masyarakat secara umum. Di mana norma ini bersifat mengikat secara umum. Di sisi lain, perembesan isu-isu moral dan etika pada norma-norma konstitusional dan budaya politik menggiring Habermas mengembangkan argumen lain tentang politik multikultural.
Menurut Habermas politik multikultural ini akan terwujud manakala hak-hak dan otonomi individu dan publik tercipta. Ini berarti bahwa hak dan budaya mayoritas harus membatasi dirinya. Sementara itu budaya minoritaspun harus terjamin hak pengelolaan dirinya, subsidi dan lain sebagainya. Tanpa semua itu hak minoritas akan terabaikan. Namun semua itu tidak akan tercapai tanpa perjuangan politik dan gerakan sosial. Dengan demikian tampak terjadi kontradiksi dalam pemikiran Habermas ini.
Beralih pada karya lain dari Habermas adalah Habermas on Law and Democracy (1998), dalam karyanya ini, Richard Bernstein menyatakan bahwa penggunaan kata perbedaan antara yang baik dan yang buruk yang digunakan Habermas sangat kaku, sehingga melahirkan teori demokratis yang semakin kosong. Mengacu pada konsep baik dan buruk, Habermas dianggap gagal menjelaskan adanya “ kebaikan internal “ dalam individu dalam praktek demokrasi atau kebaikan-kebaikan yang muncul dari praktek demokrasi yang dihasilkan individu.
Di sisi lain juga Habermas dianggap gagal dalam menjelaskan tatanan moral dan etika dalam kehidupan demokrasi, karena menurut Mc Carthy sisi penting dari demokrasi itu adalah ; bagaimana menciptakan wacana politik untuk usaha mencapai konsensus, kompromi untuk upaya menemukan kemungkinan-kemungkinan yang tidak terselesaikan secara masuk akal. Dengan demikian, karya Habermas tentang Habermas on Law and Democracy (1998) menurut Mc Carthy tampaknya Habermas sudah mulai bersandar pada teori sistem yang bersifat fungsional yang selama ini ia kecam karena pro status quo.
Oleh sebab itu, dalam tulisan Rommand Coles dari Duke University, ia melihat bahwa tulisan Habermas beberapa tahun terakhir ini dirasakan kurang tajam dalam menganalisis demokratisasi. Kekurang tajamannya ini disebabkan Habermas melakukan penekanan yang berlebihan terhadap pentingnya konsensus. Tampaknya inilah tekanan-tekanan dalam teori tindakan komunikatifnya yang membawa Habermas semakin mendekati teori sistem.
Harus diakui bahwa penekanan konsensus yang diajukan Habermas dalam esei tersebut adalah untuk menekankan pentingnya koordinasi. Penekanan akan pentingnya koordinasi ini terus diperlihatkan oleh Habermas dalam eseinya yang lain yang berjudul : Pragmatics of Communication. Dalam buku On The Pragmatics of Communication, oleh Jurgen Habermas diedit oleh Maeve Cooke, 1998 ini tampaknya Habermas tertarik dalam dunia komunikasi.
Ketertarikan ini menurut Habermas, karena para teoretisi Frankfurt generasi pertama terlalu menekankan pada paradigma kerja. Hal ini dasari dari paradigma yang mereka anut waktu itu masih banyak menggunakan pemikiran Marx dan Hegelian tentang kerja sebagai pembentukan eksistensi manusia. Sebab menurut Frankfurt School generasi pertama, hubungan kerjalah yang menentukan eksistensi manusia. Pada hal menurut Habermas justru hubungan kerja itulah penyebab terjadinya alienasi.
Maka menurut Habermas, kini satu-satunya jalan adalah melepaskan paradigma kerja yang dianut oleh teoretisi kritik generasi pertama itu dan menggantinya dengan paradigma komunikasi. Karena komunikasi dan kerja adalah dua proses yang membentuk masyarakat dimana yang satu tidak bisa direduksi pada yang lain.
Menurut anggapan Habermas, teori kritik generasi pertama yang masih berparadigma kerja telah gagal melanjutkan proyek pencerahan untuk mencapai masyarakat yang terbuka bagi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, dan kebahagiaan.
