Selasa, Oktober 14, 2008

MENYEIMBANGKAN KARIER DI DALAM KELUARGA DAN DI TEMPAT KERJA

OLEH : ACHMAD HIDIR

Pra-Wacana
Perempuan – dilihat dari sudut pandang manapun – selalu mempunyai sisi-sisi yang menarik dan memikat hati laki-laki. Dan, untuk alasan itulah Tuhan menciptakan perempuan, yakni sebagai perhiasan sekaligus teman bercanda bagi laki-laki. Betapapun Tuhan telah mendesain alam semesta dengan tata arsitektural yang sungguh indah, elok dan menakjubkan, hati seorang laki-laki tak akan bisa tentram tanpa kehadiran seorang perempuan di sampingnya atau di hadapannya. Seolah-olah terbersit dalam hatinya sebuah ungkapan : “Bolehlah Tuhan tidak menciptakan alam semesta, tetapi jangan Engkau biarkan diriku merana tanpa kehadiran seorang perempuan!” Itulah naluri fitriyah setiap laki-laki di seluruh penjuru dunia. Dan, itulah sebabnya, Adam yang yang telah Tuhan ciptakan sebagai manusia pertama, hatinya selalu gelisah gundah-gulana meskipun hidup dan bertempat tinggal di Surga yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan. Dia (baca: Adam) merasa ada belahan jiwanya yang hilang. Dus, belahan jiwa Adam yang hilang itu adalah perempuan atau lebih tepatnya Hawa…!
Lebih dari itu, perempuan adalah mahakarya Tuhan yang mempunyai banyak misteri bagi laki-laki. Keindahan tubuhnya, kehalusan perasaannya dan keterpujian pribadinya membuat banyak laki-laki harus (baca : terpaksa) bertekuk-lutut dihadapan seorang perempuan. Tetapi tak jarang, dikarenakan kelemahan yang dimilikinya, perempuan menjadi “bahan permainan” laki-laki. Kadang-kadang atau bahkan sering terjadi, laki-laki memanfaatkan sisi kelemahan perempuan untuk memuaskan nafsunya semata. Kita sering menyaksikan di panggung kehidupan ini, seorang perempuan terpaksa meratapi kesedihan hanya dikarenakan dirinya tidak dihargai oleh kaum laki-laki. Kita juga sering menyaksikan, betapa banyaknya perempuan kehilangan kehormatan dan jati diri disebabkan ulah jahil kaum laki-laki. Di sinilah uniknya keberadaan perempuan di panggung kehidupan. Di satu sisi ia dipuja-puja oleh kaum laki-laki, namun di sisi lain ia dicampakkan laksana sampah yang tak berguna.
Namun demikian, bagi perempuan, laki-laki juga sama-sama misteriusnya. Ketampanan wajahnya, kharisma yang dimilikinya serta kewibawaan dan ketegasannya dalam menuntaskan permasalahan menjadikan perempuan “terpaksa” bersimpuh untuk melayani laki-laki. Namun, tak jarang perempuan merasa jijik terhadap laki-laki. Hatinya yang keras, perilakunya yang kejam dan ambisinya yang besar menjadikan perempuan muak, jijik, dan tak suka dengan laki-laki. Baginya laki-laki tak ubahnya seperti seorang penguasa tiran yang senantiasa memaksakan kehendaknya, merampas harkat dan martabat perempuan. Dus, di sini pulalah uniknya keberadaan laki-laki di pentas panggung kehidupan. Di satu sisi ia (baca: laki-laki) dibutuhkan dan menjadi harapan bagi perempuan, namun di sisi lain ia dibenci dan dicaci-maki.
Demikianlah sekilas hubungan yang terjadi antara laki-laki dengan perempuan atau antara perempuan dengan laki-laki. Sebuah hubungan hiperbolic, di satu sisi laki-laki membutuhkan perempuan dan juga sebaliknya, namun di sisi lain laki-laki mencampakkan perempuan dan perempuan membenci laki-laki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan seperti ini telah menjadi sumber inspirasi bagi sebagian besar – kalau tak dapat dikatakan semuanya – karya-karya sastra dunia.
Nah, artikel ini lahir sebagai hasil perenungan penulis terhadap realitas hubungan antara laki-laki dengan perempuan seperti itu. Hubungan yang terjadi secara utuh dan menyatu (holistic) di masyarakat, dalam artian tak ada satupun masyarakat di belahan dunia ini yang tidak mengenal, memahami dan mengerti hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Berbicara masyarakat, mau tidak mau, suka tidak suka kita pasti membicarakan hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Singkatnya, relasi gender merupakan sebuah “social construction” – di masyarakat. Dan dalam perjalanannnya relasi jender kini telah mengemuka seiring dengan bergesernya peran perempuan yang merambah ke sektor publik yang dianggap menjadikannya pesaing baru bagi kaum laki-laki. Di sisi lain kontruksi sosial perempuan sebagai pendidik, perawat dan fungsi kerumah tanggaan yang diembannya juga tidak pernah hilang. Dengan demikian kondisi perempuan menjadikannya dilematis.

B. Keseimbangan Karir Perempuan di Sektor Publik dan Domestik.
Dalam negara yang menganut sistem nilai patriarkal, seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk berkarir dan bekerja di sektor publik relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias kearah membatasi peran perempuan pada urusan rumah tangga saja. Kaum perempuan apapun pendidikannya selalu dianggap akan bermuara pada status dan peran sebagai ibu rumah tangga. Sebagai ibu rumah tangga yang baik maka ia harus memenuhi berbagai kriteria yang umum, yaitu mengurus, mendidik dan melayani kebutuhan rumah tangga.
Namun demikian, seiring semakin gencarnya gerakan emansipasi dan tuntutan dari berbagai elemen masyarakat untuk mengedepankan paradigma jender dan membuka peluang persamaan hak (HAM) untuk berpartisipasi pada kehidupan publik. Maka kini kaum perempuan sudah mulai banyak terlibat pada urusan-urusan publik dan berkarir menyamai saudaranya yaitu kaum laki-laki. Dari fenomena ini maka munculkan jargon baru yaitu; kesetaraan jender !.
Kendatipun demikian, secara kodrati perempuan memang secara biologis berbeda dengan kaum laki-laki. Kaum perempuan memiliki fungsi reproduksi yang khas dengan kodrat keperempuanannya, seperti menstruasi, kehamilan, melahirkan dan menyusui. Fungsinya yang khas ini tidak ada pula yang mampu menggantikannya. Dan secara naluri kaum perempuanpun tidak mau pula melepaskan fungsi reproduksi ini secara total. Manisfestasi ini diwujudkan dari selalu adanya keinginan dari mereka untuk pernah merasakan kehamilan, menyusui dan melayani kebutuhan rumah tangga sebagai perempuan yang normal. Tetapi di sisi lain tuntutan ekonomi, kebutuhan akan aktualisasi diri dan berbagai kesempatan lain di sektor publik kini semakin terbuka bagi mereka.
Ini dibuktikan dari adanya dukungan Pemerintah RI terhadap tujuan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Konvensi Wanita) yang dikemukakan dalam keterangan Pemerintah di DPR Jakarta, 27 Februari 1984 antara lain menghapuskan diskriminasi dalam segala bentuknya terhadap perempuan untuk terwujudnya prinsip-prinsip persamaan hak bagi perempuan di bidang politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya. Dengan demikian dari konvensi ini diharapkan kaum perempuan akan semakin bebas berkiprah di ranah publik.

Dari kondisi ini maka diperlukan keseimbangan dan kearifan dari berbagai pihak, baik secara individu sebagai perempuan maupun unsur masyarakat lain untuk menyikapi masalah ini. Benturan antara pilihan berkarir di sektor publik dan pilihan untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik adalah sama sulitnya untuk dipilih oleh seorang perempuan untuk masa sekarang ini !.
Apalagi sinyalemen menunjukkan bahwa keterlibatan langsung kaum perempuan melalui partisipasi aktif dalam berbagai pekerjaan publik dan dunia swasta dalam perencanaan, perancangan, implementasi dan evaluasi proyek akan semakin memberdayakan kaum perempuan dan memberikan rasa kepemilikan yang lebih kuat dan keterlibatannya yang lebih besar dalam keberhasilan usaha/proyek suatu perusahaan. Dan diakui secara emosional kaum perempuan umumnya selalu lebih ulet, teliti dan loyal terhadap sesuatu yang memberikan rasa nyaman dan kepuasan pada dirinya.
Dengan demikian partisipasi aktif kaum perempuan dalam keterlibatannya pada dunia usaha akan semakin menguntungkan perusahaan. Pihak perusahaan akan memiliki SDM yang ulet, teliti, loyal dan setara dengan kemampuan lawan jenisnya yaitu; laki-laki !. Adanya akses yang lebih baik pada sumber daya usaha (baca; perusahaan) juga memungkinkan kaum perempuan mencurahkan lebih banyak waktunya dalam kegiatan-kegiatan yang mendatangkan pendapatan dan untuk mengurusi kebutuhan mereka sendiri serta keluarga mereka yang pada gilirannya ekonomi keluarga dan masyarakat secara keseluruhan dapat menerima manfaat dari keterlibatan kaum perempuan dalam bekerja di sektor publik. Dengan demikian keuntungan diperoleh secara bersamaan antara pihak dunia usaha dan individu (perempuan itu sendiri), keluarga dan masyarakat secara umum. Dari situasi ini maka diperlukan keseimbangan dalam memainkan peran-peran (the role set) antara kaum laki-laki (suami) dan kaum perempuan (istri) dalam mengelola kehidupan berumah tangganya.

C. Kesimpulan.
Peran relasi jender dalam keluarga (masyarakat) perlu diseimbangkan. Peran jender ini dapat dilakukan secara komplementer antar laki-laki dan perempuan sebagai pasangan. Dengan demikian perlu kesadaran semua pihak bahwa keberhasilan di masyarakat dan di sektor publik selalu berawal dari dalam keluarga. Baik – buruknya fungsi yang dimainkan oleh setiap individu dalam keluarga akan berpengaruh pada diri anak. Artinya apabila tidak menjalankan fungsi keluarga dan peran yang seharusnya dilakukan dengan baik, maka akan muncul problem bagi anak ketika memasuki masa dewasa (masyarakat).
Dari kondisi ini diperlukan hubungan complementary (saling melengkapi dan menutupi), yaitu peran istri sebagai pelengkap bagi suami dan sebaliknya. Selain itu hubungan kemitraan (partnership) saling bekerjasama dan membantu antara suami-istri perlu diselaraskan sehingga tidak menimbulkan kegoncangan sosial dalam berumah tangga dan bermasyarakat. Dari kondisi ini maka dapat tertanggulangi secara bersama dan sinerjis antara peran suami-istri secara kemitrasejajaran dengan berbagi peran untuk menciptakan keluarga yang sejahtera.

Kamis, September 25, 2008

Industrialisasi di Indonesia : Sebuah Kritik


Pembangunan dan industrialisasi di Indonesia bila diamati selama ini lebih pada orientasi konsumen akhir dan relatif kurang mempunyai kaitan pada peningkatan sektor penyedia inputnya. Dari sini sebenarnya tampak, bahwa kemauan dari pemerintah dalam membangun industri berjalan setengah-setengah dan terkesan tambal-sulam. Lain menteri, lain kebijakan yang diambil. Di Indonesia ada kesan, bahwa seseorang tidak mau dikatakan meniru kebijakan orang lain sebagai pendahulunya, karena takut dianggap sebagai orang yang tidak punya program.

Konsekuensinya, para teknorat yang digunakan era Soeharto hingga sekarang cenderung berorientasi pada pasar skala luas tanpa membenahi struktur masyarakat yang di dalamnya. (Horkheimer menyebutnya dengan penyakit myiopi), yaitu suatu penyakit yang tak mampu melihat prospek jauh ke depan, mereka lebih mementingkan kepentingan jangka pendek. Pada hal Indonesia dalam rencana pembangunannya jelas-jelas berorientasi jangka panjang dengan program Repelitanya !.

Bukti pembangunan industri di Indonesia mengalami kegagalan, dapat dilihat dari orientasi penanaman modal asing dan iklim investasi yang tidak kondusif, di mana penegakan hukum masih lemah, perangkat hukum mengalami erosi dalam pelaksanaanya. Inilah yang dikuatirkan oleh para teoretisi Kritik, mereka menganggap bahwa dunia rasional manusia, sudah mengalami dekadensi, mereka tidak lagi memiliki kepekaan sosial. Dengan kata lain, nurani manusia telah dibelenggu oleh nilai-nilai materialisme dan mengalami dehumanisme. Pada hal menurut Habermas, seorang ilmuwan, teknorat dan manusia modern yang penuh rasional, ia harus kritis dan mampu berfikir praksis.

Kekuatiran para teoretisi Kritik itu, tampaknya terbukti untuk kasus di Indonesia, di mana teori yang semula bersifat emansipatoris telah merosot menjadi kontemplasi belaka, atau dalam istilah Jurgen Habermas; teori dan ilmuwan di Indonesia telah jatuh ke dalam salah paham positif. Karena semestinya, sebagai ilmuwan, teoretisi atau pembuat kebijakan menurut teori kritik harus mampu mengembangkan kesadaran kritis.

Teori kritik sebenarnya ingin membebaskan manusia, teori kritik mau menjadi aufklarung. Artinya dalam masyarakat industri; kontradiksi-kontradiksi, frustrasi dan penindasan tidak lagi harus selalu ada. Namun dalam prakteknya program industrialisasi di Indonesia, justru terjadi karena adanya penggusuran lahan petani, penindasan, pertentangan dan konflik kepentingan dan berakhir pada rasa frustrasi manusia yang tertindas. Dengan demikian, artinya selama proses pembangunan di Indonesia telah terjadi proses dehumanisasi dan denaturalisasi.

Para teknorat, birokrat dan pembuat kebijakan di Indonesia dalam melaksanakan industri, telah kehilangan rasionalitasnya. Buktinya produksi untuk memenuhi kebutuhan manusia yang diciptakan melalui program industrialisasi, telah dimanipulasikan demi produksi itu sendiri.

Dalam amatan lebih jauh, untuk kasus Indonesia, industrialisasi itu seolah-olah berjalan sendiri-sendiri tidak secara integral. Secara umum kelemahan pembangunan di Indonesia dapat dilihat dari :

1. Lemahnya kaitan sektor industri dengan sektor pertanian sebenarnya kurang menguntungkan bagi perkembangan industri itu sendiri. Kurangnya kaitan dengan sektor pertanian yang merupakan sumberdaya asli negara, berarti ketergantungan sektor industri terhadap input yang dihasilkan dari sektor luar menjadi negeri amat besar. Dan ini sebenarnya kurang menguntungkan bagi Indonesia.

2. Kurangnya penyerapan produk pertanian pada sektor industri dalam negeri berarti nilai tambah sektor pertanian hanya sebagian yang tercipta di dalam negeri. Dengan demikian ada semacam ketergantungan rangkap. Sektor industri tergantung pada bahan baku dari luar negeri, sedangkan sektor pertanian memiliki ketergantungan terhadap luar negeri dalam bentuk produk antara. Dan ini juga sebenarnya kurang menguntungkan pada dua sisi tersebut, sehingga terjadi ketergantungan rangkap.

Ketergantungan dan Hal-hal yang bersifat sektoral dan parsial seperti ini sebenarnya adalah suatu hal yang tidak disetujui oleh para teoretisi aliran Kritik. Menurut aliran Kritik, dalam suatu pembangunan, pemahaman dan pelaksanaan kegiatan, manusia itu hendaklah harus berjalan sesuai nurani, holistik dan mampu mematahkan belenggu untuk membebaskan manusia pada kemanusiaan yang sebenarnya.

Oleh karena itu, seharusnya dalam pembangunan industri di Indonesia, peningkatan keterkaitan antara sektor industri dengan sektor pertanian justru akan mengurangi ketergantungan terhadap luar negeri bagi kedua sektor itu, dan ini sekaligus dapat meningkatkan nilai tambah sektor pertanian. Sebenarnya pengembangan sektor yang mengolah produk pertanian merupakan salah satu pemecahan dalam hal ini. Namun dalam prakteknya pemikiran seperti ini seolah-olah tidak terfikirkan oleh para teknorat di Indonesia.

Karena seharusnya industri besar itu harus merupakan integrasi dari industri menengah dan kecil. Sebab bila tidak, seperti menurut Yukio Kaneko cukup membahayakan bagi perekonomian nasional, maupun bagi proses industrialisasi di Indonesia. Kalau tidak segera diperbaiki maka pembangunan industrialisasi di Indonesia di masa datang akan mengalami jalan buntu. Selanjutnya orientasi pembangunan yang lebih banyak mengutamakan pertumbuhan sektor industri perlu segera dilengkapi dengan pengembangan sektor pertanian yang memadai, sehingga selalu terjalin kaitan antar sektor baik ke depan maupun ke belakang yang saling menguntungkan.

Karena Indonesia adalah negara yang mayoritasnya bermukim di pedesaan dan bergelut di sektor pertanian, bila mengabaikan sektor ini hanya akan menimbulkan pengangguran dan kemiskinan yang semakin merajalela saja. Pembangunan pertanian dan industri sudah selayaknya harus dapat dinikmati oleh sebagian besar pelaku ekonomi baik pada lingkup nasional (makro) maupun pada tingkat petani penghasil (mikro).

Salah satu ciri strategi pembangunan yang harus dimiliki oleh negara yang mempunyai potensi sebagian besar dari sektor pertanian adalah kebijaksanaan pembangunan yang menjaga keterkaitan antara sektor pertanian dan industri. Namun kenyataannya, kepedulian dan orientasi dari pengambil kebijakan pembangunan di Indonesia memiliki penyakit myopi.



Kamis, Juli 24, 2008

Hak Cuti Haid Buruh Perempuan

Oleh: Achmad Hidir

1. Fenomena Haid.

Seks secara fisik biologis antara perempuan dan laki-laki memang berbeda. Paling tidak, peralihan masa pubertas antara laki-laki dan perempuan dialami oleh masing-masing individu dengan cara dan pola yang berbeda. Laki-laki ditandai dengan adanya mimpi basah (wet dream) yang nyaris tidak ada perubahan dan kecemasan yang berarti secara psikologis bagi individu si laki-laki, dan itupun terjadi hanya beberapa menit saja di dalam mimpinya. Selanjutnya, kejadian itupun tidak akan pernah diketahui oleh orang lain, sepanjang individu si laki-laki itu tidak bercerita tentang pengalamannya itu.

Berbeda dengan perempuan, terjadinya peralihan dari masa prapubertas ke masa pubertas dalam diri individu perempuan diawali dengan perubahan fisik yang sangat jelas dengan ditandai adanya menstruasi pertama yang berlangsung selama beberapa hari dan secara fisik biasanya akan diketahui pula oleh orang lain, terutama ibunya yang biasanya turut membantu dan memberi pengarahan tentang proses penanganan masalah tersebut.

Anak perempuan yang mengalami manarche biasanya mengalami kecemasan dan malu terhadap lingkungan sekitarnya terutama keluarganya yang mengetahui dirinya telah mengalami menstruasi. Oleh sebab itu, banyak anak perempuan yang mengalami manarche biasanya mengurung diri di rumah karena malu tentang perubahan dalam dirinya.

Dengan demikian, paling tidak, secara umum peralihan masa prapubertas ke masa pubertas dalam diri individu laki-laki tidak secemas dalam diri individu perempuan. Buktinya, dalam banyak budaya tradisional peralihan masa prapubertas ke pubertas yang dialami kaum perempuan yang ditandai dengan manarche itu seringkali diadakan ritus peralihan (inisiasi).

Upacara ini dianggap sebagai wujud pendewasaan kaum perempuan, namun adapula anggapan dalam budaya tertentu seperti yang terjadi di beberapa suku di daratan Afrika dan Papua yang menganggap bahwa perempuan yang mengalami manarche harus diasingkan karena dapat dianggap pembawa malapetaka bagi kelompoknya. Oleh sebab itu selama dalam pengasingannya, mereka tidak boleh bertemu dengan kelompoknya sebelum upacara ritual penolak bala selesai. Konon dalam budaya lain seperti yang terjadi si Kepulauan Samoa, seorang perempuan yang beranjak dewasa harus merelakan tubuhnya untuk dirajah (tatoo) atau bahkan di Bali sekalipun dahulu seorang perempuan yang beranjak dewasa wajib mengikir giginya sebagai ritus peralihan dari masa prapubertas ke alam kedewasaan yang baru.

Ritus peralihan yang dialami individu perempuan secara nyata dalam banyak budaya terkadang memang lebih rumit daripada yang dialami kaum laki-laki. Dan dalam sejarahnya proses siklus reproduksi dalam diri perempuan itu selalu dipenuhi dengan mitos dan tabu yang terkadang banyak mengekang kebebasan diri perempuan. Hasil penelitian Hidir (2001) tentang mitos dan tabu hamil di kalangan masyarakat Melayu Kuantan Singingi menunjukkan bahwa akibat praktek tabu dan mitos yang mereka jalankan banyak perempuan miskin pedesaan mengalami malnutrisi.

2. Cuti Haid.

Dalam perjalanannya siklus reproduksi kaum perempuan ternyata cukup panjang dan rumit. Seperti yang telah dipaparkan di atas, di mulai dari masa pra pubertas, pubertas, menarche, reproduksi, pra menopause, menopause, pasca menopause, ooforopause, prasenium dan senium. Siklus yang demikian rumit ini dianggap sebagai kodrat perempuan sehingga semua fase siklus itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja tidak ada sesuatu yang aneh. Oleh karena dianggap sebagai sesuatu yang wajar, maka fenomena cuti haid dan hamil seringkali dalam konteks pekerjaan perempuan dianggap tidak ada.

Bahkan bila merujuk pada Peraturan Pemerintah tentang Ketentuan Pegawai Negeri, yaitu ketentuan untuk cuti haid tidak dinyatakan secara eksplisit dan hanya untuk cuti hamil saja yang dinyatakan secara jelas yang dapat mencapai 3 bulan lamanya. Sementara untuk cuti haid paling hanya dinyatakan sebagai ijin sakit saja. Apalagi dalam praktek dunia industri yang mempekerjakan perempuan hampir sama sekali tidak disentuh tentang siklus haid ini bagi kaum perempuan.

Sebenarnya untuk kalangan industri dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1951 pasal 13, dinyatakan : buruh wanita tidak diwajibkan bekerja pada hari pertama dan hari kedua pada waktu haid. Dalam pelaksanaan cuti ini pihak perusahaan harus tetap membayar gaji buruh tanpa harus memotong upah dari akibat ketidakhadirannya bekerja. Namun dalam prakteknya Undang-Undang No.1 Tahun 1951 ini tidak pernah berjalan karena pihak industri selalu mengedepankan kerja yang efektif dan efisien. Apalagi dalam masa sekarang haid sudah tidak dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu aktivitas kaum perempuan, karena bisa diatasi dengan berbagai alat bantu (Helida Heirani,1997).

Pada hal kaum perempuan yang bekerja sebagai buruh umumnya dalam posisi yang sangat lemah, mereka tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang hak-haknya. Apalagi kaum perempuan yang bekerja di sektor industri lebih banyak yang berstatus pekerja harian atau borongan, sehingga hak-hak mereka menjadi terabaikan. Sebagai ilustrasi, masih menurut Heirani (1997) bahwa buruh industri pabrik rokok yang menggunakan hak cuti haid tidak sampai 5 %, selebihnya mereka tidak mau menggunakan haknya tersebut. Ini disebabkan adanya ketakutan dari mereka sendiri untuk merasa malu menyampaikan tentang siklus bulanan yang mereka alami. Apalagi ada anggapan bahwa haid adalah tabu untuk dibicarakan dengan orang lain.