Di dalam paradigma komunikasi situasi subjek-objek bisa dihindarkan. Komunikasi mengandaikan dua hal: (a) manusia berhadapan satu sama lain sebagai dua pihak yang sejajar dan berdaulat, komunikasi berlainan dengan kerja karena tidak menciptakan situasi subjek-objek; (b) adanya ruang kebebasan, dalam menangkap maksud orang dalam suatu komunikasi sama sekali tidak dapat dipaksakan. Komunikasi merupakan karateristik universal manusia. Habermas mengembangkan apa yang disebutnya “ universal pragmatic analysis ” untuk menganalisa kondisi-kondisi bagi situasi ideal komunikasi (ideal speech situation).
Teori kritis Habermas tidak lagi memfokuskan diri pada tindakan rasional bertujuan melainkan pada tindakan komunikasi alias bahasa. Masyarakat rasional yang diidealkan Habermas bukan lagi masyarakat tanpa kelas dimana hubungan kerja tidak lagi represif melainkan masyarakat rasional dimana komunikasi berjalan sehat, dialogis, dan tidak distortif. Keseriusan Habermas untuk mewujudkan masyarakat terbuka-dialogis terbukti dengan diterbitkannya dua volume bukunya: Theory of Communicative action.
Habermas mengkontraskan antara tindakan komunikasi dan tindakan strategis yang masing-masing diasosiasikan dengan sistem (kapitalisme) dan lifeworld (dunia praktis moral dimana manusia, alam tidak dipandang sebagai objek pasif melainkan realitas yang dihayati). Tindakan strategis yang mendominasi masyarakat modern menciptakan suatu realitas politik tempat kebijakan-kebijakan publiknya tereduksi pada persoalan teknis semata yang mengabaikan persoalan nilai.
Suatu realitas politik yang menempatkan manusia sebagai objek kebijakan tidak membiarkan mereka merekonstitusi identitasnya sendiri. Setiap kebijakan publik yang didasari oleh kepentingan kontrol teknis cenderung monologis dan tidak komunikatif terhadap realitas sosial yang dihadapinya.
Habermas mengembangkan teori tindakan komunikasinya dengan mengemukakan bahwa setiap komunikasi yang sehat adalah komunikasi dimana setiap partisipan bebas untuk menentang klaim-klaim tanpa ketakutan akan koersi, intimidasi, dan sebagainya dan dimana tiap partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk bicara, membuat keputusan-keputusan, self-presentations, klaim normatif, dan menentang pendapat partisipan lain. Pendeknya, Habermas mewajibkan setiap proses argumentasi untuk memuat proposisi-proposisi antara lain: (a) setiap subjek dengan kompetensi untuk berbicara dan bertindak diperbolehkan mengambil bagian dalam suatu diskursus (b) setiap orang diperbolehkan mempertanyakan setiap assertions apa saja. (c) setiap orang diperbolehkan untuk mengajukan suatu keputusan apasaja ke dalam diskursus.
2. Sekilas Tentang Pemikiran Jurgen Habermas.
Pemikiran Jurgen Habermas, intinya adalah mengharapkan diri manusia (self) mampu menentukan dirinya. Pemikiran ini muncul ketika ia melihat manusia dewasa mengalami dehumanisasi, tidak bisa bertindak bebas. Ilmu dan teknologi menjadi ideologi yang turut memenjarakan manusia. Manusia modern lagi tidak memiliki pilihan bebas. Ia terasing (alienasi) dan tertekan oleh hasil karyanya dan lingkungannya .
Menurut Habermas, saintifikasi politik dan ideologi ini akan menempati posisi kesadaran (super ego) manusia. Hukum-hukum sains dan teknologi yang rasional, teknis dan mekanis dikenakan pada manusia. Akibatnya, masyarakat kehilangan makna akan dirinya sendiri dan tidak mampu menumbuhkan partisipasi dan demokrasi. Manusia menjadi abdi dari ilmu dan teknologi yang ia ciptakan sendiri.
Menurut Habermas hal ini harus diubah. Dengan logika interaksi atau logika hermeneutik Habermas mencoba membangun sains yang praksis. Melalui logika tersebut ia menonjolkan pengakuan, saling pengertian atau komunikasi sebagai tema interaksi. Oleh sebab itu, tulisan-tulisan Habermas dalam berbagai kesempatan banyak juga menyinggung dunia komunikasi (selain ekonomi dan politik).
Dalam suasana komunikasi itulah akan terjadi dialog berdasarkan pengakuan satu sama lain diantara mereka yang mengambil bagian dialog tersebut, sambil membuang kemungkinan-kemungkinan terjadinya saintifikasi dan teknikalisasi pada dunia humanitas. Melalui diologis yang bebas dari tema-tema penguasaan sebaliknya dengan penuh kebersamaan, saling pengertian dan pengakuan satu sama lain, memungkinkan untuk menciptakan ruang waktu yang cukup dalam upaya membangun kesepakatan-kesepakatan humanitas yang sebenarnya. Dari sinilah harapan Habermas, bahwa ilmuwan bukan hanya berdiri di menara gading, tetapi juga turut melakukan perubahan sosial bersama kaum proletar.
Idealisme dari pemikiran Habermas (Frankfurt School) ini sangat menarik. Namun tak urung banyak juga menuai kritik. Kritik dari pemikiran Habermas ini adalah; apa yang digambarkan oleh Habermas itu meluncur begitu saja, tanpa melihat bahwa ada kenyataan di sisi lain dari dunia yang begitu luas ini. Di mana belum tentu ilmu dan teknologi itu yang mendominasi dunia manusia. Sebagai contoh, gambaran yang ia lihat hanyalah gambaran dunia Eropa yang ia lihat di mana ia berada. Ia tidak melihat bagaimana perlakuan orang dari benua lain terhadap orang di benua lain. Kepentingan yang muncul tidak diterapkan seramah yang ia bayangkan (idealismenya).
3. Tinjauan Terhadap Esei Habermas dan Sebuah Perbandingan.
Ada 4 Esei terakhir yang ditulis oleh beberapa penulis berkaitan dengan perkembangan Teori Kritik. Selain ditulis oleh Habermas sendiri, juga ada beberapa penulis lain yang tertarik mengkaji teori ini, antara lain :
1. End Games The Irreconcilable Nature of Modernity Esseays and Lectures, oleh : Albert Wellmer, 1998.
2. Habermas on Law and Democracy : Critical Exchanges, oleh : Michel Reosenfeld dan Andrew Arato (editors), 1998.
3. The Inclusion of The Others : Studies in Political Theory, oleh Jurgen Habermas di edit oleh : Ciaran Cronin dan Pablo de Gereiff, 1998
4. On The Pragmatics of Communication, oleh Jurgen Habermas diedit oleh Maeve Cooke, 1998.
Harus diakui bahwa, esei dan pemikiran Habermas dalam berbagai tulisannya memang banyak mencakup tentang ekonomi dan politik dalam dunia kapitalistik modern. Karya-karya tulisannya sebagaimana dijelaskan di atas, baik yang ditulis oleh Habermas sendiri maupun rekannya, sebenarnya merupakan inti dari pemahaman tentang diri dan dunia modernitas, yang terus ia bela, ia kritik dan ia rekonstruksi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa karya yang ia tulis beberapa tahun sebelumnya di era 1970-an hingga 1980-an seperti ; Knowlegde and Human Interest (1972) The Philosophycal Discourse of Modernity (1987), The Theory of Communicative Action (1984).
Seperti tulisan Habermas tentang ; The Inclusion of The Others : Studies in Political Theory (1998), dan juga tulisannya dalam Habermas on Law and Democracy : Critical Exchanges, 1998 yang diresensi oleh Rommand Coles dari Duke University jelas kedua karya itu adalah karyanya dalam ilmu politik dan itu terkait dengan beberapa karya sebelumnya.
Pertanyaan-pertanyaan utama dalam kedua volume tersebut selalu berkaitan dengan ; sifat, tantangan dan kemungkinan transformasi moralitas demokrasi modern, legalitas dan praktek-prakteknya dalam dunia modern dan pluralistik. Tetapi sebenarnya, tema umum dari teori politik yang diajukan oleh Habermas umumnya sederhana. Menurutnya dunia politik itu adalah : dunia intersubyektif non kekerasan yang perlu dikembangkan secara terus menerus, di mana variabel komunikasi adalah suatu variabel yang perlu dimaknai dan dikembangkan daripada bentuk-bentuk ritual atau penggunaan senjata. Teman anti kekerasan tampaknya dipengaruhi oleh para seniornya (Frankfurt School generasi pertama) yang juga tidak menyukai kekerasan dan menentang ideologi dan sistem.
Pola fikir dari teori politik Habermas ini sekilas memang berbau utopia, namun intinya, menurut Habermas untuk menciptakan hal itu harus adanya kemapanan dunia demokrasi. Demokrasi ini haruslah didasarkan konsensus yang dimotivasi secara rasional, berkesadaran dan bebas. Dalam buku itu (Habermas on Law and Democracy) Habermas, mencoba menelaah heterogenitas, ketidaksepakatan dan hubungan antara yang baik dan adil yang dikaitkan dengan sistem pasar, birokrasi dan demokrasi.