Konsekuensinya, buruh perempuan dengan segala resikonya mereka tetap bekerja dalam kondisi sedang haid. Pada hal menurut Kartini Kartono (1987) masalah haid pada kaum perempuan tidak selamanya membawa akibat positif, bahkan seringkali haid disertai dengan keluhan lain seperti; strees, mual, pusing dan emosional.

Selain kurangnya perhatian pihak perusahaan pada hak-hak buruh perempuan, juga seringkali pihak perusahaan kurang mengindahkan kepentingan umum buruh perempuan. Seperti misalnya untuk kasus industri plywood di daerah Riau yang banyak memperkerjakan ribuan buruh perempuan, ternyata jumlah kamar kecil yang tersedia tidak seimbang dengan jumlah kebutuhan pekerja. Hal ini tentunya menyulitkan bagi mereka dalam mengantisipasi segala sesuatu yang terjadi dengan siklus reproduksinya. Pada hal dalam proses buang hajat dan antisipasi siklus reproduksi antara buruh perempuan dan laki-laki jelas berbeda kebutuhannya. Bagi buruh laki-laki kondisi seperti itu nyaris tidak akan banyak mengalami kesulitan, sementara untuk buruh perempuan kurangnya kamar kecil yang tersedia menjadi hambatan dalam banyak hal.

Adanya Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) yang dibentuk oleh serikat pekerja dengan pihak perusahaan yang bertujuan untuk melindungi hak-hak pekerja terutama buruh perempuan dari hasil Konvensi ILO yang diratifikasi Depnaker, sebenarnya telah memuat esensi hak-hak reproduksi kaum perempuan. Di dalam KKB itu, secara nyata diberikan hak cuti haid, hamil dan cuti sakit untuk seluruh pekerja. Namun kenyataannya, pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Apalagi kaum buruh perempuan umumnya hanya bekerja sebagai pekerja unskill labour yang nota bene berpendidikan rendah, sehingga mereka tidak mengetahui tentang hak-haknya. Mereka sudah cukup puas dengan keadaan serupa itu, sehingga tuntutan ke arah itu tidak pernah terfikirkan oleh mereka.


Malang, 21 September 2003


Minggu, Juli 20, 2008

TREN BUNUH DIRI DALAM MASYARAKAT KITA


1. Gejala Bunuh Diri.

Menurut laporan untuk tahun 2000 telah terjadi 520.000 kasus pembunuhan. Dari jumlah itu laki-laki yang terbunuh jumlahnya mencapai 70 %, dan yang tertinggi berada dalam kategori usia 15-29 tahun. Sedangkan angka bunuh diri dalam tahun yang sama berjumlah 815.000 kasus dari jumlah inipun diketahui 60 % adalah berkelamin laki-laki dalam rentangan usia 15- 44 tahun. Sedang untuk kasus bunuh diri kaum perempuan juga mengalami peningkatan, namun kaum laki-laki lebih dominan. (Kompas 18 November 2002).

Dengan demikian angka bunuh diri lebih tinggi daripada angka kasus pembunuhan. Dan harus diakui bahwa fenomena bunuh itu ibarat bola salju dan gunung es. Artinya, semakin lama semakin banyak dan besar sementara jumlah yang berhasil dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah kasus yang terjadi. Asumsi ini dapat kita cermati dari amatan akhir-akhir ini di mana hampir setiap media massa dalam rubrik kriminalitasnya selalu muncul berita tentang kasus-kasus bunuh diri. Tampaknya fenomena bunuh diri dalam masyarakat kita kini kian menggejala saja dengan berbagai macam modus dan bentuknya. Pola bunuh diri yang dilakukan oleh masyarakat cukup bervariasi, mulai dari yang minum racun serangga, loncat dari gedung yang tinggi hingga pola yang paling umum dilakukan seperti gantung diri.

Fenomena ini menjadi paradok di tengah maraknya kontroversi tentang penerapan perlu tidaknya hukuman mati dilakukan terhadap terpidana mati, di mana banyak kalangan yang kontra terhadap penerapan sanksi hukuman seperti ini karena dianggap sebagai pengekangan terhadap hak hidup manusia. Tetapi justru ironinya dalam masyarakat kita banyak terjadi kasus bunuh diri ?. Bahkan kasus bunuh diri dalam masyarakat kita akhir-akhir ini tampaknya sudah semakin menggejala dan menunjukkan ke arah peningkatan !.

Buktinya, indikasi ini dapat diamati dari laporan buku “ Mayat Luar “ milik Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo Jakarta hingga akhir februari 2003 lalu di mana tercatat ada 17 mayat dari luar yang dikirim ke rumah sakit untuk divisum dengan gejala kematian akibat bunuh diri. Dari laporan itu, usia mereka yang teridentifikasi sebagai pelaku bunuh diri tidak mengenal istilah tua atau muda baik berkelamin laki-laki atau perempuan. Karena dari beberapa mayat yang dikirim itu ada seorang perempuan tua berumur 62 tahun dan gadis muda berumur 16 tahun (Kompas 3 Maret 2003).


KASUS BUNUH DIRI DI JABOTABEK SELAMA JANUARI-MARET 2003

No

Tanggal

Kasus


Indikasi kematian

Indikasi Penyebab

1.

12 Januari

Yayan (53 thn) Tangerang

Gantung diri

Tekanan ekonomi

2.

21 Januari

Rojana (17 thn) Cipondoh

Gantung diri

Malu atas ulah pamannya terhadap temannya sesama baby sitter

3.

9 Februari

Johan Darmawan (35 thn) Tangerang

-

Bunuh diri karena burung kesayangannya mati

4.

13 Februari

Slamet (65 thn) Tangerang

Gantung diri

Cemburu pada istrinya

5.

26 Februari

Ajun Malik (50 thn)

Gantung diri

Tekanan ekonomi

6.

16 Maret

Helen (24 thn) Tangerang

Gantung diri

Sering cekcok dan cemburu pada suami

7.

17 Maret

Indra (32 thn) Depok

Gantung diri

Tekanan ekonomi karena terbelit utang

8.

29 Maret

Agung Ali Bani (22 thn) Jakarta

Gantung diri

Tidak ada data penyebab

9.

13 April

Maryam (18 thn) Jakarta

Gantung diri

Mendapat kabar ibunya sakit

10.

15 April

Nawawi (41 thn) Jakarta

Gantung diri

Diduga karena ditanyai soal gaji oleh istrinya

11.

17 April

Sugiharto (53 thn) Bogor

Gantung diri

Tekanan ekonomi dan terbelit utang

12.

19 April

Edi Mustofa (18 thn) Jakarta

Gantung diri

Cinta ditolak

13.

28 April

Botang (63 thn) Depok

Gantung diri

Dilarang ke empat anaknya untuk jual tanahnya untuk biaya nikah lagi

Sumber : Diolah dari Harian Kompas Januari- Mei 2003

Data di atas memang hanya melaporkan kasus yang terjadi di wilayah Jabotabek saja, tetapi sebenarnya kalau kita simak dari laporan media massa lokal ternyata kasus bunuh diri tidak hanya terjadi di Jabotabek saja. Misalnya harian Jawa Pos Surabaya dan Suara Merdeka Jawa Tengah juga melaporkan terjadinya kasus-kasus bunuh diri di daerahnya.


2. Pola Bunuh Diri.

Dilaporkan lagi, bahwa angka bunuh diri saat ini tertinggi memang terjadi di kawasan konflik seperti di kawasan Timur Tengah (Palestina), namun bunuh diri yang mereka lakukan meminjam istilah Durkheim cenderung lebih bersifat altruisme ketimbang kasus yang terjadi di Indonesia yang lebih bersifat individual.

Bila demikian halnya, sebenarnya apa yang tengah terjadi di dalam masyakat kita ini ?. Mengapa mereka dengan mudah mengakhiri kehidupan ini ?. Pada hal hidup ini sebenarnya menurut sebagian orang adalah sesuatu kenikmatan. Buktinya banyak orang dengan rela menghamburkan banyak uang dengan tujuan mencari berbagai bentuk pengobatan sebagai alternatif untuk memperpanjang usia hidupnya. Tetapi di pihak lain justru ada sebagian lain dari mereka yang nyata-nyata sehat secara fisik tetapi justru mereka tidak mau hidup lebih lama. Mereka bunuh diri !! .

Sebenarnya untuk menganalisis gejala bunuh diri, ada banyak pendapat. Misalnya menurut seorang ahli psikologi klinis dari Universitas Indonesia Kristi Poerwandari, menjelaskan untuk menelaah kenapa seseorang melakukan bunuh diri. Menurutnya minimal harus memenuhi dua syarat, pertama adanya faktor pendahulu yang mempengaruhi seseorang melakukan percobaan bunuh diri, dan kedua adanya faktor pencetus dan situasi yang mendorong seseorang melakukan bunuh diri.

Faktor pendorong orang melakukan bunuh diri ini dianggap paling banyak mempengaruhi perilaku seseorang untuk melakukan bunuh diri. Apalagi menurut Ronny Nitibaskara seorang kriminolog yang sama dari Universitas Indonesia mengatakan bila faktor pendorong yang dimiliki seseorang itu tidak didukung dengan penguasaan eksternal yang kuat, maka perilaku ini akan mendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri.

Walaupun sejauh ini dan apapun alasannya, seseorang itu melakukan bunuh diri memang sulit dicari penyebabnya. Namun paling tidak sebagian orang yang telah melakukan bunuh diri, seringkali meninggalkan catatan kecil atau semacam surat terakhir untuk orang yang ditinggalkannya yang memberikan kesan tentang suatu masalah yang dia hadapi sebagai penyebab mereka memutuskan pergi meninggal dunia fana ini. Catatan-catatan kecil itu, hampir semuanya menjelaskan bahwa mereka memutuskan untuk bunuh diri lebih disebabkan oleh faktor ekonomi, kisah asmara dan keluarga.

Fenomena ini sebenarnya pernah dicermati oleh seorang ahli sosiologi Perancis bernama Durkheim dalam bukunya Suicide. Durkheim menganalisa bahwa faktor solidaritas sangat terkait dengan kecendrungan seseorang melakukan bunuh diri. Analisa Durkheim secara implisit, menjelaskan bahwa solidaritas sosial terkait dengan faktor ekonomi dan keluarga. Sebab kekentalan nilai kohesif yang ada dalam setiap individu untuk berbagi rasa sangat mewarnai pilihan untuk melakukan bunuh diri. Durkheim membandingkan antara mereka yang kawin dengan yang tidak kawin, mereka yang memiliki anak dan yang tidak memiliki anak. Kesimpulannya bahwa keajegan hubungan sosial yang dibangun diantara mereka dapat mengurangi angka bunuh diri.

Sementara itu seorang antropolog Inggris James Frazer, mencoba memecahkan teka-teki bunuh diri ini dikaitkan dengan pemahaman religi. Teori Frazer tentang batas akal mencoba menjelaskan fenomena ini. Bahwa seseorang dalam kapasitas tertentu akan mencoba memecahkan setiap persoalan hidupnya dengan akal sehat (rasionalitas) nya. Namun batas akal seseorang ini memiliki batas toleransi, di mana bila himpitan persoalan seseorang itu telah mencapai puncaknya dan akal mereka sudah tidak mampu lagi mencerna, maka seseorang cenderung akan memecahkan persoalan hidupnya secara irasional melalui perantaraan religi.