Dalam karyanya yang lain, The Inclusion of The Others, Habermas membedakan 2 model demokrasi politik, yaitu :
Ø Model Liberal, intinya adalah setiap warga negara memiliki hak untuk melindungi dirinya sendiri dari intervensi negatif dari negara atau warga negara lain. Dalam model ini, menurut Habermas setiap warganegara harus mampu menekan pemerintah untuk menciptakan perundang-undangan yang melindungi mereka dari intervensi yang merugikan mereka.
Ø Model Republik, intinya bahwa kehidupan politik adalah pilar utama untuk menciptakan solidaritas dan integrasi yang berakar pada hubungan transformatif. Dalam model ini setiap warga negara memiliki hak utama dalam partisipasi politik secara bebas dan mampu mengatur kekuatan pasar dan administratif.
Satu kritik dari tulisan Habermas di atas tadi tampaknya ia terlalu idealistik memandang masyarakat, di mana dalam model liberal dianggap semua warga memiliki keperibadian yang baik-baik saja. Pada hal setiap warga negara itu pastilah memiliki berbagai karakter yang berlainan. Dan sebaliknya dalam model republik juga Habermas tampaknya lupa, bahwa tidaklah mungkin warga negara mampu menjalankan semua aktivitasnya dalam mengatur kekuatan politik, pasar dan sebagainya, bila hak-hak pribadinya tidak dijamin.
Kritik lain dari karya Habermas, dalam The Illusion of the Others, (1998), Habermas juga mencampur-adukkan antara moral dan etika dalam suatu norma hukum. Pada hal inipun diakui bahwa norma hukum adalah suatu kerangka yang mengatur hubungan masyarakat secara umum. Di mana norma ini bersifat mengikat secara umum. Di sisi lain, perembesan isu-isu moral dan etika pada norma-norma konstitusional dan budaya politik menggiring Habermas mengembangkan argumen lain tentang politik multikultural.
Menurut Habermas politik multikultural ini akan terwujud manakala hak-hak dan otonomi individu dan publik tercipta. Ini berarti bahwa hak dan budaya mayoritas harus membatasi dirinya. Sementara itu budaya minoritaspun harus terjamin hak pengelolaan dirinya, subsidi dan lain sebagainya. Tanpa semua itu hak minoritas akan terabaikan. Namun semua itu tidak akan tercapai tanpa perjuangan politik dan gerakan sosial. Dengan demikian tampak terjadi kontradiksi dalam pemikiran Habermas ini.
Beralih pada karya lain dari Habermas adalah Habermas on Law and Democracy (1998), dalam karyanya ini, Richard Bernstein menyatakan bahwa penggunaan kata perbedaan antara yang baik dan yang buruk yang digunakan Habermas sangat kaku, sehingga melahirkan teori demokratis yang semakin kosong. Mengacu pada konsep baik dan buruk, Habermas dianggap gagal menjelaskan adanya “ kebaikan internal “ dalam individu dalam praktek demokrasi atau kebaikan-kebaikan yang muncul dari praktek demokrasi yang dihasilkan individu.
Di sisi lain juga Habermas dianggap gagal dalam menjelaskan tatanan moral dan etika dalam kehidupan demokrasi, karena menurut Mc Carthy sisi penting dari demokrasi itu adalah ; bagaimana menciptakan wacana politik untuk usaha mencapai konsensus, kompromi untuk upaya menemukan kemungkinan-kemungkinan yang tidak terselesaikan secara masuk akal. Dengan demikian, karya Habermas tentang Habermas on Law and Democracy (1998) menurut Mc Carthy tampaknya Habermas sudah mulai bersandar pada teori sistem yang bersifat fungsional yang selama ini ia kecam karena pro status quo.
Oleh sebab itu, dalam tulisan Rommand Coles dari Duke University, ia melihat bahwa tulisan Habermas beberapa tahun terakhir ini dirasakan kurang tajam dalam menganalisis demokratisasi. Kekurang tajamannya ini disebabkan Habermas melakukan penekanan yang berlebihan terhadap pentingnya konsensus. Tampaknya inilah tekanan-tekanan dalam teori tindakan komunikatifnya yang membawa Habermas semakin mendekati teori sistem.