Penguasaan religi seseorang itu menurut Frazer sangat relatif, maka ini kiranya yang dianggap sebagai penguasaan eksternal oleh Ronny Nitibaskara tadi yang menjelaskan bahwa seseorang itu jadi atau tidaknya melakukan bunuh diri. Pemahaman faktor eksternal yang kuat, dalam hal ini religi dapat menekan perilaku bunuh diri. Dengan demikian religi di sini memiliki fungsi sebagai peredam kegalauan dan kegundahan hati manusia. Maka menurut Frazer seseorang yang cukup kuat penguasaan religinya, mereka akan menyikapi segala persoalan hidupnya dengan sikap mental positif dan adanya rasa kepasrahan (tawakal). Namun mereka yang tidak mampu memecahkan masalah hidupnya dan penguasaan religinya juga rendah, cenderung untuk mengambil jalan pintas dengan jalan bunuh diri.

Terlepas dari berbagai argumen teoretis itu, tampaknya gejala bunuh diri di Indonesia menunjukkan grafik kenaikan. Kondisi ini bila dilihat secara ekonomi sekarang ini memang tidak kondusif untuk sebagian masyarakat. Tingginya angka pengangguran, kenaikan sejumlah harga kebutuhan pokok, kemiskinan, bencana alam, dan konflik horizontal, telah menyebabkan sebagian dari masyarakat kita mengalami kesulitan hidup. Bahkan angka depresi dan potensi stress bagi sebagian masyarakat ibukota justru kinipun menunjukkan ke arah peningkatan. Hal ini mungkin dianggap sebagai pendorong untuk seseorang melakukan berbagai perilaku menyimpang. Maka konsekuensinya angka kriminalitas seperti pencurian, perampokan, dan pembunuhan menjadi semakin tinggi. Pilihan-pilihan perilaku kriminalitas yang dilakukan sebagian orang ini bisa jadi disebabkan hanya untuk tetap survive dalam persaingan yang tidak seimbang. Karena untuk memasuki dunia formal dalam pemenuhan ekonomi keluarga bagi sebagian masyarakat krannya sudah tertutup. Tertutup oleh hambatan struktural dan kultural yang dibangun oleh masyarakat sendiri.

Di pihak lain, bagi mereka yang tidak mampu berusaha survival dan melakukan penyimpangan perilaku ditambah memiliki penguasaan eksternal yang rendah maka pilihan bunuh diri adalah yang paling mudah untuk mereka lakukan. Karena dengan bunuh diri dianggap persoalan hidup yang kurang menguntungkan bagi dirinya terselesaikan. Maka jadi wajar bila angka bunuh diri semakin meningkat di tengah alam ekonomi dan belenggu kemiskinan banyak memihak pada kaum yang mudah putus asa karena penguasaan eksternalnya lemah.

Malang, 11 November 2003






Minggu, Juni 15, 2008

Janda dan Duda dalam Perspektif Jender

Oleh : Achmad Hidir


Stereotype jender tentang dua konsep janda dan duda di dalam masyarakat kita tampaknya memiliki makna yang berbeda. Walaupun keduanya secara sosial memiliki status yang sama namun secara kultural mereka dianggap memiliki nilai yang tidak sama. Konotasi “duda” dalam masyarakat kita selalu dianggap hal yang lumrah tidak ada suatu keanehan, berbeda dengan janda, janda dalam masyarakat kita masih dianggap label yang janggal terlebih jika status janda tersebut diperoleh bukan karena kematian pasangan hidupnya tetapi karena perceraian dengan pasangannya.

Pada hal terjadinya suatu perceraian itu bukanlah selalu satu-satunya kesalahan yang terletak pada kaum perempuan saja. Nakamura (1990) mengidentifikasikannya ada beberapa sebab yang mengakibatkan hancurnya suatu perkawinan, yaitu karena ; (1) faktor ekonomi, (2) krisis moral, (3) dimadu, (4) meninggalkan, (5) biologis, (6) ada pihak ke tiga, dan juga (7) karena politik. Ikhwal dari hancurnya perkawinan itu suka tidak suka membawa berba­gai konsekuensi, baik pada kaum perempuan (istri), laki-laki (suami) dan anak-anak (kalau ada).

Namun dalam budaya patriarki yang demikian dominan, hancurnya perkawinan selalu membawa dampak dan konotasi negatif bagi kaum perempuan. Artinya, dari kegagalan perkawinannya itu yang berakhir pada suatu perceraian menyebabkan segera pihak perempuan beralih statusnya menjadi seorang janda. Perempuan yang menjadi janda dalam usia relatif muda dan bukan karena kematian pasangan hidupnya seringkali dianggap sebagai perempuan yang kurang baik dan aneh oleh masyarakat. Maka segera saja bisik-bisik dan gosip tentang sesuatu hal pada seseorang yang berstatus “janda muda” itu akan segera muncul dalam masyarakat.

Topik pembicaraan tentang janda memang tampaknya lebih menarik daripada pembicaraan tentang duda, bukti demikian menariknya telah muncul berbagai cerita, anekdot dan bahkan buku humor yang banyak mengeksploitasi seputar kehidupan tentang janda. Cerita humor yang dikemas berupa buku kecil ini seringkali pula humornya selalu mengarah pada hal-hal berbau porno. Dan anehnya, hampir tidak ada pula buku yang dibuat serupa itu untuk kasus tentang kehidupan seorang duda. Dengan demikian stereotype tentang status janda dan duda itu memang nyata dalam masyarakat kita yang demikian patriarki.



Ikhwal seperti iti dapat dimaklumi karena di Indonesia masih sangat menjunjung tinggi institusi perkawinan, maka bila terjadi peralihan status perkawinan seseorang untuk kemudian menjadi duda atau janda akan memberi citra yang buruk. Dan citra buruk ini selalu pula lebih mengarah pada seseorang yang berlabelkan janda. Label janda bagi sebagian masyarakat kita masih dianggap seolah-olah adalah sam­pah, bekas pakai, dan tidak layak menjadi seorang istri lagi karena atas kegagalan rumah tangganya dahulu. Artinya, seorang janda selalu menjadi kambing hitam dari kegagalan suatu rumah tangga. Fenomena ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa posisi perempuan selalu menjadi subordinat dengan lawan jenisnya yang bernama pria itu.

Pada hal kegagalan perkawinan itu tidak seluruhnya terpikul pada pundak seorang perempuan. Sebab banyak bukti menunjukkan, bahwa justru pihak laki-lakilah seringkali penyebab perceraian itu, seperti misalnya untuk kasus di daerah Riau selama tahun 2002 mencapai 1.558 kasus perceraian yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, dan penyebab yang paling utamanya adalah " suami tidak bertanggung jawab ". Demikian juga seperti yang dilaporkan oleh Pengadilan Agama Bekasi, bahwa penceraian di daerah itu kini semakin meningkat dibandingkan sebelum krisis moneter dan seringkali alasan perceraian itu disebabkan oleh pasangan yang tidak bertanggung jawab dan adanya poligami yang tidak sehat (Kompas, 24 April 2003).

Apapun penyebab perceraian itu, kini mereka beralih status dan menyandang status baru sebagai janda ataupun duda. Untuk kasus perempuan yang berstatus janda seringkali memiliki citra yang buruk, meskipun kesalahan akibat perceraian itu tidak selalu diakibatkan olehnya.

Sebagai orang yang berstatus janda, kadangkala seorang lelakipun enggan untuk menikahinya lagi. Keengga­nan ini acapkali tidak hanya muncul dari individu si laki-laki saja, bahkan dilegitimasi oleh pihak keluarga laki-lakinya pula, untuk merasa malu bila bermenantukan seorang janda. Lantas kenapa orang malu bermenantukan seorang janda ?. Jawabannya karena di dalam masyarakat kita masih mementingkan virginality sebagai sesuatu barang yang harus dipertahankan oleh seorang perempuan dan menjadi ukuran langgeng tidaknya suatu perkawinan. Berbeda halnya dengan status duda , konsep duda jarang sekali dikaitkan dengan virginality oleh masyarakat meskipun sebenarnya secara sosial adalah sama, yaitu sama-sama bekas pakai dan pernah gagal dalam berumah tangga.

Oleh karena adanya bias persepsi dalam masyarakat seperti itu, tampaknya telah menyebabkan kaum perempuan untuk menjadi takut berstatus janda. Ketakutan ini cukup beralasan, selain karena faktor budaya juga terkadang secara ekonomipun perempuan seringkali sangat tergantung pada suaminya. Hasil penelitian Kasto (1982) menunjukkan bahwa perempuan yang cerai atau kematian suaminya cenderung untuk hidup menjanda. Kalaupun hendak menikah lagi, mereka lebih menyukai laki-laki yang pernah kawin (duda). Sedangkan laki-laki (duda) lebih banyak memilih perempuan yang belum pernah menikah Preferensi demikian, bisa jadi karena kaum laki-laki banyak yang enggan untuk menikahi seorang janda (apalagi telah memiliki anak dari suami pertamanya), selain juga karena adanya keengganan pihak keluarganya untuk memiliki menantu seorang janda tadi. Apalagi bila si laki-laki itu nyata-nyata seorang jejaka, maka rintangan yang harus dihadapi si laki-laki tidak sedikit, hal ini karena masih dianggap sungsang oleh sebagian masyarakat kita bila jejaka hendak menikahi janda. Tetapi sebaliknya, bila seorang duda hendak menikahi seorang gadis hal itu dianggap sah-sah saja.

Fenomena lain, tentang stereotype janda dan duda ini dapat diamati dari ukuran cepat-lambatnya menikah kembali antara janda dan duda. Artinya, bila seorang janda itu cepat menikah kembali dan mendahului mantan suaminya dalam memperoleh jodoh untuk yang kedua kalinya seringkali juga hal ini dianggap sesuatu yang tidak wajar. Maka dianggapnyalah seorang janda itu janda yang genit, sundal dan segudang predikat negatif lainnya. Tetapi sebaliknya bila mantan suaminya yang lebih dahulu menikah, hal ini dianggap wajar dan lumrah oleh masyarakat. Pada hal sebenarnya cepat-lambatnya menikah kembali itu tidak selalu ada kaitannya dengan kegenitan dan kesundalan seseorang, semua ini sangat terkait dengan masalah jodoh seseorang.

Oleh karena itu, terjadinya perceraian sebenarnya obyek yang paling menyakitkan dan menakutkan bagi sebagian perempuan, karena dampaknya begitu luas dan predikat yang disandangnyapun cukup membuat gerah setiap orang, karenanya banyak kaum perempuan menyerah dan rela untuk " disia-siakan " oleh suaminya asal tidak dicerai­kan, meskipun disertai dengan tindak kekerasan. Diidentifikasikan ada beberapa hal yang menyebab­kan perempuan bertahan dalam posisi seperti itu, antara lain;

  1. Mereka merasa kasihan pada suaminya, apalagi mengingat adanya nilai masyarakat bahwa perempuan itu diharapkan dapat merawat, mencintai dan memaafkan, masih kuat.

  2. Adanya bujukan dari keluarga atau teman yang memin­ta untuk bertahan demi anak-anak

  3. Faktor ekonomi, artinya perempuan akan merasa kesuli­tan bila bercerai dalam hal ekonomi, kecuali jika ada keluarga yang akan membantu. ( Fentiny dan Yuliarto Nugroho, 1991)

Sementara itu dalam prakteknya, orang tua yang memiliki anak perempuan berstatus jandapun ternyata lebih prihatin daripada ia memiliki anak laki-laki yang berstatus duda. Keprihatinan ini lebih disebabkan karena anaknya menjadi single parents. Menurut Wignyosoebroto (1994), di Indonesia, ditaksir jumlah keluarga demikian (sekalipun tak semuanya terjadi akibat perceraian) berada pada angka 6,5 % dari jumlah total yang ada. Keluarga single parents seperti ini tentu saja merupakan ajang hidup yang sangat kurang menguntungkan, baik secara ekonomi maupun secara sosial secara sempurna. Dilaporkan di kawasan Asia Pasi­fik, bahwa insiden kekurangan gizi di kalangan anak-anak sering tak hanya disebabkan oleh tingkat kesejahteraan keluarga yang rata-rata rendah, akan tetapi juga disebab­kan oleh penelantaran-penelantaran seperti itu.

Letak ketimpangan stereotype dalam masyarakat terhadap janda dan duda juga dapat diamati bila seorang perempuan berfungsi sebagai kepala keluarga (misal karena menjanda) tetapi dalam kenyataan mereka ini sering tidak masuk dalam hitungan dalam konteks pembangunan. Karena konsep kepala keluarga selalu diukur dengan status laki-laki. Karena di Indonesia budaya patriarki masih dominan.


Malang, 2 Mei 2003



Senin, Juni 02, 2008

WANITA ATAU PEREMPUAN

Tumpang-Tindih Antara Konsep Dan Perannya


Oleh : Achmad Hidir


1. Tumpang Tindih Konsep Wanita Atau Perempuan.


Satu keunikan dalam bahasa Indonesia tampaknya seringkali terjadi tumpang-tindih antara penggunaan konsep wanita dan perempuan. Untuk konsep wanita di Indonesia selalu dikontraskan dengan pasangannya yaitu pria. Sedang untuk konsep perempuan dikontraskan dengan konsep laki-laki. Maka muncullah konsep pria dan wanita atau laki-laki dan perempuan. Belum lagi di kalangan remajapun muncul pula konsep lain yang sering pula kita dengar, yaitu kontras antara cowok dan cewek.

Dalam tulisan ini tidaklah hendak membahas kedua konsep itu, namun ada satu perubahan fenomena menarik, di mana sekarang ini konsep wanita oleh pemerintah telah diubah dan lebih diarahkan untuk penggunaan pada konsep perempuan. Walaupun (setahu saya) tidak ada aturan resmi akan perubahan konsep ini oleh pemerintah. Namun pemerintah dengan political willnya telah merubah konsep ini dalam berbagai aksi dan kegiatannya. Sebut misalnya; dulu zaman Orde Baru dikenal adanya Menteri Negara Urusan Peranan Wanita kini telah diubah menjadi Menteri Negera Pemberdayaan Perempuan. Belum lagi dalam berbagai event seminar yang bertemakan kesetaraan jender selalu mengambil tema dengan topik bahasan tentang dunia “ kepe-rempuan-an “ nya bukan lagi menggunakan konsep “ ke –wanita-an” nya. Karena sebagian orang menganggap bahwa konsep “kewanitaan”-nya itu dianggap agak kurang sopan. Pada hal entah di mana letak ketidaksopanannya itu, atau mungkin juga letak ketidak-sopanannya itu karena orang selalu berfikir pada organ intim kewanitaannya itu.

Namun paling tidak, menurut beberapa ahli sosiologi jender dan juga bahasa serta pemerintah, konon konsep wanita itu kini sudah harus diganti karena dianggap terlalu merendahkan kaum perempuan. Konsep wanita sendiri, kelihatannya diambil dari Kirata Basa dalam bahasa Jawa. Kirata adalah suatu akronim dari Dikira-kira tapi nyata dan basa memiliki arti adalah bahasa. Jadi Kirata Basa, adalah bahasa yang dikira-kira tapi tampaknya memiliki arti yang nyata. Konsep guru dalam kirata basa memiliki arti digugu dan ditiru, konsep waria memiliki arti; wanita pria dan akhirnya untuk konsep wanita; memiliki arti wani di tata. Wani memiliki arti berani. Berani yang memiliki arti untuk suatu keharusan mau diatur atau ditata oleh lawan jenisnya yang bernama pria. Dengan demikian untuk konsep wanita seolah-olah mahluk ini telah dikondisikan sebagai mahluk yang tersubordinasi yang harus mau diatur oleh laki-laki.

Maka konsep wanita menurut banyak kalangan sebaiknya kini diubah menjadi konsep per-empu-an.. suatu kata yang memiliki kata dasar empu. Empu sendiri memiliki arti; ibu, induk, atu pangkal. Dengan demikian per-empu-an, memiliki arti lebih terhormat sebagai induk kehidupan atau pangkal kehidupan. (Hersri,1981) Selain itu juga kata empu sering juga untuk menjelaskan pada seseorang yang memiliki keahlian khusus, seperti misalnya Mpu Tantular, Mpu Gandring, Mpu Sendok dan lain sebagainya yang terkenal memiliki keahlian khusus di zamannya yang tidak semua orang mampu melakukannya.

Namun demikian kelihatannya perubahan konsep ini tidak semua orang mengerti, tahu dan memahaminya, hal ini terlihat bahwa masih banyak di dalam masyarakat kita masih tetap menggunakan dan mensubsitusikan antar kedua konsep ini, sehingga terkesan menjadi tumpang-tindih.

2. Eksploitasi Perempuan atas Perempuan.

Diakui atau tidak, gerakan emansipasi perempuan sebenarnya banyak diadopsi daeri teori-teori barat, yang terkadang sebenarnya tidak seluruhnya cocok untuk digunakan dalam konteks budaya Indonesia. Hal itu wajar, karena ketika gerakan emansipasi bergema terutama di dataran Eropa, ketika itu Eropa tengah mengalami masa transisi dari feodalisme ke arah kapitalisme.

Kaum perempuan yang selama itu, dikungkung oleh tradisi aristoktasi yang demikian kuat menginginkan kebebasan yang sama untuk berkiprah di sektor publik. Dalam konteks emansipasi di barat memang iklimnya demikian liberal, sehingga gerakan-gerakan feminis radikal yang Marxis sangat mendorong untuk emansipasi seperti ini. Tetapi untuk kasus Indonesia kelihatannya tidaklah seekstrim itu. Hal ini seperti dinyatakan oleh rekan penulis, seorang ahli sosiologi jender dari Universitas Brawijaya, yang ketika kembali dari mengikuti seminar di Belanda, dengan nyata-nyata di dalam forumnya ia menjelaskan bahwa gerakan emansipasi di Indonesia tidaklah akan menghilangkan kodrat perempuan yang berasal dari benua timur.

Dengan demikian, perempuan Indonesia masih tetap mau menghargai laki-laki sebagai suami sekaligus mitranya. Fenomena ini jadi cukup unik. Kenapa dikatakan cukup unik ?. Karena ditengah gencarnya tuntutan akan hak-hak perempuan, kaum perempuan Indonesia secara umum masih menjadi kaum yang termarjinalkan, baik secara ekonomi maupun secara sosial. Perempuan masih dituntut untuk menjalankan tugas-tugas domestik, selain pencari nafkah. Tugas domestik sebenarnya suatu tugas yang mulia, namun karena secara ekonomi tidak ada nilainya, maka tugas ini menjadi tidak ada harganya.

Kendatipun seiring dengan itu, kini kaum perempuan Indonesia sudah banyak yang mampu berpendidikan tinggi, berkiprah di sektor publik. Maka konsekuensinya, tugas domestiknya kini diserahkan pada orang lain yang biasanya adalah pembantu rumah tangga. Dalam kenyataannya pembantu rumah tangga ini yang juga nota bene adalah perempuan seringkali pula tidak dilindungi oleh Undang-Undang dan rawan pada eksploitasi, pelecehan seksual, perkosaan, dan kekerasan serta tidak ada jaminan sosial. Bukti-bukti banyak menunjukkan keberadaan pembantu rumah tangga seringkali dijadikan sapi perah oleh majikan, penghargaan dan perlindungan terhadapnya sama sekali kurang bahkan cenderung tidak ada. Bukti terakhir misalnya, TKW Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia mengalami penyiksaan dan dengan upah yang sangat kecil (Kompas 9 Maret 2003).

Nyatalah bahwa keinginan untuk merubah hidup dari dorongan budaya kapitalisme yang marak sekarang ini bagi sebagian perempuan kita, telah menjebak mereka pada situasi yang kurang menguntungkan. Mereka karena kualitas SDMnya yang rendah menjadi mudah tertipu, tereksploitasi, dan menjadi obyek trafficking dari sindikat perdagangan perempuan. Anehnya calo dan pencari mangsa serta mucikari untuk penjualan perempuan ini, seringkali pula berjenis kelamin perempuan juga.

Selain itu, acapkali perempuan karena dianggap kodratnya sebagai “pelayan“, kini menjadi ladang sumber pendapatan baru bagi sebagian masyarakat. Iklan penyediaan dan penyaluran pembantu rumah tangga, baby sitter, dan layanan pijat antar-jemput yang berkedok yayasan yang menggunakan jasa perempuan kini marak di berbagai media massa. Selain itu perempuan karena dianggap memiliki keluguannya, seringkali pula dijadikan sarana untuk distribusi pengedaran barang-barang terlarang seperti narkoba.

Sisi penting keterlibatan ekonomi kaum perempuan sebenarnya sudah lama diakui, namun tidak terangkat kepermukaan. Bahkan sejak krisis moneter dan banyaknya PHK, telah menyebabkan kaum perempuan masuk ke dunia kerja menggantikan peran laki-laki (suami) mereka yang terkena PHK. Lebih ironis banyak dari mereka yang terjun menjadi PSK sebagai pilihan terakhir karena akses mereka sangat kecil terhadap dunia yang didesain terlalu memihak laki-laki. Pada hal potensi kaum perempuan tidaklah lemah, mereka kuat. Bahkan cukup kuat, di Bali kaum perempuan banyak yang bekerja sebagai kuli bangunan, pengaspal jalan. Bahkan menurut penelitian perempuan desa jam kerjanya rata-rata 11 jam perhari lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang hanya mencapai 8 jam perhari (Julia Suryakusuma, 1981).

Menurut Qomari Anwar Rektor Uhamka Jakarta, pernah mengatakan dalam suatu acara di sebuah stasiun TV swasta bahwa aktivitas kaum perempuan desa dalam bekerja di rumah tangga, rata-rata menghabiskan enerji setara dengan berjalan kaki sepanjang 17 Km perhari. Pada hal mereka hanya berjalan berputar-putar di sekitar rumahnya saja.

Sekarang, Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB tentang hak-hak dan penghapusan diskriminasi perempuan. Namun kenyataan masih belum menunjukkan keseriusan masyarakat dan pemerintah. Perlindungan pada buruh perempuan (termasuk pembantu rumah tangga) dan hak-hak perempuan masih belum terealisasi dengan baik. Namun satu hal, satu langkah awal yang baik 18 Februari 2003 lalu merupakan hari bersejarah bagi perempuan Indonesia, setelah bertahun-tahun memperjuangkan keterwakilan mereka dalam politik akhirnya membuahkan hasil berupa dicantumkannya di dalam batang tubuh UU Pemilu Pasal 65 ayat 1 secara khusus bahwa sekurang-kurangnya 30 % bagi keterwakilan perempuan di dalam nominasi anggota DPR, DPR Provinsi dan DPR Kabupaten/Kota. Satu bukti bahwa kaum perempuan sudah mulai mampu mendobrak dominasi laki-laki.

Harus diakui keberhasilan kaum perempuan di satu sisi memberikan banyak perubahan pada kehidupan perempuan, namun di sisi lain eksploitasi atas diri mereka tampaknya belum juga akan berhenti. Maka akhirnya ada sinyalemen yang mengatakan bahwa; gerakan emansipasi perempuan, seringkali yang jadi korban justru perempuan juga. Buktikan bahwa itu tidak benar !.

Malang, 9 April 2003



Kamis, Mei 15, 2008

Mengapa Kesadaran Hukum Kita Rendah?

Publikasi Harian Sriwijaya Post Selasa 29 April 2003

Achmad Hidir


TIDAK salah bila Robert Seidman mengatakan dalam bukunya The State Law and Development (1978) bahwa seseorang barangkali akan mematuhi undang-undang atau aturan hukum, bila kebaikan atau keuntungan dari kepatuhannya itu melebihi kerugiannya bila ia melanggar hukum. Artinya, aturan hukum itu memiliki subjektivitasnya masing-masing bagi si pelaku dalam menjalankan aturan hukum itu. Sementara itu, banyak juga orang berpendapat, bahwa kepatuhan pada hukum itu dipengaruhi oleh teladan yang diberikan oleh para penegak hukum (reference group), seperti misalnya; jaksa, hakim, atau aparat kepolisian.
Dengan demikian, para penegak hukum dianggap oleh warga masyarakat sebagai kalangan yang paling tahu tentang seluk-beluk hukum, termasuk penegakkannya. Maka dapatlah dimengerti bahwa keresahan pasti akan timbul apabila ada penegak hukum yang melanggar hukum, atau menjadi backing dari suatu tindakan pelanggaran hukum.
Sebenarnya, secara psikologis, warga masyarakat mematuhi aturan hukum (termasuk aturan dan rambu - rambu lalu lintas) karena ada semacam rangsangan untuk menaatinya yang menimbulkan rasa takut. Kecuali itu, mungkin kepatuhan hukum disebabkan oleh karena yang bersangkutan juga ingin memelihara hubungan baik dengan lingkungan sosial atau penguasa (dalam hal ini mungkin aparat atau pemerintah). Selain itu sebenarnya, masih ada faktor lain yang turut mempengaruhi mengapa seseorang patuh pada hukum; yakni sesuainya nilai-nilai hukum dan aturan hukum dengan aspirasi yang tumbuh di kalangan masyarakat. Dari hal-hal inilah kiranya akan timbul bentuk-bentuk kepatuhan masyarakat terhadap hukum.
Namun tak disangkal, adakalanya pula masyarakat mematuhi aturan hukum disebabkan karena terpaksa (baik terpaksa karena sukarela atau tidak). Dikatakan terpaksa karena tidak sukarela karena memang tidak jarang seseorang atau katakanlah aparat memiliki kekuatan secara fisik dan non-fisik yang dapat mempengaruhi setiap warganya untuk patuh.
Dengan demikian, maka dapatlah dimengerti mengapa masih ada seseorang — katakanlah sopir Angkot/taksi yang masih mau melanggar rambu-rambu lalu lintas, sementara di lain waktu ia malah demikian patuh untuk menaati rambu-rambu lalu lintas. Fenomena ini menjelaskan, bahwa seringkali kepatuhan terhadap hukum itu muncul manakala ada petugas atau manakala ada pengawasan yang ketat.
Dari fenomena itu, pertanyaan yang muncul adalah; Apakah ini menunjukkan bahwa kesadaran hukum masyarakat kita masih rendah ? Untuk menjawab masalah ini tidaklah mudah dan sederhana. Karena kesadaran hukum menyangkut efektivitas, dan berfungsinya hukum sangat tergantung pada keefektivitasan menanamkan hukum tadi, kemudian reaksi masyarakat dan jangka waktu untuk menanamkan ketentuan hukum tersebut. Artinya, sepanjang masyarakat belum mengerti dan belum paham arti hukum yang ditanamkan maka sepanjang itu pulalah pelanggaran hukum akan terjadi.
Jadi proses kesadaran hukum merupakan suatu proses psikis yang terdapat pada diri manusia, yang mungkin muncul atau mungkin juga tidak. Karena masing-masing warga mempunyai rasa keadilannya sendiri-sendiri. Disadari atau tidak bahwa kesadaran hukum dalam masyarakat sebenarnya sangat tergantung pada iklim dan contoh dari aparat penegak hukum. Ambillah ilustrasi misalnya, seorang bapak yang hendak menerapkan disiplin untuk taat sembahyang pada anak-anaknya, sementara ia sendiri tidak pernah memberikan contoh untuk taat sembahyang. Maka tidaklah mungkin seorang anak itu akan taat, kalaupun taat itu hanyalah semu dan hanya seketika bila ada kontrol yang kuat — dalam hal ini mungkin bapaknya.
Menarik untuk disikapi adalah pooling yang dilakukan oleh salah satu TV swasta nasional yang baru lalu, tentang persepsi masyarakat terhadap kepercayaannya pada penegak hukum dan hukum di Indonesia. Hasilnya adalah mayoritas masyarakat tidak percaya lagi pada hukum dan penegak hukum. Indikasi ini sebenarnya menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat pada hukum sudah sangat kurang. Kenapa ?. karena bukti-bukti penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat dan pemerintah secara kasat mata tidak lagi menyentuh rasa keadilan masyarakat. Sebagai contoh sampai saat ini masih banyak konglomerat bermasalah masih berkeliaran, Release & Discharge yang dikeluarkan pemerintah tidak memperhatikan keluhan masyarakat sementara masyarakat dibebani dengan kenaikan harga yang melambung. Bahkan pernah seorang seniman membuat teka-teki pada suatu surat kabar ibukota, ia membuat pertanyaan; apa bedanya penyakit dengan pesakitan ?. Lalu kemudian ia memjawab dengan jenaka, (kalau tidak keliru) bahwa kalau penyakit suatu keadaan yang tidak normal dalam tubuh sedangkan kalau pesakitan kini jadi ketua DPR.
Sementara bila kita saksikan dalam acara derap hukum, buser, atau patroli yang ditayangkan hampir setiap hari oleh TV Swasta telah memperlihatkan; bagaimana seorang aparat menangkap buronan seperti layaknya menangkap hewan buruan yang tidak memiliki naluri manusia. Memang tindakan para penjahat itu perlu dihukum, namun cara penangkapannya itu yang kurang manusiawi, mereka menangkap, memukul, menjambak dan bahkan menendang. Dan itu dipertontonlan secara nyata di TV. Sangat ironis sekali dengan cara penangkapan para koruptor. Contohnya; tatkala Tommy ditangkap bukannya memperoleh pukulan dari aparat justru pelukan dari Kapolda Metro Jaya.
Fenomena ini pulalah yang menimbulkan kritik dari seorang pembaca pada Harian Kompas beberapa waktu yang lalu yang mengatakan tayangan-tayangan yang dipertontonkan pada acara buser, sergap ataupun patroli di TV swasta itu tidak layak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, karena terlalu menekankan pada arogansi aparat dan kekerasan layaknya film detektif Hollywood. Pada hal kenyataannya, hal itu kontradiktif dan kontraproduktif dengan kenyataan di lapangan.
Sebenarnya bila diruntut ke belakang, masalah kriminalitas dan ketidakdisplinan itu adalah manusiawi, karena dalam perilaku manusia itu selalu ada kecenderungan untuk selalu melakukan penyimpangan (deviation). Namun masalahnya kenapa, pada masyarakat yang sangat maju dan modern penyimpangan hukum sangat sedikit ?. atau bila dibalik pertanyaannya; kenapa pada masyarakat yang sangat tradisional dan nyaris primitif pelanggaran hukum yang terjadi juga hanya sedikit ?. Katakanlah, untuk kasus perkosaan pada masyarakat Dani di Irian (Papua) sampai sekarang ini nyaris tidak pernah terdengar. Pada hal dari cara berpakaiannya saja mereka sangat kondusif untuk melakukan perkosaan, kaum laki-laki hanya pakai koteka sementara kaum perempuan nyaris tidak berbaju. Tapi kenapa kasus perkosaan jarang terjadi pada hal secara logika sangat memungkinkan terjadi, karena kaum wanitanya tidak berbaju ?.
Untuk menjawab itu, sebenarnya sederhana saja, yaitu penegakan hukum di kalangan mereka dilaksanakan tanpa pilih kasih. Hukum dipahami tidak hanya sebagai perangkat aturan, tapi juga sebagai regularitas kehidupan mereka. Bila terjadi pelanggaran dan pelecehan terhadap hukum dipahami oleh mereka akan mengancam eksistensi mereka sebagai suku Dani. Maka menjadi kewajiban seluruh masyarakatnyalah untuk taat hukum dan kewajiban ketua adatnya pulalah untuk melaksanakannya secara tegas. Hal yang sama juga dialami oleh suku Badui di Banten Selatan atau orang Kuta di daerah Tambaksari Kabupaten Ciamis yang memenangkan hadiah Kalpataru 5 Juni 2002 lalu, karena ketaatan masyarakatnya pada hukum lingkungan pada pemanfaatan leuweung gede di daerahnya.
Sanksi hukum yang diberikan pada masyarakat tradisional bila terjadi pelanggaran sebenarnya tidaklah terlalu mahal dan sulit, dan mereka sebenarnya dengan mudah saja untuk melanggarnya. Namun kenyataannya mereka tetap mentaati hukum yang berlaku, karena hukum dianggap oleh mereka sebagai regularitas dan ditegakkan dengan konsekuen dan tanpa pilih kasih serta contoh yang baik dari tokoh adat.
Sekarang masalahnya, maukah pemimpin bangsa kita, penegak hukum dan kita semua merenungkan diri, kontemplasi dan melakukan introspeksi serta merefleksikan, sudahkah penegakan hukum itu dilakukan sesuai keinginan masyarakat ?. Bila belum, marilah kita mencontoh masyarakat Dani, warga Kuta atau orang Badui yang menurut orang modern adalah masyarakat kuno dan tradisional. Pada hal sebenarnya merekalah yang modern dalam penerapan sanksi hukum.

Entri Populer

MARI BERGABUNG DAN DISKUSI YUK !!!

BAGI PENCINTA DAN PEMINAT SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI BOLEH MENGUTIP POSTING DI SINI. ASALKAN MENYEBUTKAN SUMBERNYA YA !!!

APA KOMENTAR ANDA DENGAN BLOG INI ?


Perkenalan

Suka duka jadi seorang antropolog lebih banyak sukanya, karena lebih banyak mengenal masyarakat dengan berbagai karakteristik dan keragaman mereka.


Siapa bilang mereka adalah masyarakat bodoh .......mereka justru adalah masyarakat yang pintar, arif terhadap lingkungan dan taat dalam menjalankan norma adat mereka.

Bekal ini digunakan untuk menyebarluaskan kearifan mereka di tengah masyarakat modern, yang katanya paling hebat. Tapi nyatanya.........???????

Potret Masyarakat Pesisir

Potret Masyarakat Pesisir

Pembangunan PLB

Pembangunan PLB

PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP POLITIK

1. Pengantar

Sejarah perkembangan partisipasi dan partai politik di Indonesia sangat mewarnai perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal ini sangat mudah dipahami, karena partai politik dan partisipasi politik merupakan gambaran wajah peran rakyat dalam percaturan politik nasional atau dengan kata lain merupakan cerminan tingkat partisipasi politik masyarakat. Romantika kehidupan partai politik sejak kemerdekaan, ditandai dengan bermunculannya banyak partai (multi partai). Secara teoritikal, makin banyak partai politik memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkan kewajibannya sebagai warga negara. Banyaknya alternatif pilihan dan meluasnya ruang gerak partisipasi rakyat memberikan indikasi yang kuat bahwa sistem pemerintahan di tangan rakyat sangat mungkin untuk diwujudkan. Sebagaimana diketahui bahwa konflik memang sangat diperlukan untuk menumbuhkan kompetisi antarkontestan dan sekaligus menarik motivasi masing masing untuk melakukan koreksi, berbenah diri, dan mengejar ketinggalan dalam rangka memenangkan persaingan dalam merebut hati rakyat.

Pada gilirannya akan terjadi proses belajar dan proses pertumbuhan secara terus menerus menuju kearah lebih maju, lebih baik, dan lebih mensejahterakan rakyat. Namun bila kepentingan-kepentingan cenderung bersifat divergen dan kesadaran politik serta toleransi politik belum cukup memadai, maka banyaknya partai politik bisa menimbulkan keadaan makin meruncingnya perbedaan dan memperparah keruwetan, yang berimplikasi pada sulitnya manajemen politik untuk memelihara konflik pada tingkatan yang optimal. Dengan premis seperti itulah, maka pemerintah orde baru merasakan perlu untuk mereduksi partai politik agar menjurus ke dalam bentuknya yang lebih sederhana. Menurut jalan pemikirannya, tujuan yang ingin dicapai adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi makin berperannya partai politik di satu segi dan makin mudahnya pengendalian konflik dikala mencapai tingkatan yang dianggap membahayakan persatuan dan mengganggu jalannya pembangunan nasional pada segi yang lain. Oleh karena itulah, maka kemudian berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1975, partai politik yang semula jumlahnya cukup banyak direduksi menjadi tiga kekuatan politik saja, yaitu menjadi dua partai politik dan satu golongan karya (Golkar).

Patut diduga sebelumnya, bahwa rupanya upaya penyederhanaan partai politik lebih berat perkembangannya pada pengendalian konflik yang makin lama makin ketat dan melampaui batas toleransi yang sewajarnya bagi perkembangan partai politik. Pemerintah, terutama eksekutif makin kuat secara berlebihan dan partai politik makin lemah kekuasaannya sampai pada posisi yang tidak berdaya. Dalam kondisi seperti ini, jangankan dapat memainkan perannya untuk peningkatan partisipasi politik masyarakat, untuk bertahan hidup saja barangkali harus dengan bantuan pihak lain yang lebih memiliki kekuasaan. Implikasi selanjutnya, mudah diterka bahwa masyarakat dan rakyat tidak berdaya di satu sisi, dan kolusi, korupsi, dan nepotisme negatif merajalela tanpa hambatan dan makin lama makin tak terkendali.

Menyadari keadaan yang sangat distruktif bagi perkembangan negara dan bangsa, maka lahirlah gerakan reformasi yang tujuannya tidak lain untuk menghambat dan menghentikan proses dan praktik-praktik yang distruktif dan menggantinya dengan tatanan, proses, dan praktik-praktik yang konstruktif bagi perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara. Selanjutnya gerakan reformasi berubah bentuknya secara lebih sistematik menjadi agenda nasional. Sejalan dengan upaya reformasi yang merupakan agenda nasional yang kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Undang- undang No. 3 Tahun 1999, kehidupan kepartaian berubah kembali dengan kehidupan multi partai dan telah melahirkan 147 partai politik. Dengan mencermati uraian tersebut di atas, sangat mudah dimengerti bahwa ternyata sepak terjang peran partai politik sejak kemerdekaan sampai saat ini mengalami pasang dan surut dalam pembangunan bangsa khususnya peningkatan partisipasi politik masyarakat di dalam segenap aspek kehidupan pembangunan nasional. Peran partai politik yang bersifat pasang surut tersebut terutama dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat terlihat dalam pasang surutnya peran sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutment politik, dan sarana pengaturan konflik; karena keempat peran itu diambil alih oleh pemerintah khususnya eksekutif yang didukung oleh legislatif dan yudikatif.


2. Konsep Partai dan Partisipasi Politik.

Sistem politik demokrasi modern adalah sistem demokrasi perwakilan yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan partai politik. Di negara demokrasi, partai politik adalah suatu keniscayaan karena berkaitan erat dengan kemunculan lembaga-lembaga perwakilan sebagai sarana politik untuk mewujudkan aspirasi rakyat. Prinsip pemerintahan demokrasi, yakni "oleh rakyat" diwujudkan dengan adanya partai politik dan "dari rakyat" dapat diukur dari hasil pemilihan umum yang bersifat umum, langsung, bebas, rahasia, dan adil. Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan tentang kemunculan partai politik.

  1. Teori kelembagaan. Teori itu menyatakan bahwa munculnya partai politik karena dibentuk oleh kalangan legislatif untuk mengadakan kontak dengan masyarakat.

  2. Teori situasi historis yang menyatakan bahwa adanya partai politik sebagai jawaban untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan oleh perubahan masyarakat secara luas berupa krisis legitimasi, integrasi, dan partisipasi.

  3. Teori pembangunan yang mengungkapkan bahwa kelahiran partai politik merupakan hasil produk modernisasi sosial ekonomi.

Selanjutnya kemunculan partai politik setidaknya memiliki lima fungsi politik yang sangat penting.

  1. Sarana sosialisasi politik di mana partai melakukan kegiatan dalam proses pembentukan sikap dan orientasi politik masyarakat.

  2. Sarana komunikasi politik, yakni peran parpol sebagai agen penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah.

  3. Rekrutmen politik di mana parpol melakukan seleksi dan pengangkatan individu atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peran dalam sistem politik.

  4. Pengelola konflik. Yaitu parpol berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara-cara dialog, menampung, dan memadukan aspirasi maupun kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik.

  5. Artikulasi dan agregasi kepentingan politik di mana parpol memiliki peran penting dalam menyalurkan aspirasi dan kepentingan pemilihnya.

Sekarang masalahnya adalah; sejauhmanakah keterlibatan masyarakat dalam kegiatan partai politik ?. Dan bagaimana pula bentuk partisipasi politiknya ?.

Untuk kasus dewasa ini, memasuki lembaga legislatif mau-tidak mau harus melalui partai politik. Keterlibatan dalam partai politik adalah juga bentuk dari partisipasi politik. Berbicara tentang keterlibatan atau partisipasi politik, tentu saja kita tidak dapat menghindarkan diri dari diskusi tentang partisipasi politik menurut disiplin ilmu politik. Mely G. Tan (1992) dalam Yulfita (1995) membedakan partisipasi politik dalam dua aspek, yaitu dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit berupa keikutsertaan dalam politik praktis dan aktif dalam segala kegiatannya, sedangkan dalam arti luas, berupa keikutsertaan secara aktif dalam kegiatan yang mempunyai dampak kepada masyarakat luas, mempunyai kemampuan, kesempatan, dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang mendasar yang menyangkut kehidupan orang banyak. Budiardjo (1981) menyatakan partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memiliki pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah.

Kalau Huntington dijuluki sebagai bapaknya partisipasi politik, maka David Easton dapat pula dijuluki sebagai bapaknya teori sistem politik. Analisa teori sistem politik David Easton, memang paling mudah untuk dicermati - dalam kerangka sistem politik yang demokrasi, sebab alur pikirnya sangat sederhana, tetapi kegunaannya sangat luar biasa. Dalam teorinya yang sederhana, yakni ;

-->- input --> proses --> output -->-
|----------------------------------|
|
----------------------------------|
--<---------- Masyarakat ---------<--


Melihat proses tersebut di atas, dapat diasumsikan, seorang penguasa mengeluarkan (output) peraturan atau prundang-undangan, sampai di masyarakat, masyarakat bisa setuju atau sebaliknya tanggapanya (input), akan diproses kembali oleh sang penguasa untuk kemudian dikeluarkannya kembali peraturan yang dapat diterima oleh masyarakat. Dan demikian selanjutnya.

Dalam teori ini ada dua ciri pelaku partisipasi politik, yang membedakan seseorang berpartisipasi dalam politik, yakni :

  1. Yang dimobilisasikan

  2. Otonom
    Sikap politik pada kelompok pertama (yang dimobilisasikan), biasanya tampak orang tersebut sangat fanatik. Karena orang tersebut, hanya sok-sok an, sehingga yang ia tahu hanya berpihak, berpihak dan berpihak. Sedangkan strategi untuk memenangkannya - karena ia memang tidak paham, hanyalah melawan orang atau kelompok di luar dirinya, atau di luar kelompoknya.

Lain halnya dengan orang-orang yang mempunyai sikap otonom, biasanya mereka mengikutinya dengan seksama, menganalisanya, baik buruknya dari partai yang ingin ia dukung. Sehingga sikap otonom ini sangat sukar dipengaruhi untuk menjadi ugal-ugalan.

Pertanyaannya, siapakah diri Anda, apakah Anda kelompok pertama atau kedua?. Yang perlu kita ketahuai adalah, apakah kita sudah mempunyai kedewasaan berpolitik, atau belum?.

Khusus berkaitan dalam bidang partisipasi politik, menurut Rush dan Althoff (1983) untuk dapat melihat sejauhmana keikutsertaan seseorang dalam kegiatan politik dapat dilihat dari hierarki partisipasi politik yang dilakukannya. Hierarki partisipasi politik itu dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 1.1

Hierarki Partisipasi Politik



Menduduki Jabatan politik dan administratif



Mencari jabatan politik atau administratif



Keanggotaan aktif suatu organisasi politik



Keanggotaa pasif suatu organisasi politik



Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik



Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik



Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, kampanye dan sebagainya


Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum


Pemberian suara (voting)

Sumber: Rush dan Althoff, 1983


Masih menurut Rush dan Althoff (1983) hierarki partisipasi yang berupa tingkatan itu, bukanlah merupakan prasyarat bagi jenis partisipasi suatu tingkatan berikutnya, walaupun mungkin berlaku bagi tipe-tipe partisipasi tertentu. Kemudian dari skema itu tampak bahwa bila hierarki partisipasi politik semakin naik, maka semakin mengecil volumenya, ini artinya bahwa; jenis partisipasi semakin ke atas semakin sedikit jumlahnya untuk diikuti oleh setiap individu.

Kemudian selain itu, banyak teori dan pendapat dari para ahli politik dan sosial yang mengatakan; karakteristik sosial seseorang, seperti status sosial ekonomi, kelompok ras atau etnik, usia, seks dan agama, baik mereka hidup di kota atau di pedesaan, semuanya akan mempengaruhi partisipasi politiknya. Dengan demikian, faktor seks, pendidikan dan geografis (desa-kota) tampaknya juga sangat berpengaruh dalam bentuk partisipasi politik. Pendapat ini didukung oleh Almond dan Verba, yang pernah melakukan penelitian dengan membandingkan seks dan jenjang pendidikan di beberapa negara, hasilnya mereka menyimpulkan:


Tabel 1.1

Keanggotaan Organisasi Sukarela dilihat dari Seks dan Pendidikan


Karakteristik

AS

Inggris

Jerman

Italia

Meksiko

%

%

%

%

%

Pria

68

66

66

41

43

Wanita

47

30

24

19

15

Pendidikan dasar atau kurang

46

41

41

25

21

Sedikit pendidikan lanjutan

55

55

63

37

39

Sedikit pendidikan universitas

80

92

62

46

68

Sumber : Almond dan Verba, 1963


Kesimpulan dari kajian Almond dan Verba (1963) ini tampak bahwa; pria lebih cenderung menjadi anggota organisasi sukarela daripada perempuan, dan partisipasinya bertambah dengan pertambahan pendidikan. Almond dan Verba (1963) juga mencatat bahwa; status pekerjaan yang lebih tinggi pada umumnya melibatkan keanggotaan asosiasi sukarela, walaupun hubungannya tidak seerat antara pendidikan dan afiliasi.

Asumsi konservatif yang diungkap oleh Almond dan Verba (1963), Russett (1964) serta Rush dan Althoff (1983) ini yang menjelaskan bahwa partisipasi politik sangat tergantung pada status sosial ekonomi sebagaimana dikutip di atas telah dipatahkan dalam kasus perempuan buruh pabrik garmen PT. Tongkyung Makmur Abadi di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Jakarta. Hasil penelitian disertasi Nurul Aini1 (61) ini memperlihatkan adanya partisipasi otonom dari buruh yang umumnya berstatus sosial ekonomi rendah. Menurut Nurul Aini dalam disertasi doktornya, mengatakan bahwa partisipasi politik muncul karena tekanan dan perlakuan tidak adil yang terus-menerus diterima dari pengusaha dan dilandasi kesadaran akan hak-hak yang harus diperjuangkan.

Bila asumsi hasil penelitian Nurul Aini itu benar maka kajian ini telah merontokkan asumsi konservatif lama tentang partisipasi politik yang selalu mengkaitkan dengan domisili desa-kota dan tinggi-rendahnya status sosial ekonomi.

Kemudian bila berbicara masalah partisipasi politik, partisipasi politik dapat diartikan sebagai keterlibatan (involvement) terhadap kehidupan politik yang diwujudkan dalam bentuk tindakan (action) dan dilakukan secara sukarela (voluntary). Dalam studi partisipasi politik, partisipasi politik juga seringkali didefinisikan sebagai tindakan —bukan keyakinan atau sikap— warganegara biasa, bukan elite politik, untuk mempengaruhi keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik, bukan suatu kelompok masyarakat keagamaan tertentu, dan dilakukan secara sukarela, bukan dipaksa.

Partisipasi politik bukanlah sejenis kepercayaan atau keimanan, tapi juga bukan sikap seseorang terhadap sesuatu. Partisipasi politik membutuhkan tindakan individu. Ia telah mencapai pada level psikomotorik seseorang yang diwujudkan dengan perbuatan, bukan lagi pada level kognitif dan afektif. Kemudian secara sederhana, jenis partisipasi politik terbagi menjadi dua:

  1. Partisipasi secara konvensional di mana prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga.

  2. Partisipasi secara non-konvensional. Artinya, prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang melakukan partisipasi itu sendiri .

Jenis partisipasi yang pertama, terutama pemilu dan kampanye. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi konvensional warganegara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput.

Sementara bentuk partisipasi politik yang kedua biasanya terkait dengan aspirasi politik seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi demokrasi, dan karenanya, menyalurkannya melalui protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari protes sosial ini juga beragam, seperti memboikot, mogok, petisi, dialog, turun ke jalan, bahkan sampai merusak fasilitas umum. Selain itu, partisipasi politik dapat pula mengambil bentuk yang aktif dan yang pasif; tersusun mulai dari menduduki jabatan dalam organisasi sedemikian rupa, sampai kepada memberikan dukungan keuangan dengan jalan membayar sumbangan atau iuran keanggotaan. Kegiatan pemberian suara dapat dianggap sebagai bentuk partisipasi politik aktif paling kecil (lihat gambar 1.1), karena hal itu menuntut suatu keterlibatan minimal, yang akan berhenti jika pemberian suara telah terlaksana.

Selain membicarakan masalah partisipasi politik aktif, ada baiknya juga perlu dijelaskan macam-macam alasan mereka tidak ikut serta dalam kegiatan politik. Ketidakikutsertaan mereka ini, dapat disebabkan oleh alasan yang berbeda-beda. Penyebab ketidakikutsertaan mereka ini dapat disebabkan:

  1. Apati (masa bodoh), secara sederhana diartikan sebagai tidak punya minat atau perhatian terhadap orang lain, situasi atau gejala-gejala disekitarnya. Mengapa mereka memiliki sikap apatis, paling tidak ada 3 alasan pokok untuk menerangkan adanya apatis:

    1. Adanya konsekuensi yang ditanggung dari aktivitas politik. Hal ini dapat mengambil beberapa bentuk: individu dapat merasa, bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai aspek kehidupannya. Umpamanya; aktivitas politik yang ia ikuti dikuatirkan akan dapat mengancam eksistensi keluarganya; posisi sosialnya akan terganggu atau rusak dan lain sebagainya.

    2. Adanya anggapan aktivitas politik yang dilakukannya hanya akan sia-sia saja. Sebagai individu tunggal ia tidak mampu mempengaruhi iklim politik, ia merasa bahwa kekuatan politik selalu berada di luar kontrol dirinya sehingga apapun yang ia lakukan dianggap hanya akan sia-sia saja.

    3. Kehidupan politik dianggap kurang begitu memuaskan, partisipasi politik dianggap sebagai hasil yang sama sekali tidak layak bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan kebutuhan materinya.

  2. Sinisme, seperti halnya apati, meliputi kepasifan dan ketidak aktifan relatif, merupakan satu sikap yang dapat diterapkan baik pada aktivitas maupun ketidak aktifan. Secara politis sinisme menampilkan diri dalam bentuk; perasaan bahwa politik itu kotor, menjadi politisi itu tidak dapat dipercaya dan lain sebagainya.

  3. Alienasi politik sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berfikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa, yang dilakukan oleh orang lain untuk orang-orang lain, mengikuti sekumpulan aturan-aturan yang tidak adil. Dianggapanyalah bahwa kegiatan politik yang dilakukan oleh penguasa hanya menguntungkan mereka saja, tetapi tidak bagi dirinya.

  4. Anomie, perasaan kehilangan nilai dan ketiadaan arah, dalam mana individu mengalami perasaan ketidak efektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak perduli yang mengakibatkan devaluasi daripada tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.


3. Kegunaan partisipasi politik dalam kehidupan sehari-hari

Khusus di bidang politik, masih ada anggapan bahwa dunia politik itu identik dengan dunia maskulin dan penuh intrik. Anggapan ini muncul akibat adanya “image“ yang tidak sepenuhnya tepat tentang kehidupan politik; yaitu bahwa politik itu kotor, keras, penuh intrik, dan semacamnya, yang diidentikkan dengan karakteristik laki-laki. Selain itu pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik juga cenderung masih rendah. Akibatnya, jumlah masyarakat yang terjun di dunia politik kecil, termasuk di negara-negara yang tingkat demokrasinya dan persamaan hak asasinya cukup tinggi. Sebenarnya partisipasi politik masyarakat sangat penting berkaitan dengan:

  1. Partisipasi politik masyarakat dapat diarahkan untuk mengubah keputusan-keputusan penguasa, juga menggantikan atau bahkan mempertahankan suatu kekuasaan.

  2. Dalam bentuk institusi, partisipasi politik dapat diarahkan untuk mengubah ataupun mempertahankan organisasi sistem politik yang sudah ada, beserta aturan-aturan permainan politiknya.

Selain apa yang dijelaskan di atas, ada beberapa faktor Pendukung dan Penghambat Terhadap Peran Partai Politik dalam Peningkatan Partisipasi politik Masyarakat. Faktor-faktor pendukung bagi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat antara lain yang terpenting adalah:

  1. Masih diterimanya Pancasila serta pembukaan UUD 1945 dan keinginan untuk mengamandemen UUD 1945 merupakan wujud kesadaran berpolitik yang berakar kepada demokratisasi;

  2. Masih berjalan dan kuatnya struktur politik dengan semakin mantapnya kearah demokratisasi;

  3. Makin tingginya kesadaran politik masyarakat, ditunjukkan dengan pelaksanaan pemilu yang berlangsung aman, langsung, umum, bebas dan rahasia; dan

  4. Masih tingginya atensi politik terhadap penyelenggaraan kepemimpinan nasional, menunjukkan sikap mengarah kedewasaan berpolitik.

Faktor-faktor penghambat bagi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat antara lain yang terpenting adalah:

  1. Masih kurang ditaatinya peraturan, perundangan tentang mengeluarkan pendapat dan berkumpul serta masih diragukannya RUU KKN walaupun sudah diperbaiki dan disempurnakan;

  2. Kurangnya dilaksanakan dalam sikap dan tindakan yang lebih mengutamakan kepentingna nasional, dapat mengakibatkan melesetnya arah ketujuan nasional;

  3. Proses demokrasi dengan partai yang sangat banyak dapat memungkinkan lambatnya proses politik;

  4. Kemenangan pro kemerdekaan di Timor Timor menyebabkan suhu politik semakin hangat, ditambah masalah Aceh dan Ambon yang belum tuntas menyebabkan elit politik menggunakan suasana tersebut untuk mendapatkan keuntungan bukan justru memecahkan permasalahan;

  5. Masih adanya ide sparatis yang justru timbul pada saat situasi politik dan ekonomi lemah, serta dihadapkannya TNI dan Polri dalam front politik serta keamanan yang sangat luas.

Sedangkan faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat dapat diidentifikasikan antara lain:

  1. Faktor Sosial Ekonomi ; Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.

  2. Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :

    1. Komunikasi Politik, antara pemerintah (parpol) dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika

    2. Kesadaran Politik, menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan.

    3. Pengetahuan Masyarakat terhadap Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan akan menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil

    4. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik. Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan tertentu. Kontrol untuk mencegah dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik, kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik, memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat, untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan mengenai pembangunan politik .

  3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan Faktor fisik individu sebagai sumber kehidupan termasuk fasilitas serta ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaganya.

  4. Faktor Budaya, Budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, etika politik maupun teknik penerapannya. Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.


4. PENUTUP.

Beberapa permasalahan penting yang sekiranya dapat diangkat sebagai suatu deskripsi indikatif yang merupakan titik-titik tegas dari keseluruhan substansi yang dibahas antara lain adalah:

  1. Peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat khususnya peran sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen, dan sarana pengatur konflik masih belum optimal. Dalam rangka untuk mengoptimalkan peran partai politik tersebut telah disampaikan konsepsi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat, antara lain melalui pembangunan sistem kehidupan yang demokratis dan stabil yang dijabarkan dalam strategi pengembangan partisipasi politik masyarakat dan pembenahan mekanisme hubungan antar komponen dalam sistem politik; dan dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk upaya restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi partai politik dan berbagai aspek yang terkait.

  2. Untuk menjamin berjalannya peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat secara optimal, diperlukan keselarasan dan keseimbangan hubungan antar kekuatan sosial politik dan keseimbangan serta keselarasan peran partai politik itu sendiri baik sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, maupun sebagai sarana pengatur konflik. Hal yang terakhir ini perlu digaris bawahi karena keempat peran tersebut pada hakikatnya saling terkait dan bersifat saling mendukung satu dengan yang lain.

  3. Prospek perkembangan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat sangat tergantung pada kondisi politik secara makro dan tingkat kedewasaan elit politik dalam memainkan perannya sebagai penggerak dan pengorganisasi komponen komponen politik dan kemasyarakatan. Tingkat kesadaran politik rakyat yang sudah cukup tinggi yang terrefleksi dari keberhasilan dalam pelaksanaan Pemilu secara jurdil, luber, dan aman; tidak boleh diposisikan pada situasi yang justru mengakibatkan berbaliknya ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik. Sebab hal itu akan sangat menyulitkan dalam upaya peningkatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat.

  4. Dalam rangka penguatan peran partai politik untuk peningkatan partisipasi politik masyarakat, harus didahului atau terlebih dahulu harus diberdayakan partai politik itu sendiri dalam kancah percaturan politik nasional dengan menempatkannya pada posisi yang kuat dan memiliki daya tawar yang cukup memadai. Caranya adalah dengan restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi partai politik baik yang menyangkut struktur, mekanisme, budayanya, serta kapasitasnya dalam melakukan fungsinya sebagai saluran komunikasi politik.


Daftar Rujukan.

Arbi Sanit, Ormas dan Politik, Lembaga Studi Informasi dan Pembangunan, Jakarta, 1995

Bruce M Russett, et al. World Bank Hand Book of Political and Social Indication, New Haven, Conn, 1964.

Gabriel A. Almond dan Sydney Verba, The Civic Culture, Princeton, 1963

Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, alih bahasa Kartini Kartono, CV Rajawali Jakarta, 1983

Morris Rosenberg, Some Determinant of Political Apathy, Public Opinion Quarterly, 1954 349-366

Samuel P Huntington dan Joan M.Nelson, Partisipasi Politik Tak Ada Pilihan Mudah, PT. Sangkala Pulsar, Jakarta, tanpa tahun.


1 Anonim, Status Sosial Ekonomi Tidak Pengaruhi Partisipasi Politik, Harian Kompas 2 Agustus 2002