Harus diakui bahwa penekanan konsensus yang diajukan Habermas dalam esei tersebut adalah untuk menekankan pentingnya koordinasi. Penekanan akan pentingnya koordinasi ini terus diperlihatkan oleh Habermas dalam eseinya yang lain yang berjudul : Pragmatics of Communication. Dalam buku On The Pragmatics of Communication, oleh Jurgen Habermas diedit oleh Maeve Cooke, 1998 ini tampaknya Habermas tertarik dalam dunia komunikasi.
Ketertarikan ini menurut Habermas, karena para teoretisi Frankfurt generasi pertama terlalu menekankan pada paradigma kerja. Hal ini dasari dari paradigma yang mereka anut waktu itu masih banyak menggunakan pemikiran Marx dan Hegelian tentang kerja sebagai pembentukan eksistensi manusia. Sebab menurut Frankfurt School generasi pertama, hubungan kerjalah yang menentukan eksistensi manusia. Pada hal menurut Habermas justru hubungan kerja itulah penyebab terjadinya alienasi.
Maka menurut Habermas, kini satu-satunya jalan adalah melepaskan paradigma kerja yang dianut oleh teoretisi kritik generasi pertama itu dan menggantinya dengan paradigma komunikasi. Karena komunikasi dan kerja adalah dua proses yang membentuk masyarakat dimana yang satu tidak bisa direduksi pada yang lain.
Menurut anggapan Habermas, teori kritik generasi pertama yang masih berparadigma kerja telah gagal melanjutkan proyek pencerahan untuk mencapai masyarakat yang terbuka bagi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, dan kebahagiaan.
Di dalam paradigma komunikasi situasi subjek-objek bisa dihindarkan. Komunikasi mengandaikan dua hal: (a) manusia berhadapan satu sama lain sebagai dua pihak yang sejajar dan berdaulat, komunikasi berlainan dengan kerja karena tidak menciptakan situasi subjek-objek; (b) adanya ruang kebebasan, dalam menangkap maksud orang dalam suatu komunikasi sama sekali tidak dapat dipaksakan. Komunikasi merupakan karateristik universal manusia. Habermas mengembangkan apa yang disebutnya “ universal pragmatic analysis ” untuk menganalisa kondisi-kondisi bagi situasi ideal komunikasi (ideal speech situation).
Teori kritis Habermas tidak lagi memfokuskan diri pada tindakan rasional bertujuan melainkan pada tindakan komunikasi alias bahasa. Masyarakat rasional yang diidealkan Habermas bukan lagi masyarakat tanpa kelas dimana hubungan kerja tidak lagi represif melainkan masyarakat rasional dimana komunikasi berjalan sehat, dialogis, dan tidak distortif. Keseriusan Habermas untuk mewujudkan masyarakat terbuka-dialogis terbukti dengan diterbitkannya dua volume bukunya: Theory of Communicative action.
Habermas mengkontraskan antara tindakan komunikasi dan tindakan strategis yang masing-masing diasosiasikan dengan sistem (kapitalisme) dan lifeworld (dunia praktis moral dimana manusia, alam tidak dipandang sebagai objek pasif melainkan realitas yang dihayati). Tindakan strategis yang mendominasi masyarakat modern menciptakan suatu realitas politik tempat kebijakan-kebijakan publiknya tereduksi pada persoalan teknis semata yang mengabaikan persoalan nilai.
Suatu realitas politik yang menempatkan manusia sebagai objek kebijakan tidak membiarkan mereka merekonstitusi identitasnya sendiri. Setiap kebijakan publik yang didasari oleh kepentingan kontrol teknis cenderung monologis dan tidak komunikatif terhadap realitas sosial yang dihadapinya.
Habermas mengembangkan teori tindakan komunikasinya dengan mengemukakan bahwa setiap komunikasi yang sehat adalah komunikasi dimana setiap partisipan bebas untuk menentang klaim-klaim tanpa ketakutan akan koersi, intimidasi, dan sebagainya dan dimana tiap partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk bicara, membuat keputusan-keputusan, self-presentations, klaim normatif, dan menentang pendapat partisipan lain. Pendeknya, Habermas mewajibkan setiap proses argumentasi untuk memuat proposisi-proposisi antara lain: (a) setiap subjek dengan kompetensi untuk berbicara dan bertindak diperbolehkan mengambil bagian dalam suatu diskursus (b) setiap orang diperbolehkan mempertanyakan setiap assertions apa saja. (c) setiap orang diperbolehkan untuk mengajukan suatu keputusan apasaja ke dalam diskursus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar