Senin, November 01, 2010

TUGAS SISTEM SOSIAL DAN BUDAYA INDONESIA

KHUSUS MAHASISWA UIR KELAS A,B DAN C


1. CERITAKAN DAN TULIS MENGENAI PROSES KONSILIASI YANG TERJADI ANTAR BERBAGAI KULTUR DI INDONESIA DALAM BINGKAI BHINEKA TUNGGAL IKA NKRI. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEGAGALAN (HAMBATAN) DAN KEBERHASILAN YANG TERJADI DALAM RANGKA MEWUJUDKAN NEGARA PERSATUAN NKRI.

2. MENGAPA BANYAKNYA PARTAI DALAM PEMILU YG LALU MENJADIKAN KONFLIK 2. 2. 2. MENGAPA BANYAKNYA PARTAI DALAM PEMILU YG LALU MENJADIKAN KONFLIK DAN PERPECAHAN ANTAR PENDUKUNGNYA DAN KERUSUHAN DALAM PILKADA DI BEBERAPA DAERAH. JELASKAN DENGAN PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

GUNAKAN RUJUKAN DALAM MENJAWAB DAN SEBUTKAN SUMBERNYA...

Kamis, September 16, 2010

BUDAYA KORUPSI: SEBUAH BENTUK MASALAH SOSIAL DI INDONESIA

A. Latar Belakang

”Beberapa Bupati dan Gubernur antri menunggu giliran diperiksa KPK” demikian bunyi sebuah headline surat kabar Metro Riau edisi 5 Juli 2007. Dari sinyalemen berita tersebut tampak bahwa budaya korupsi sudah semakin marak di Indonesia, termasuk di daerah Riau. Akhir-akhir ini masalah korupsi bukan lagi sebagai sebuah fenomena baru, bahkan setiap hari dalam berbagai media massa disajikan kasus-kasus penyelewangan dana yang dilakukan berbagai oknum, mulai dari lembaga eksekutif, legislatif, dan juga yudikatif.
Korupsi bukan hanya di pusat pemerintahan tetapi sekarang sudah merambah ke berbagai pelosok daerah, bahkan ke desa-desa. Buktinya banyak kepala desa, kepala sekolah yang dituntut mundur oleh warganya karena diindikasikan melakukan penyelewangan dana BLT, raskin, dana BOS, pungutan liar dan sebagainya.
Apakah korupsi sejak era reformasi semakin meningkat dilakukan masyarakat ?, bila kita amati di berbagai media massa yang melaporkan masalah korupsi, memang di era reformasi seperti sekarang ini intensitas laporan dan persidangan kasus-kasus korupsi semakin meningkat. Tetapi bukan berarti masalah korupsi baru muncul di era sekarang ini saja, tetapi sudah ada sejak era Orde Baru. Cuma bedanya ketika era Orde Baru kasus-kasus korupsi tidak terungkapkan secara murni dan jelas, karena peran media massa ketika itu masih tumpul dan kemampuan masyarakat untuk menyuarakannyapun terbatas.
Bila bercermin pada perkembangan sejarah bangsa Indonesia, sejak zaman dahulu negeri Indonesia dikenal sebagai negeri agraris. Sebagai negeri agraris maka sebagian besar rakyat Indonesia adalah sebagai petani. Dalam masyarakat petani di Indonesia, sebagaimana kita maklumi umumnya mereka adalah golongan masyarakat miskin.
Maka di alam kemerdekaan seperti sekarang ini muncullah dorongan yang amat kuat di tengah masyarakat kita untuk menaikkan taraf kehidupan dan memperbaiki status sosial; khususnya terdapat di kalangan para pemimpin. Selain pengaruh budaya konsumerisme, lingkungan sosial dan sebagainya mendorong perubahan pola hidup masyarakat di Indonesia. Tambahan pula, sebagai hasil daripada proses pendidikan yang lebih baik di zaman kemerdekaan ini, muncullah aspirasi-aspirasi materil, harapan dan ambisi-ambisi yang kuat untuk mengangkat diri.
Ketika era pembangunan mulai berlangsung di alam Orde Baru, semakin mendorong keinginan yang kuat dari sebagian besar bangsa Indonesia untuk merubah nasib dengan cara-cara yang radikal. Di tengah gejolak ambisi yang meluap-luap sedemikian itu tidak sedikit tokoh pemimpin yang dihinggapi obsesi untuk cepat menjadi makmur dan lekas menjadi kaya. Dengan segala daya dan upaya orang berlomba menduduki kursi pimpinan, untuk cepat menjadi kaya dan makmur, dengan cara yang paling mudah dan dengan biaya paling murah. Sehingga berkembang pola konsumsi mewah, tingkah laku menyeleweng untuk berkorupsi.
Korupsi sedemikian ini cepat berkembang, karena masa transisi itu mengandung banyak kelemahan di bidang hukum, sehingga memberikan banyak kesempatan bagi usaha-usaha penyelewengan dan perbuatan illegal. Setiap kesempatan, tiap jabatan dan fungsi formal, dipakai sebagai alat untuk memperkaya diri. Maka penyimpangan situasional berkembang menjadi endemis bahkan cenderung sistematis.

B. Tinjauan Pustaka.

Uang sering kali dianggap sebagai alat yang bersifat netral, bebas dari makna-makna sosial. Uang hanya merupakan alat transaksi pasar, yang merupakan satuan hitung dan bersifat obyektif, dalam penggunaannya uang tunduk pada aturan main pasar. Dalam perkembangannya uang saat ini bukan lagi sebagai instrumen alat pembayaran semata, melainkan juga sebagai komoditas yang dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk mendorong atas terjadinya perubahan social, bahkan uang dapat dijadikan sebagai alat kekuatan politik yang mampu mempengaruhi pihak lain, serta mampu membuat ketergantungan pihak lain terhadap mereka yang memiliki uang.
Bahkan uang dalam hubungannya dengan politik, ekonomi, hukum dan sosial kemasyarakatan berada pada pengaruh yang dominan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh dua sosiolog klasik Weber dan Simmel ,dalam buku yang ditulis Heru Nugroho (2001) dalam Risdayati (2004) bahwa : uang dapat dijadikan sebagai entrypoint untuk memahami proses rasional dalam masyarakat. Uang adalah sarana paling akurat untuk transaksi dan interaksi sosial ekonomi, akibatnya memiliki kemampuan mentransformasikan dunia sosial ke dalam “Problem aritmatik” ; bahkan Lebih lanjut ditegaskan bahwa uang merupakan sarana reifikasi paling murni karena kemampuan kalkulatifnya.
Atas pandangan di atas, apabila dikaitkan dengan perilaku masyarakat ada kecenderungan bahwa uang dapat mereduksi tindakan sosial ke dalam kalkulasi kuantitatif. Masyarakat kini tidak lagi cenderung bertanya apa dan bagaimana terhadap nilai uang dan makna-makna sosial, melainkan uang dapat difungsikan sebagai instrumen dalam membangun hukum pasar, baik perlakuannya antar individu, lembaga dengan individu, maupun antar lembaga.
Kecenderungan fungsi uang tersebut, apabila dikaitkan dalam teori Durkheim tentang uang dan fakta-fakta sosial (Nugroho, 2001) dalam Risdayati (2004) bahwa : Uang keberadaannya dalam masyarakat bersifat bebas dari motif-motif personal, obyektif bahkan memaksa terhadap individu. Esensi paling mendalam dari uang adalah kemampuan mempertukarkan berbagai obyek yang berbeda yang tidak terikat ruang dan waktu. Jadi uang melayani transaksi pasar yang impersonal dan mengekspresikan hubungan-hubungan ekonomi antar berbagai obyek dalam bentuk kuantitatif. Dengan uang dapat merubah seluruh perbedaan kualitatif menjadi kalkulasi aritmatik atau sistem angka-angka yang berpengaruh terhadap fakta-fakta sosial yang berkembang di masyarakat.
Senada dengan pandangan diatas menurut aliran sosiologi klasik, dari Marx dalam buku Sosiologi Uang ( Hugh dalziel duncan, 1997 dalam Risdayati, 2004) tentang fungsi uang yang menegaskan bahwa : Kemampuan uang dalam merubah fenomena sosial menjadi bentuk kuantitatif cenderung mengganggu dan mengacaukan seluruh aspek kehidupan sosial budaya. Marx mengamati bahwa uang sebagai instrumen yang obyektif mampu melenyapkan seluruh hubungan-hubungan subyektif antar obyek dan individu, dan mereduksi hubungan-hubungan personal ke dalam ikatan-ikatan instrumental yang kalkulatif.
Bertolak dari pandangan diatas, maka fungsi uang ternyata dapat menjadi penyekat hubungan sosial yang memiliki dimensi positif dan sebaliknya uang dapat berakibat pada dimensi negatif. Dalam kerangka tersebut, uang agar memiliki makna sosial yang kontrukstif secara alamiah, telah berlangsung suatu mekanisme hukum pasar, dimana akan berlaku suatu tatanan permintaan dan penawaran sebagaimana hukum ekonomi. Oleh karena demikian penting nilai uang, maka uang jadi diperebutkan dan sumber kekuasaan, kemewahan dan lain sebagainya.
Ditambah dengan masuknya arus kebudayaan “modern” di tanah air yang sangat menjunjung tinggi aspirasi materil dan kebudayaan uang, kebahagian hidup dinilai dengan standar uang. Maka uang mendominir segala pertimbangan; uang menjadi moral kebenaran. Muncullah kemudian kelompok Orang Kaya Baru. Muncul pula kelompok elite megah dengan kekayaan yang melimpah-limpah, sebagai hasil dari praktek-praktek koruptif. Maka koruptor-koruptor yang kaya raya, politisi yang berani ceroboh, pejabat yang korup baik yang sipil maupun yang berbaju uniform dan kaya raya, semua dipuja-puja dan dielu-elukan banyak orang. Tumpukan kekayaan dan kemewahan hidup tadi menjadi selendang penutup bagi praktek-praktek korupsinya.
Dalam kontek korupsi, sebenarnya tindakan ini termasuk dalam kategori penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial diartikan sebagai perbuatan yang abnormal dari kebiasaan umum (Ahmadi, 1987) dalam Marliana (2008). Tentang normal tidaknya perilaku menyimpang, pernah dijelaskan dalam pemikiran Emile Durkheim (dalam Soerjono Soekanto, 1985) . Bahwa perilaku menyimpang (tidak bermoral) atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal. Dengan demikian perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat pada sesuatu perbuatan yang tidak disengaja. Jadi kebalikan dari perilaku yang dianggap normal yaitu perilaku nakal/jahat (tak bermoral) yaitu perilaku yang disengaja meninggalkan keresahan pada masyarakat, termasuk dalam kontek ini adalah masalah korupsi.

C. Analisis.

Korupsi merupakan benalu sosial yang merusak sendi-sendi struktur pemerintahan, dan menjadi hambatan paling utama bagi pembangunan. Bahkan orang mengatakan, korupsi sudah menjadi salah satu aspek kebudayaan kita. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat, yang memakai uang sebagai standar kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan politisi korup yang berlebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elite yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka juga menduduki status social yang tinggi.
Korupsi itu bukan merupakan peristiwa herediter (bawaan sejak lahir, warisan); juga bukan merupakan warisan biologis. Tingkah laku kriminal itu bisa dilakukan oleh siapapun juga, baik wanita maupun pria; dapat berlangsung pada usia anak, dewasa ataupun lanjut umur. Tindak korupsi bisa dilakukan secara sadar ; yaitu difikirkan, direncanakan dan diarahkan pada satu maksud tertentu secara sadar benar. Namun bisa juga dilakukan secara setengah sadar; misalnya karena terpaksa untuk mempertahankan hidupnya.
Memang benar bahwa manusia itu bisa bebas berbuat menurut kemauannya. Dengan kemauan bebas dia berhak menetukan pilihan dan sikapnya. Untuk menjamin agar setiap perbuatan berdasarkan kemauan bebas cocok dengan keinginan masyarakat, maka manusia harus diatur dan ditekan, yaitu dengan hukum, norma-norma sosial, dan pendidikan. Hukum dan hukuman biasanya menyertai ancaman-ancaman pidana yang menakutkan, agar manusia merasa ngeri untuk berbuat korupsi dan tidak menyimpang dari pola kehidupan normal.
Di Indonesia, korupsi berkembang subur disegala bidang pemerintahan dan sector kehidupan. Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan sangsi, pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Di satu pihak mereka sangat bangga dan takjub akan kemewahan dan cara hidup orang golongan “jet-set” dan para koruptor. Namun dibalik itu juga terdapat dongkol terhadap tingkah laku mereka yang berlebihan. Selanjutnya sikap rakyat menjadi semakin apatis dengan semakin luasnya praktek-praktek korupsi oleh pejabat local, regional maupun nasional.
Tanggapan pemerintah terhadap korupsi juga cukup serius, sejak tahun-tahun 60an dilancarkan tim-tim pemberantasan korupsi, komisi empat dan OPSTIB (operasi tertib) pusat dan daerah. Perkembangan sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan yang baru ini memang memberikan banyak celah untuk berlangsungnya tidak korup, terutama korupsi materiil dari kelas-kelas social menengah dan tinggi. Namun jelas bagi kita, bahwa korupsi itu menjadi tanda pengukur bagi:
1. tidak adanya perkembangan politik yang efektif
2. tidak adanya partisipasi politik dari sebagian besar rakyat Indonesia khususnya rakyat miskin dan masyarakat di daerah pedesaan
3. tidak adanya badan hukum dan sanksi yang mempunyai kekuatan riil
Untuk memberantas korupsi yang sudah berurat berakar dalam sendi-sendi masyarakarat kita, diperlukan adanya partisipasi segenap lapisan rakyat. Tanpa partisipasi dan dukungan mereka, segala usaha, undang-undang dan komisi-komisi akan terbentur pada kegagalan. Beberapa saran diungkapkan disini, antara lain adalah:
1. Adanya kesadaran rakyat ikut memikul tanggungjawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional, kejujuran serta pengabdian pada bangsa dan negara.
3. para pemimpin dan pejabat memberikan teladan yang baik dengan mematuhi pola hidup sederhana, dan memiliki rasa tanggung jawab sosial.
4. adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberabtas, dan menghukum tindak korupsi. Tanpa kekuatan riil dan berani bertindak tegas, semua undang-undang, tim, komisi, dan operasi menjadi mubazir.
5. reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintahan, melalui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan-jawatan sebawahnya.
6. adanya sistem penerimaan pegawai berdasarkan prinsip achievement atau keteranpilan teknik. Dan bukan berdasarkan norma ascription. Sehingga memberikan keluasaan bagi berkembangnya nepotisme.
7. adanya kebutuhan pada pegawai-pegawai negeri yang non politik, demi kelancaran administrasi pemerintah. Ditunjang oleh gaji yang memadai bagi para pegawai, dan ada jaminan masa tua, sehingga bertukarlah kecenderungan untuk melakukan korupsi.
8. menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur, kompleksitas hierarki administratif harus disertai disiplin kerja yang tinggi.
9. sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok, dengan pengenaan pajak yang tinggi. Kekayaan yang statusnya tidak jelas dan diduga menjadi hasil korupsi, disita oleh negara (Marliana, 2008)

D. Kesimpulan

Ringkasnya, tindak korupsi itu merupakan tindak pidana yang sangat merugikan bangsa dan negara. Selain itu menjadi hambatan utama pada pembangunan. Salah satu tugas negara ialah menghadapi bahaya-bahaya subversi dan ancaman dari luar dengan sarana angkatan bersenjata. Maka tugas lainnya yang teramat penting ialah: mampu menyusun kekuatan riil untuk menanggulangi bahaya dari dalam, salah satunya ialah korupsi.

TANAH SEBAGAI MODAL DAN JAMINAN SOSIAL

1. Pengantar.

Konflik masalah tanah seakan melekat dalam tata kehidupan manusia. Tanah, sampai kapanpun akan menjadi komuditas menarik yang bukan saja bernilai ekonomi tapi juga sosial. Dalam tataran sosiologi seringkali penguasaan tanah dijadikan indikator strata sosial dalam suatu masyarakat (Saad, 1985). Sehingga tidak jarang konflik mengiringi kepemilikan atas penguasaan tanah. Bahkan untuk memiliki atau mempertahankannya bisa terjadi korban jiwa. Hal itu bisa terjadi antara rakyat dan negara, antar tetangga antar teman bahkan antar saudara.
Tentu konflik tersebut akan menarik perhatian umum bila sudah bersifat kolektif. Masih lekat dalam ingatan kita dalam media massa akhir-akhir ini kasus penggusuran di Jakarta dan kota-kota lain. Di mana mereka dengan mengatas namakan rakyat menduduki tanah yang dianggapnya tidak bertuan atau mereka minta ganti rugi karena sudah mereka bangun dan ditempati sekian lama.
Konflik tersebut akan semakin menarik perhatian publik, baik local, nasional maupun internasional bila sudah menimbulkan korban jiwa atau kerusakan alam. Seperti yang terjadi di beberapa wilayah hutan dan perkebunan di Jatim, Kalimantan Timur, Riau dan Jambi akibat konflik kondisi alam jadi rusak berat. Bagaimana tidak, yang tadinya hutan kini berubah tanah gersang dan panas. Begitu pula, tidak sedikit perkebunan, baik kopi, coklat, kelapa sawit, dan karet yang juga bernasib sama.
Tapi memang konflik tanah tersebut tidak bisa dijeneralisasikan, dengan mengkalim sebagai tindak penjarahan tapi harus dilihat kasus per kasus. Ada kasus tanah yang sifatnya memang murni untuk menuntut balik hak nya atas tanah yang telah lama hilang. Namun ada pula pendudukan secara paksa, kendati secara histories tidak ada ikatan kepemilikan. Namun apapun bentuknya tindakan represip terhadap mereka akan menimbulkan kontroversial.
Harus diakui bahwa selama ini konflik tanah selalu disikapi dengan pendekatan represif untuk menekan gejolak. Tindakan represif jelas melanggar HAM. Karena dalam keadaan apapun setiap orang berhak untuk hidup, tidak disiksa , persamaan hukum dan seterusnya. Jadi yang perlu digaris bawahi adalah kata kondisi apapun. Artinya dalam kondisi perangpun hak mereka harus dilindungi apalagi dalam kondisi damai. Gerakan radikal dari masyarakat terjadi tidak begitu saja, tapi ada pra kondisi. Perlu pula dipahami bahwa masyarakat itu terbentuk lebih dahulu baru kemudian terbentuk negara . Dan dalam masyarakat tradisional tersebut telah punya organisasi otonomi yang mengatur kehidupan mereka termasuk hak atas tanah.

B. Teori.

Kinerja modal memiliki prinsip, bagaimana mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya seefisien mungkin. Bisa jadi kinerja ‘modal’ pada hakekatnya adalah mesin uang atau sebagai pengganda kapital belaka. Kinerja ‘modal’ berhasil menumbuhkan kekayaan, akan tetapi hasil kekayaannya tidak dinikmati oleh semua orang. Inilah yang disebut bahwa modal menjadi hukum privat, maka wajar jika kinerja ‘modal’ mengelak dari peran sosial, karena peran sosial tidak ada korelasi langsung dengan kenerjanya. Kinerja ‘modal’ memilik prinsip bahwa kesejahteraan sosial adalah tanggung jawab organ publik (pemerintah).
Menurut Mahdy, (2005) Ada dua pemahaman terhadap ‘modal’: Pertama, ‘modal’ menjadi hukum privat, demi kepentingan kekayaan pribadi ( prinsip ekonomi). Kedua, ‘modal’ memiliki fungsi sosial. Persoalan sekarang adalah bagaimana pemerintah menjembatani dua pemahaman tentang ‘modal’ menjadi kesejahteraan bersama.
Pengertian modal sosial, dalam kajian ilmu-ilmu sosial kontemporer, terkait dengan perilaku kooperatif yang terorganisasikan secara horisontal, meski sering kali tidak formal, yang bisa mendorong pada adanya keteraturan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Di samping itu, dalam modal sosial ini terkandung pula hubungan saling mempercayai di antara warga masyarakat dan antara masyarakat dengan negara, bukan hubungan-hubungan dominasi dan otoritarianisme.
Konsep modal sosial telah menjadi pemahaman yang lebih penting dalam pembangunan ekonomi di zaman globalisasi seperti saat ini. Konsep ini, modal sosial perlu dipahami dalam kondisi:
1. Modal sosial harus dipertimbangkan dalam kaitannya dengan jaringan sosial
2. Modal sosial berkaitan dengan asosiasi institusi dalam pembangunan ekonomi lokal.
Bila bercermin dengan konsep modal sosial yang menekankan bahwa aspek komunitas, jaringan, asosiasi dann norma merupakan hal yang penting. Maka dalam kontek masalah tanah dapat dijadikan sumber modal sosial. Untuk menjelaskan hubungan masyarakat dengan sumber daya tanah yang merupakan lingkungan hidupnya, maka hubungan tersebut harus dilihat dari hubungan fungsional masyarakat dan lingkungan hidupnya.
Menurut Rajab (2005) mengutip Fukuyama, banyak juga pemerintah yang cakap dalam menghancurkan modal sosial. Umpamanya, bagaimana negara telah gagal memberikan dan melindungi hak-hak keamanan dan kepemilikan yang stabil kepada publik, sehingga mengakibatkan para warga negara tidak percaya bukan hanya pada pemerintah tapi juga saling tidak percaya di antara mereka sendiri dan menjadi sangat sulit untuk diasosiasikan. Pertumbuhan negara-negara kesejahteraan modern di Eropa Barat, sentralisasi fungsi-fungsinya, dan turut campurnya pada hampir seluruh perjalanan kehidupan warga negaranya cenderung melemahkan sosiabilitas spontan.
Sebagai contoh, misalnya seperti dilaporkan Hidir (2008), bahwa keadaan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan, maka masyarakatnya secara erat dan turun-temurun telah memanfaatkan lingkungan sebagai sumber sosial,ekonomi dan budayanya. Komunitas dan kebersamaan antar mereka dalam memanfaatkan sumber daya tanah tetap mereka pertahankan karena bagaimanapun juga tanah adalah sumber hidup mereka bersama. Dengan kata lain, tanah merupakan modal dan jaminan sosial mereka.
Namun ketika banyaknya pembangunan ke daerah mereka, maka komunitas desa semakin heterogen, norma berubah dan jaringanpun berubah sesama mereka. Dahulu struktur sosial masyarakat desa dimanapun bercirikan homogen, berlaku suatu nilai yang mengutamakan kesederhanaan dan persamaan. Ketika ma-suknya berbagai pembangunan dan penggusuran ke daerah mereka dan banyaknya kaum pendatang serta pertambahan penduduk, sehingga homogenitas mengarah pada diferensiasi. Hal ini akan mengancam modal sosial mereka dalam kontek persatuan atas penguasaan tanah. Maka tanah sebagai sumber modal sosial akan mengalami erosi maka kemudian yang muncul adalah konflik pertanahan (Hidir, 2008).

C. Analisis.
Dalam sejarah konflik pertanahan di Indonesia, bila kita melihat ke zaman kolonial, tanah-tanah tersebut banyak yang bergeser kepemilikan. Baik itu dirampas secara paksa, disewa maupun dibeli dengan harga murah (cultur stelsel). Diantaranya tanah-tanah tersebut banyak yang berubah menjadi perkebunan. Ketika zaman kemerdekaan, perkebunan tersebut bergeser kepemilikannya kepada negara. ( Hidir, 2008).
Di masa orde baru, rakyat masih belum berani melakukan gerakan. Karena waktu itu tekanan pemerintah terhadap setiap gerakan rakyat sangat kuat. Ketika era sudah berubah, euproria- pun melanda mereka (rakyat yang merasa punya hak tanah. Berubahlah dendam yang terpendam menjadi gerakan radikal.
Dalam UUD 45 pasal 33 ada kata menguasai tapi makna kata tersebut adalah hak untuk mengatur bukan memiliki. Memang dalam hal ini secara legal formal rakyat kalah karena surat-surat bukti kepemilikan tanah tidak dimiliki. Seharusnya gerakan radikal tersebut tidak harus dihadapi dengan tindakan represif tapi dengan melakukan konsolidasi hak atas tanah. Dalam hal ini negara maupun pihak yang merasa memiliki atas tanah (misal HPH, HTI, perkebunan) lebih dahulu harus menelusuri sejarah kepemilikan tanah, baru setelah itu dibuat ketentuan yang baru.
Memang hal ini tidak mudah, untuk itu sebaiknya mengembalikan fungsi tanah sebagai social capital. Artinya status tanah dirubah menjadi hak sewa kepada desa. Dan pembayarannya haruslah bersifat komunal, seperti pembangunan sarana publik, penyantunan fakir miskin ataupun anak yatim yang ada didesa tersebut.
Kepemilikan tanah pada masyarakat agraris tradisional sebetulnya telah cukup baik. Tapi sejak masa kolonial secara lambat laun hal itu terhapus hingga sekarang. Dalam masyarakat tradisional tanah punya fungsi social yang telah menjadi kesepakatan bersama. Seperti tanah punya fungsi Sengkeran dimana hasil dari tanah tersebut dimanfaatkan untuk acara bersih desa. Tanah titisara yang hasilnya untuk membantu fakir miskin dan anak yatim. Kemudian tanah guron yang dipergunakan untuk pendidikan. Tanah pangonan yang digunakan untuk ternak, tanah ganjaran untuk biaya hidup pamong desa, tanah cawisan yang digunakan untuk para tamu desa (Fakih dalam Hidir, 2008).
Tapi dalam perkembangan, fungsi tanah tersebut hilang yang ada tinggal tanah ganjaran. Itupun di perkotaan juga sudah menghilang seirig dengan digantinya kepala desa jadi lurah yang digaji pemerintah. Padahal tidak otomatis pergantian tersebut menjadikan kepemilikan tanah bergeser ke pemerintah. Inilah konflik yang kemudian marak muncul di perkotaan dan beberapa tempat lainnya.
Perlu dipahami pula bahwa tanah tidak hanya berdimensi ekonomi sehingga cukup diberi ganti rugi uang. Tanah juga punya dimensi religi, social maupun solidaritas yang menjadi sumber integrasi social. Selama ini mereka kehilangan sumber cultural maupun ruang imajenasi sehingga begitu datang era keterbukaan merekapun bergerak menuntut haknya.
Sementara itu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang selama ini menjadi benteng pertahanan terakhir kaum tani, secara substansial (misalnya land reform) sejak Orde Baru berkuasa tidak pernah dilaksanakan. Bila kita runtut ke belakang, ketika UUPA dilahirkan pada tahun 1960, suasana saat itu antimodal asing. Berbeda dengan saat ini, kehadiran modal asing sudah menjadi kebutuhan negara. Demikian pula, secara ideologis, tanah untuk petani yang diamanatkan dalam UUPA tidak lagi menjadi kenyataan, tetapi sudah menjadi objek spekulan dan komoditas.
Bahkan, pada fase kapitalisme global, tanah tidak lagi menjadi nilai guna tetapi berubah menjadi nilai tukar dalam bentuk saham -saham yang setiap saat dapat diperjualbelikan melalui pasar bebas.
Mau tidak mau, suka tidak suka, kini zaman sudah berubah. Para petani tidak lagi selalu berhadapan dengan tuan tanah, tetapi langsung dengan pemodal besar. Jika demikian, penetrasi kapital berskala global tak terbendung lagi yang pada akhirnya melahirkan proletarisasi besar-besaran..
Konsekuensinya, maraknya penetrasi kapital dengan berbagai bentuknya yang masuk ke pedesaan di Indonesia telah pula menimbulkan berbagai kemiskinan di pedesaan. Dampak lebih lanjut dikatakan oleh Poerwanto, bahwa kemiskinan di pedesaan seringkali diungkapkan sebagai akibat isolasi dan rusaknya sumber daya alam dengan berbagai sebabnya. Selain itu masuknya berbagai penetrasi kapital ke dalam masyarakat sekitar hutan (hutan) dapat mengancam keanekaragaman hayati yang ada.
Jika hutan tropis ditebangi bukan tidak mungkin akan banyak jenis tumbuhan yang berpotensi menjadi makanan di masa mendatang sudah punah lebih dulu. Pada hal masyarakat sekitar hutan ketergantungannya terhadap hutan masih sangat tinggi. Hutan yang sehat dapat meningkatkan mutu kehidupan, melestarikan nilai-nilai tradisional dan budaya dan memacu kebanggaan regional dan nasional sekaligus sebagai modal sosial kebersamaan mereka.
Sebenarnya generasi sekarang memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk melestarikan hutan bagi generasi mendatang. Hilangnya hutan bagi umat manusia bukan hanya berarti hilangnya kayu tetapi juga berkurang atau tidak ada lagi suplai air bersih dan lebih jauh lagi meningkatkan resiko banjir. Hilangnya serangga bisa menyebabkan berkurangnya panenan tanaman pangan yang penyerbukannya tergantung dari serangga.
Kenyataannya masyarakat desa sangat menghargai keragaman hayati karena ketergantungan mereka pada keragaman mahluk hidup sangat nyata. Mereka mengambil berbagai jenis buah yang bisa dimakan. Non masyarakat hutanlah sebenarnya yang paling banyak mengeksploitasi sumber daya alamnya, karena keterkaitannya secara langsung tidak pernah mereka rasakan.

Selasa, September 14, 2010

TINJAUAN MODAL SOSIAL SEBAGAI PEMBENTUK JAMINAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT

1. Pendahuluan

Banyak bukti yang dapat dilihat, betapa program-program pembangunan yang dilakukan pemerintah selama ini dan telah menghabiskan biaya relatif besar, namun kemudian kurang dapat bermanfaat secara optimal. Hal ini antara lain terjadi karena program-program tersebut sebenarnya kurang dibutuhkan oleh masyarakat dan hal di atas terjadi karena selama ini pemerintah menganggap bahwa pemerintahlah yang serba tahu dan masyarakat dianggap tidak mampu untuk mengurus hal-hal yang demikian. Ketidakmampuan itu tidak lain sebenarnya adalah karena kesalahan pemerintah dalam menempatkan masyarakat dalam pembangunan. Masyarakat ditempatkan pada posisi yang lemah yaitu sebagai objek pembangunan dan tidak dikembangkan dayanya agar menjadi kreatif sehingga mereka harus menerima keputusan yang sudah diambil.
Namun kemudian paradigma tersebut berubah, terutama setelah disadarinya oleh banyak orang bahwa segala sesuatu yang dipaksakan dari atas, tidak akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Apalagi bagi daerah Kabupaten/Kota dengan keluarnya UU N. 22/1999 dan UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memberi kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, disamping itu Pemerintah Daerah ditantang oleh segenap komponen masyarakat untuk rnelaksanakan kepemerintahan yang baik.
Dalam kontek pembangunan masyarakat dewasa ini muncul konsep baru yang cukup mengemuka, yaitu konsep modal sosial. Dalam konsep ini pembangunan diupayakan untuk membangkitkan kembali partisipasi masyarakat.
Partisipasi masyarakat dimulai dengan menempatkan masyarakat tidak hanya sebagai objek pembangunan akan tetapi juga sekaligus sebagai subjek/ pelaku pembangunan. Dengan menempatkan masyarakat seperti ini, maka tumbuhlah daya kreatif dalam dirinya sehingga mereka sadar akan situasi dan masalah yang dihadapinya serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah mereka.

2. Telaah Pustaka.
Modal sosaial merupakan kekuatan yang mampu membangun masyarakat dan dapat menimbulkan pembangunan patisipatif dan mengandung nilai sosial. Mahdy (2005), mengilustrasikan modal sosial sebagai jalan untuk menciptakan pengharapan umum dan kejujuran dalam bentuk kesetaraan dan kemitraan sehingga tidak muncul perbedaan perlakuan antar warga. Modal sosial juga bisa diartikan sebagai pengetahuan bersama, saling memahami untuk dapat bekerja bersama-sama.
Untuk dapat melihat dan mengidentifikasi potensi modal sosial yang ada dalam suatu masyarakat (komunitas) maka terlebih dahulu harus diketahui elemen-elemen dari modal sosial (social capital) tersebut.
Coleman (1988) dalam badaruddin (2005) mendefinisikan modal sosial sebagai aspek-aspek dari struktur hubungan antar individu yang memungkinkan menciptakan nilai-nilai baru. Modal sosial berintikan elemen-elemen pokok, yaitu:
1. Saling percaya (trust), yang meliputi adanya kejujuran (honesty), kewajaran (fairness), sikap egaliter (egalitarianism), toleransi (tolerance) dan kemurahan hati (generosity);
2. Jaringan sosial (networks), yang meliputi adanya partisipasi (participations), pertukaran timbal balik, solidaritas, kerjasama, dan keadilan;
3. Pranata, yang meliputi nilai-nilai yang dimiliki bersama, norma-norma dan sanksi-sanksi, dan aturan-aturan (Badaruddin, 2005).
Dari elemen-elemen pokok modal sosial tersebut, maka dapat diidentifikasi beberapa potensi modal sosial yang ada dalam komunitas. Potensi modal sosial tersebut terwujud dalam bentuk kelembagaan, baik yang masih eksis maupun yang sudah tidak eksis lagi dalam komunitas.
Sementara itu pengertian modal sosial, dalam kajian ilmu-ilmu sosial kontemporer, terkait dengan perilaku kooperatif yang terorganisasikan secara horisontal, meski sering kali tidak formal, yang bisa mendorong pada adanya keteraturan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Di samping itu, dalam modal sosial ini terkandung pula hubungan saling mempercayai di antara warga masyarakat dan antara masyarakat dengan negara, bukan hubungan-hubungan dominasi dan otoritarianisme.
Dalam rumusan Robert D. Putnam (Mahdy, 2005), modal sosial menunjuk pada ciri-ciri organisasi sosial yang berbentuk jaringan-jaringan horisontal yang di dalamnya berisi norma-norma yang memfasilitasi koordinasi, kerja sama, dan saling mengendalikan yang manfaatnya bisa dirasakan bersama anggota organisasi. Dalam konteks ekonomi, jaringan horisontal yang terkoordinasi dan kooperatif itu akan menyumbang pada kemakmuran dan pada gilirannya diperkuat oleh kemakmuran tersebut.
Modal sosial dalam bentuk asosiasi-asosiasi horisontal ini umpamanya berperan penting dalam mendukung kemajuan ekonomi pada komunitas

3. Pembahasan: Refleksi Beberapa Kasus.

3.1. Patron-Klien
Dilihat dari elemen-elemen pokok sosial (social capital), maka kelembagaan sosial ekonomi, yaitu hubungan patron – klien yang ditemui pada berbagai komunitas, merupakan salah satu potensi modal sosial yang ada. Meskipun tidak sepenuhnya elemen-elemen pokok modal sosial tersebut ditemui dan berjalan sebagaimana mestinya, tetapi sejumlah elemen sosial merupakan dasar bagi lahirnya kelembagaan patron – klien.
Sikap saling percaya (trust) sebagai salah satu elemen dari modal sosial merupakan salah satu dasar bagi lahirnya hubungan patron-klien. Adanya sikap saling percaya yang terbangun antara beberapa golongan komunitas merupakan dasar bagi munculnya keinginan untuk membentuk jaringan sosial (network), yang akhirnya dimapankan dalam wujud pranata (institutions), yang dikenal dengan pranata patron-klien (toke-anak buah)
Secara umum pranata patron-klien merupakan sebuah pranata yang lahir dari adanya saling percaya antara beberapa golongan komunitas baik nelayan maupun petani, yaitu:
1. Golongan pemilik modal yang di Kepulauan Riau dikenal dengan sebutan “toke”, yang berperan sebagai patron.
2. Golongan komunitas petani/nelayan yang tidak memiliki modal ekonomi tetapi memiliki modal lain, diantaranya keahlian dan tenaga.
Adanya saling percaya diantara beberapa golongan komunitas tersebut membuat mereka mampu membentuk jaringan sosial. Jaringan sosial tersebut terbentuk antar golongan yang berperan sebagai “patron” dan golongan yang berperan sebagai “klien”. Jaringan sosial juga terbentuk antar sesama golongan “klien”.
Fenomena pranata patron-klien merupakan hal yang umum ditemukan pada masyarakat agraris (baik pertanian maupun maritim). Persistensi kelembagaan patron-klien di tengah-tengah masyarakat, khususnya masyarakat agraris, menunjukkan bahwa kelembagaan patron-klien masih berfungsi sentral di tengah-tengah kemajuan masyarakat.

3.2. Arisan
Sampai saat ini arisan dapat dikatakan sebagai wujud aktifitas kemasyarakatan yang masih populer di wilayah indonesia, dalam realitasnya, arisan dilakukan hampir oleh semua lapisan masyarakat.
Berdasarkan hasil riset yang pernah dilakukan oleh Hotze Lont, (Pilo, 2007), arisan mudah berkembang, karena masyarakat terutama ibu-iu rumahtangga kesulitan mendapatkan akses kredit dari bank mapun lembaga keuangan lainnya. Dari sini dapat diambil suatu pengertian bahwa uang hasil arisan dinilai efektif untuk memenuhi kebutuhan (keuangan mendadak). Namun ada satu hal positif yang dapat diraih penyelenggaraan arisan, yakni adanya semacam disiplin kelompok yang dapat “memaksa” setiap anggotanya untuk menyimpan sehingga upaya tersebut bermanfaat untuk menolong pada saat salah satu anggotanya menghadapi krisis keuangan.
Setiap anggota berkewajiban menyetor sejumlah uang tanpa adanya perhitungan bunga, giliran ditentukan secara undian atau berdasarkan musyawarah anggota, jumlah pesertanya cenderung terbatas, dan tidak ada staf pengelola khusus. Sedangkan pertemuan acara arisan dilakukan ditempat salah satu peserta yang telah mendapat undian, dan biasanya tuan rumah menyediakan minuman dan makanan ringan bagi par peserta yang hadir.
Dengan demikian, pertemuan arisan merupakan ajang silaturahmi bagi peserta untuk kumpul-kumpul.
Arisan merupakan modal sosial yang semestinya ada dalam setiap masyarakat Kemampuan komunitas mendayagunakan modal sosial ini membuat penggunaan modal menjadi lebih efektif dan efisien sehingga memungkinkan terciptanya sistem pengelolaan yang berkelanjutan.
Dengan tidak mengecilkan arti modal lainnya dalam pengelolaan “arisan” uraian di bawah ini lebih menyoroti bagaimana bekerjanya modal sosial dalam pengelolaan “arisan”. Ada sejumlah faktor yang saling terkait yang menyebabkan pendayagunaan modal sosial dalam “arisan” dapat bertahan, diantaranya adalah :
1. Kemampuan Membangum Konsensus. Semua pengelolaan “arisan” yang dapat bertahan memperlihatkan fakta adanya kemampuan warganya untuk merumuskan konsensus bersama dalam menentukan cara pengelolaan “arisan”. Ketika konsensus akan dibuat, warga komunitas dihadapkan pada suatu keharusan untuk melakukan tindakan kolektif atau perilaku kerjasama kolektif Tindakan atau perilaku kerjasama kolektif itu dimungkinkan melalui cara paksaan atau sukarela atas dasar saling percaya. Konsensus bulat pada kasus “arisan” yang dapat bertahan ditandai oleh pilihan mereka pada yang kedua, yaitu tindakan kerjasama kolektif atas dasar sukarela dan saling percaya.
2. Kemampuan Menetapkan Tujuan. Suatu hal yang paling penting sejalan dengan terbangunnya konsensus membentuk “arisan” adalah kemampuan menetapkan tujuan yang ingin dicapai dari pembentukan “arisan” tersebut. Tujuan yang dimaksud tentu bukan saja hanya berupa sasaran terkumpulnya sejumlah uang yang ingin diraihnya nanti, tetapi suatu misi yang disepakati untuk diemban bersama warga komunitas yang dengan itu mereka terdorong untuk bekerjasama satu sama lain. Kekeliruan dalam menetapkan tujuan bisa berakibat pada runtuhnya komitmen warga komunitas untuk mendukung sistem pengelolaan “arisan” tersebut.
3. Kemampuan Membangun Jaringan Sosial Yang Kompak. Keputusan untuk membentuk “arisan”, menentukan tujuan, membangun sistem aturan main, dan lain sebagainya tidak ditetapkan dari atas (top down), tetapi diproses dari bawah (botton up) dengan melibatkan semua anggota dalam kedudukan yang setara. Pelibatan setiap orang di dalam komunitas dalam menentukan suatu tindakan kolektif yang akan dibuat merupakan bagian penting dari partisipasi masyarakat. Dengan pelibatan warga dalam jaringan sosial yang akan menjadi satuan sosial/organisasi lokal. Dengan kemampuan warga kolektif mengalihkan kepentingan ‘saya’ menjadi ‘kita’ terbangunlah kekompakan dan solidaritas antar warga.
4. Kemampuan Merajut Pranata. Dalam sistem “arisan” terkandung seperangkat aturan-aturan, norma-norma, dan sanksi-sanksi. Dalam kasus “arisan” yang dapat bertahan, ditandai oleh adanya ketegasan dalam menegakkan aturan dan norma-norma. Kemampuan suatu kolektif atau komunitas merajut aturan-aturan, merupakan prakondisi untuk mengembangkan pengelolaan arisan yang berkelanjutan. Aturan-aturan tersebut diperkuat pula oleh sistem norma dan nilai-nilai yang dianut bersama oleh warga komunitas, yang menjadi paduan moral bagi mereka dalam bertindak. Hal itu bersifat kontekstual dan dikreasi bersama oleh warga komunitas secara partisipasif. Dalam konteks negara, kepatuhan warga terhadap aturan-aturan yang ada biasanya bersifat satu arah, karena warga tidak disertakan dalam proses pembuatan aturan-aturan itu sehingga kepatuhan yang demikian biasanya dilandasi oleh suatu paksaan (coercion) melalui badan-badan negara yang diberi wewenang untuk itu.
5. Kemampuan Membangun Kepercayaan. Kepercayaan antar anggota dan antar anggota dengan pengurus “arisan” merupakan perekat kuat untuk terjalinnya kerjasama yang lebih baik. Anggota percaya kepada pengurus karena mereka jujur, bekerja sungguh-sungguh untuk kepentingan anggota (bukan untuk kepentingan pribadi atau sekelompok individu), dan menjaga kepercayaan itu ketika ditunjuk sebagai pengurus dalam musyawarah anggota. Beberapa faktor tersebut merupakan prasyarat agar modal sosial dapat lebih efektif dan efisien didayagunakan dalam bentuk kerjasama kolektif. Faktor tersebut menjadi prasyarat bagi suatu model alternatif kreasi modal sosial.

3.3. Koperasi.
Pranata koperasi merupakan potensi modal sosial juga untuk beberapa komunitas. Karena beberapa elemen pokok dari koperasi memenuhi kriteria modal sosial. Sikap dasar saling percaya merupakan elemen pokok dari koperasi. Sikap saling percaya ini membentuk jaringan sosial dalam bentuk partisipasi anggota terhadap keberlangsungan koperasi.
Pranata koperasi yang berhasil menjalankan seluruh unsur dari elemen modal sosial secara baik akan mampu menjadi kekuatan yang cukup potensial dalam menghadapi tekanan eksternal dalam jaminan sosial warganya.
Demikianlah kira-kira beberapa pola pengembangan modal sosial yang dapat dikembangkan dalam beberapa komunitas untuk menjamin kepentingan sosial warga masyarakat.

4. Kesimpulan.

Dari beberapa uraian di atas, maka kesimpulan yang dapat dibuat dari bahasan ringkas ini adalah:
1. Potensi modal sosial untuk jaminan sosial pada komunitas di Indonesia dapat dikembangkan antara lain, hubungan patron-klien, arisan, dan koperasi. Potensi modal sosial tersebut merupakan aset yang perlu dibangun untuk menumbuhkan kesadaran dan tindakan kolektif dalam menghadapi tekana struktural untuk keluar dari belenggu kemiskinan.
2. Arisan merupakan salah satu potensi modal sosial yang memanfaatkan elemen modal sosial secara efektif dan efisien, dan menunjukkan hasil yang sangat positif dalam arti sosial semakin kuatnya rasa solidaritas sosial dalam menghadapi kesulitan dan jaminan sosial.

5. Saran.

Sesuai dengan topik bahasan, maka saran yang diajukan dalam penulisan ini adalah:
1. Pengembangan dan kreasi modal sosial dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan alternatif bagi pembangunan, khususnya bagi upaya penanggulangan kemiskinan.
2. Pengembangan modal sosial diperlukan kolaborasi dengan lembaga lain. Hal ini dilakukan untuk penguatan internal, misalnya keterlibatan LSM, swasta, pemerintah dan berbagai pihak yang relevan.

Rabu, Juli 14, 2010

PERUBAHAN SOSIAL

A. Perspektif Perubahan Sosial.
Perubahan sosial merupakan bagian dari kehidupan manusia dan konteks bermasyarakat. Dalam kenyataannya, paling tidak bentuk umum dari perubahan sosial dapat diklasifikasikan ke dalam 2 bentuk perubahan, yaitu: Bentuk perubahan yang lambat, disebut evolusi. Bentuk perubahan ini sangat lambat, hampir tidak dirasakan karena masyarakat yang sedang mengalami proses evolusi dinilai sebagai masyarakat statis, meski sebenarnya mereka sedang mengalami perubahan itu. Evolusi sebagai bentuk perubahan yang lambat dapat berbentuk:
1. Cosmic Evolution (Perubahan hidup manusia)
2. Mental Evolution
Sedangkan bentuk perubahan lain yang sangat cepat dan mendadak dalam kehidupan bermasyarakat disebut revolusi. Mac Iver (1974) mengklasifikasikan revolusi menjadi :
1. Revolusi nasional
2. Revolusi kelas
• Ad.1. Revolusi nasional merupakan gerakan terhadap kekuasaan asing. Gerakan ini dijiwai penderitaan baik material maupun spiritual. Dasarnya nasionalisme patriotisme penuh emosi dan harga diri.
• Ad.2. Pendobrakan terhadap rezim yang bersifat oligarkis yang bersifat menindas dan mengekang.( Mirip dengan asumsi Marx atau gerakan reformasi 1998 di Indonesia lalu = penulis)
Dalam kehidupan sosial, revolusi ini lebih cenderung masuk kategori pada perubahan yang direncanakan. Dari dimensi sejarah, dapat dideskripsikan bahwa tidak selamanya setiap revolusi itu dilakukan dengan kekerasan. Jika revolusi Perancis atau revolusi Rusia berlangsung dengan awal kekerasan, maka revolusi industri di Inggris adalah contoh revolusi yang berlangsung secara damai bahkan cenderung bersifat gradual.
Tetapi suatu pertanyaan yang seringkali diajukan oleh para sosiolog dari penganut evolusi sosial adalah; kapan suatu revolusi itu akan terjadi apabila secara sosiologis terpenuhi syarat-syarat;
1. Adanya unsur ketidakpuasan yang bersifat menyeluruh dalam sistem sosial, sehingga lahir keinginan umum dari masyarakat untuk mengadakan perubahan atau perbaikan keadaan.
2. Ada seseorang (publik figur) yang dipandang memiliki kemampuan untuk menampung aspirasi masyarakat dan menyalurkannya sesuai alur dalam sistem yang dikehendaki masyarakat.
3. Adanya pemimpin yang mampu memainkan peranan dan menunjukkan tujuan yang hendak dicapai dalam perubahan sosial.
4. Ada momentum sebagai suasana sosial yang matang.
Dari fenomena ini, maka harus diakui bahwa di dalam teori-teori sosiologi terutama pada abad 19 dalam memandang perubahan sosial jadi terbagi dalam 2 aliran besar, yaitu perspektif perubahan sosial yang bersifat evolusi dan revolusi. Perspektif evolusi dikembangkan dari pemikiran Lamark dan Darwin untuk kemudian dikembangkan oleh Auguste Comte, Spencer dan Durkheim. Sementara perspektif evolusi ini juga kemudian berkembang lagi menjadi 2 aliran besar yaitu; pendekatan evolusi dan neo-evolusi.
Teori evolusi (yang progresif linear) dikembangkan oleh Ferdinand Tonies (1957), sedangkan teori evolusi multilienar (neo evolusi) dikembangkan antara lain oleh; Oswald Spengler dan Arnold Toynbee yang menjelaskan bahwa suatu kebudayaan atau perubahan mengandung itu beberapa persamaan yaitu; kebangkitan dan keruntuhan (rise and fall) seperti dikemukakan oleh ahli filsafat timur Ibnu Khaldun. Perubahan menurut perspektif ini laksana gelombang pasang air laut mengalami turun-naik.
Sementara perspektif perubahan sosial dalam kacamata revolusi dikembangkan oleh kaum Marxis yang dipelopori oleh Karl Marx. Teori dari marx ini mementingkan konflik dan perjuangan kelas dan politik sebagai prinsip perubahan struktural. Teori ini kemudian berkembang pula lagi menjadi beberapa model; Marxis, Non Marxis dan Neo-Marxis.
Kembali kepada pendekatan evolusi, salah seorang penganut teori evolusi kelahiran Inggris bernama Spencer menggaris bawahi;
1. Perkembangan kehidupan organik maupun sosial merupakan proses diversifikasi, karena kehidupan sosial telah berubah dari sejumlah besar bentuk-bentuk aslinya yang lebih kecil (sedehana).
2. Dalam setiap perkembangan, bentuk-bentuk struktur dan organisasi yang lebih kompleks muncul dari bentuk yang lebih sederhana. Di dalamnya terjadi perubahan evolusi dari kebersamaan yang tak teratur menjadi keserbaanekaan yang teratur.
Sedangkan aliran struktural fungsional yang juga penganut teori neo-evolusi menyebutkan bahwa, evolusi sosial merupakan suatu proses peningkatan deferensiasi sosial, yaitu dalam arti meningkatnya kebebasan struktur utama masyarakat, seperti agama, administrasi pemerintahan, pengadilan dan perekonomian di satu pihak dan munculnya bentuk-bentuk pengintegrasian baru di pihak lain. Umumnya penganut teori neo evolusi juga sependapat bahwa ada kriteria obyektif yang dapat dipakai untuk menilai kemajuan suatu masyarakat.
Mengutip Riggs yang memakai model Parsons guna merumuskan pengertian evolusi sosial sebagai suatu proses peningkatan diferensiasi struktural. Ankie menjelaskan bahwa Riggs menganggap masyarakat dunia ketiga sebagai masyarakat yang relatif tidak mengenal diferensiasi struktural. Riggs menyebut masyarakat di negara dunia ketiga relatif tidak mengenal diferensiasi struktural itu sebagai masyarakat tergabung (fusef). Sedangkan masyarakat modern yang tinggi tingkat diferensiasinya disebutnya sebagai masyarakat terurai (diffracted).
Melalui satu kiasan pancaran sinar yang masuk menembus suatu prisma, Riggs ingin mengatakan bahwa masyarakat dunia ketiga sangat khas bersifat prismatik. Masyarakat dunia ketiga menampilkan ciri-ciri masyarakat “tergabung” dan masyarakat “terurai” sekaligus sebagai suatu masyarakat peralihan (transisi) menuju modern. Pendapat Riggs ini sekaligus hendak menjelaskan dan mengoreksi bahwa proses evolusi itu terjadi secara bertahap dan tidak bersifat dikotomi, yaitu tradisional- modern, terbelakang dan maju saja, tetapi ada fase peralihan yang disebutnya sebagai masyarakat prismatik.




Model Masyarakat Prismatik Fred Riggs
Untuk membedakan diferensiasi struktural yang terjadi, selanjutnya Riggs menggunakan variabel pola dari Parsons. Variabel pola Parsons yang dipakai Riggs sebagai acuan menguraikan perbedaan dan pertentangan struktur organisasi dalam masyarakat yang telah terurai dan tergabung itu adalah penyebaran fungsi versus pengkhususan fungsi, penerapan norma khusus versus norma umum, dan askripsi dan prestasi. Lebih jelas berikut tersaji pada tabel di bawah ini:
Variabel Pola Parsons dan Modifikasi oleh Riggs (1964)
No. Variabel Pola Parsons Yang Dikotomis Variabel Antara dari Riggs
1 Afektivitas Afektif Netral Karitas (Charity)
2. Orientasi diri Orientasi kolektif Orientasi karya
3. Universalisme Partikularisme Selektivisme
4. Prestasi Askripsi Loyalitas
5. Spesifitas Keberagaman Polifungsional
Sumber: Ankie W.W Hoogvlet, 1989

Minggu, Juli 04, 2010

MODEL PEMBINAAN DAN PEMBELAJARAN ANAK USIA SEKOLAH 7-15 TAHUN PADA MASYARAKAT MINORITAS DALAM MENUNTASKAN PROGRAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TA

Masyarakat Riau dalam usia 13-15 tahun masih banyak yang belum tertampung di SMP. Masalah utama dalam bidang pendidikan pada masyarakat terpencil di Riau berdasarkan kajian dapat disebutkan :
1. Anak-anak tersebut tinggal didaerah (terutama daerah terpencil) yang layanan pendidikannya tidak dapat menjangkau semua anak atau sama sekali tidak ada layanan pendidikan. Dengan kata lain sekolah yang tersedia belum dapat menampung semua anak.
2. Kemiskinan dan akses terhadap dunia pendidikan yang cenderung rendah.
3. Budaya masyarakat yang menganggap bahwa pendidikan tidak begitu perlu.
Rendahnya animo masyarakat terhadap pendidikan dasar di Riau dapat disebutkan karena kombinasi dari masalah ekonomi, minimnya fasilitas sosial yang ada dan budaya mereka yang kurang kondusif terhadap pendidikan.
1. Masalah ekonomi adalah masalah klasik dari masalah bangsa kita. Kemiskinan telah menyebabkan mata rantai yang menggelinding dan terus semakin membesar karena persoalan ini tidak pernah tuntas diselesaikan dengan baik. Maka pada gilirannya telah menyebabkan multidimensi dalam berbagai lini kehidupan masyarakat. Sebagaimana dijelaskan bahwa masyarakat komunitas adat terpencil mereka sangat tergantung pada kemurahan alam dalam bermata pencaharian. Mereka umumnya sebagai petani/peladang dan nelayan yang penuh ketidak pastian pendapatan, maka rata-rata pendapatan mereka jadi minimal. Kalaupun mereka berhasil dalam panenan tetapi pemasaran hasil panen nyaris tidak ada, sehingga berhasil/tidak nya suatu panenan adalah sama saja bagi mereka. Kondisi ini ditemui di desa Titi Akar (Rupat Utara) dan Talang Mamak Indragiri Hulu.
2. Untuk kasus desa Sungai Laut; anak sekolah masih dipungut untuk uang bangku atau uang sabun, sehingga inipun menyebabkan animo masyarakat jadi kecil untuk bersekolah. Menurut pihak sekolah pungutan ini dilakukan karena memang bangku tidak ada dan memang kurang.
3. Bagi mereka yang berkeinginan untuk tetap bersekolah; karena kemiskinannnya itu menyebabkan mereka meminjam pada sesama suku mereka untuk kebutuhan sekolah; pada hal mereka adalah sesama kaum miskin. Sehingga sirkulasi kemiskinan terjadi diantara mereka, sementara roda penggerak untuk keluar dari kemiskinan nyaris tidak ada, stimulus ekonomi berupa kredit kecil nyaris tidak menyentuh oleh mereka.
4. Fasilitas sosial, khusus di bidang pendidikan di desa-desa penelitian sangat minim. Baik secara kuantitas maupun kualitas. Banyak lokal dibagi 2 karena minimnya ruang belajar. Jarak antar dan lokasi sekolah sebagian besar dianggap jauh oleh penduduk. Bahkan menurut salah seorang kepala sekolah di Talang Gedabu, jarak itu bisa mencapai 7-12 Km yang tidak mungkin ditempuh oleh anak usia 8-10 tahun dengan berjalan kaki.
5. Untuk kasus Rupat Utara, banyak pulau-pulau kecil disekitar pulau Rupat yang tidak tersedia SD. Selain tidak ada SD di daerah Rupat Utara juga banyak kekurangan guru, sehingga banyak guru merangkap baik di SD maupun di SLTP. Konsekuensinya konsentrasi guru menjadi terbagi dan tidak concern dalam mengajar.
6. Minimnya fasilitas sosial ini; maka banyak anak – anak sekolah di kawasan Rupat Utara harus menyebrang dengan sampan ke desa Titi Akar dengan mendayung sendiri. Karena di sekitar pulau-pulau itu memang tidak tersedia SD sama sekali. Sehingga pilihan satu-satunya harus menyebrang ke Titi Akar. Hal ini telah menyulitkan bagi orang tua dan anak-anak usia di bawah 10 tahun untuk menyebrang dengan sampan sendiri.
7. Angka kemiskinan berkorelasi dengan kemampuan melanjutkan studi. Karena kemiskinannya, banyak dari mereka putus sekolah di kelas 3 dan 4 SD. Mereka hanya memiliki target bisa baca-tulis saja sudah cukup. Anak putus sekolah kelas 3-4 SD ini sekitar 9 – 11 tahun untuk usia anak desa. Dengan rentang usia ini banyak dari mereka melibatkan dan dilibatkan untuk tenaga produksi keluarga dengan bekerja sebagai peladang maupun mencari kerang di pinggir pantai.
8. Angka putus sekolah juga disebabkan fasilitas sosial untuk jenjang pendidikan setingkat SLTP dan SLTA tidak cukup tersedia di daerah penelitian. SMP dan SMA banyak tersedia di kecamatan, ini cukup menyulitkan bagi masyarakat Talang mamak, Akit dan suku Laut, karena harus menyekolahkan anak-anak mereka ke luar desa.
9. Minimnya fasilitas sosial selain sarana pendidikan, juga transportasi dan penerangan. Jalan-jalan di desa penelitian hampir seluruhnya harus ditempuh dengan jalan kaki dan dengan kondisi yang jelek. Apalagi untuk menuju Rupat Utara dan Sungai Laut harus menggunakan jasa speedboat. Untuk sarana penerangan hanya hidup waktu malam hari saja dan dilakukan secara bergilir 2 hari sekali.
10. Faktor budaya menurut tim peneliti sebenarnya tidak begitu menjadi kendala utama; sepanjang ada stimulus yang positif dalam dunia pendidikan. Memang dalam budaya mereka; anak adalah faktor produksi serta ada sinyalemen bahwa; sekolah dan tidak sekolah adalah sama saja karena mereka akan menjadi peladang/nelayan juga akhirnya. Tetapi pameo ini dapat diubah; karena sebenarnya mereka itu tidaklah bodoh dan merekapun sudah mengerti akan arti pentingnya pendidikan. Tetapi karena tidak adanya stimulus ekonomi dan fasilitas sosial yang ada ditambah minimnya reference group ( kelompok teladan) dari orang-orang yang berhasil dikalangan mereka sendiri menjadikan mereka apatis terhadap dunia pendidikan secara umum.
11. Stigmatisasi dari kalangan umum yang menyebutkan mereka adalah kalangan terbelakang; miskin; barbar dan lain sebagainya memberikan efek psikologis bagi rasa percaya diri mereka. Ini menyebabkan mereka minder untuk bergaul, bersosialisasi dengan dunia lain yang seolah-olah “ bukan “ miliknya. Maka sekat ini harus dihilangkan dengan jalan membuka akses dalam bidang pendidikan dan komunikasi (transportasi) serta kesempatan untuk mereka berkiprah pada sektor-sektor lain yang berpeluang untuk mereka masuki; yang pada gilirannya secara tidak langsung memberikan wadah untuk tampilnya reference-reference group baru dari kalangan mereka.
Upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat untuk mendukung penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, seperti Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA) yang selama ini telah dirasakan manfaatnya, terutama oleh para peserta didik. Kendatipun demikian, ternyata tidak semudah itu untuk melibatkan masyarakat untuk bersekolah. Dari fakta dan temuan memberikan beberapa informasi penting, antara lain ;

1. Untuk kasus suku Akit (Rupat Utara):
Perbandingan anak usia sekolah dengan mereka yang tidak sekolah masih tergolong tinggi dengan rasio sebesar 1: 2,19. Artinya masih ada anak yang tidak sekolah sebesar 2,19 orang diantara 1 anak yang sudah sekolah. Tetapi bila seluruh anak usia sekolah tersebut bersekolah, maka akan ada kelebihan siswa yang tidak tertampung untuk sekolah di desa Titi Akar, terutama untuk SLTP yang jumlahnya hanya 1 (di Tanjung Medang).
Rasio untuk kebutuhan dan kecukupan guru dengan anak usia sekolah cukup besar dimana diperoleh hasil 1: 31, 35 (dengan catatan seluruh anak usia sekolah tersebut bersekolah). Tetapi dari hasil yang ada perbandingan guru dengan anak sekolah hanya sebesar 1: 14,25. Ini artinya bahwa rasio guru dengan siswa cukup kecil yang menandakan anak yang bersekolah masih minim. Dengan rata-rata siswa persekolah (SD) hanya sebesar 55,25 siswa untuk seluruh kelas dari kelas 1 sampai kelas 6.
Rasio Guru dengan sekolah masih sangat minim dengan perbandingan 1: 3,87. Ini menandakan bahwa setiap sekolah hanya tersedia sebanyak 3,87 (4) orang guru saja (dalam hal ini termasuk guru honor). Bila dihitung guru PNSnya saja maka dipastikan akan jauh lebih besar lagi angka rasionya.
2. Untuk Kasus Talang Mamak (Inhu).
Kondisi di Indragiri Hulu lebih buruk daripada di Rupat Utara. Di mana rasio anak usia sekolah dengan anak yang bersekolah jumlahnya cukup besar yaitu: 1: 5,17. Ini artinya masih ada sekitar 5 orang anak yang tidak sekolah diantara 1 anak yang bersekolah.
Rasio kecukupan guru dengan anak usia sekolah sebesar 1:61, sedangkan dengan anak sekolah sebesar 1: 11,95. Ini juga menandakan bahwa banyak anak usia sekolah yang tidak sekolah. Indikasi ini dilihat dari perbandingan guru - anak usia sekolah dibandingkan dengan rasio guru – anak sekolah. Karena rasio guru-siswa sebenarnya kecil, di mana guru rata-rata hanya memiliki siswa sebesar 11, 95 (12) orang saja per kelas. Sementara itu rata-rata siswa per SD hanya sebesar 10,2 siswa. Tetapi sebaliknya; bila seluruh anak usia sekolah tersebut bersekolah, maka akan terjadi kekurangan guru yang sangat besar di daerah Talang Mamak sebesar 1: 61 siswa.
Rasio kecukupan guru per sekolah sebesar 1:4,2. Jumlah ini mengindikasikan bahwa setiap sekolah masih terjadi kekurangan guru, di mana setiap sekolah hanya tersedia guru sebanyak 4 orang (termasuk guru honor).
Untuk SLTP di daerah Rakit Kulim belum tersedia, karena kecamatan ini merupakan pengembangan dari Kecamatan Kelayang. Maka bila anak-anak Talang Mamak akan melanjutkan ke SLTP harus keluar desa/kecamatan.
3. Kasus Suku Laut (Inhil).
Perbandingan anak usia sekolah dengan mereka yang tidak sekolah masih di daerah suku Laut juga masih tergolong tinggi dengan rasio sebesar 1: 3,31 lebih tinggi dibandingkan dengan di suku Akit (Rupat Utara) tetapi lebih rendah dibandingkan dengan suku Talang Mamak di Indragiri Hulu. Ini juga artinya masih ada anak yang tidak sekolah sebesar 3,31 orang diantara 1 anak yang sudah sekolah di kalangan mereka. Untuk kasus sekolah SLTP di desa kajian tidak tersedia.
Kemudian untuk rasio kebutuhan dan kecukupan guru dengan anak usia sekolah di desa Sungai L:aut cukup besar dimana diperoleh hasil 1: 34 (inipun tetap dengan catatan bila seluruh anak usia sekolah tersebut bersekolah). Tetapi dari hasil yang ada perbandingan guru dengan anak sekolah di desa Sungai Laut hanya sebesar 1: 10,28. Inipun artinya bahwa rasio guru dengan siswa cukup kecil yang menandakan bahwa anak yang bersekolah masih minim, di mana rata-rata guru hanya mengajar 10 orang saja. Dengan rata-rata siswa persekolah (SD) hanya sebesar 36 siswa untuk seluruh kelas dari kelas 1 sampai kelas 6.
Untuk rasio Guru dengan sekolah masih sangat minim dengan perbandingan 1: 3,5 hampir mirip dengan kasus di Titi Akar. Inipun menandakan bahwa setiap sekolah hanya tersedia sebanyak 3,4 (4) orang guru saja (dalam hal ini termasuk guru honor). Bila dihitung guru PNSnya saja maka dipastikan akan jauh lebih besar lagi angka rasionya.
Dari temuan itu menjelaskan bahwa kondisi belajar- mengajar di desa-desa kajian masih sangat minim sekali. Pada hal menurut idealnya rasio guru : siswa di Indonesia minimal 1: 25 atau 1 : 30 orang, dan setiap guru harus memiliki keahlian menurut bidang studinya masing-masing, sehingga tidak ada lagi guru merangkap berbagai bidang studi (Sudirman, 2001).
Dari informasi di atas, guru masih merupakan barang langka untuk beberapa daerah di Riau. Pada hal seharusnya guru benar-benar menjadi "agen perubahan" dan menjadi sosok profesional yang senantiasa bersikap responsif dan kritis terhadap berbagai perkembangan dan dinamika peradaban yang terus berlangsung di sekitarnya. Tetapi di sisi lain; guru di daerah tersebut masih langka, kalaupun ada masih sebatas guru honor.
Kehidupan guru memang masih serba minim, menurut mereka (para guru) mengatakan; guru di daerah berbeda dengan guru diperkotaan; mereka hanya berbekalkan pengabdian semata dan senantiasa dihadapkan pada situasi pilihan yang serba sulit. Mereka bekerja dengan fasilitas seadanya sehingga mereka menjadi skeptis terhadap dunia profesi yang ditekuninya. Bukti ini dapat dilihat dari:
1. Guru honor di Rupat Utara menerima gaji 3 bulan sekali dengan honor yang minimal dan itu harus diambil di Tanjung Medang.
2. Honor seringkali mengalami keterlambatan, akibatnya mereka mengajar malas-malasan yang pada gilirannya mereka banyak putar haluan dan menyebrang menjadi TKI ke Malaysia.
3. Minimnya tenaga guru, telah menyebabkan terjadinya pengalih fungsian siswa. Di mana siswa yang dianggap pandai sering disuruh membantu guru untuk memberikan bekal pengajaran di kelas.
Dari fenomena ini tampak begitu buramnya pendidikan di Indonesia. Pada hal seharusnya dunia pendidikan harus berfungsi bagaikan "magnet" yang mampu mengundang daya pikat anak-anak bangsa untuk berinteraksi, berdialog, dan bercurah pikir dalam suasana lingkungan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Dengan cara demikian, tidak akan terjadi proses deschooling society di mana sekolah mulai dijauhi oleh masyarakat akibat ketidakberdayaan pengelola sekolah dalam menciptakan institusi pembelajaran yang "murah-meriah" di tengah merebaknya gaya hidup hedonistik, konsumtif, materialistik, dan kapitalistik.
Tetapi nyatanya tidaklah demikian, masyarakat yang rata-rata berpendidikan rendah tidak perduli dengan dunia pendidikan, animo masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka rendah. Daya beli dan rasa ingin merubah nasib di kalangan masyarakat juga cenderung rendah. Daya tarik sekolah sebagai magnet perubahan tidak ada di mata masyarakat. Guru dengan profesinya tidak menjadi daya tarik bagi mereka. Guru juga tidak lebih dengan mereka yang sama-sama bergelut dengan kemiskinan.
6. Rekomendasi dan Model Alternatif Pendidikan Dasar.
Minimnya infrastruktur pendidikan di daerah Riau (baik di Indragiri Hulu, Bengkalis dan Indragiri Hili) telah menyebabkan munculnya beberapa masalah. Namun masalah-masalah dimaksud sebaiknya dipecahkan sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang ada pada setiap daerah. Karena setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda.
Tetapi secara umum; adanya pola permukiman yang memencar dan berkelompok-kelompok yang dilakukan oleh suku-suku komunitas adat terpencil telah menyebabkan kebutuhan akan sekolah menyebar berdasarkan kelompok-kelompok kecil yang ada, baik di Talang Mamak, Akit maupun suku Laut.
Tetapi berdasarkan temuan dan kajian lapangan, sebenarnya bentuk-bentuk sekolah dan model pendidikan konvensional masih mungkin untuk dilakukan pada mereka. Karena sebetulnya mereka kini adalah sama dengan masyarakat lain. Tetapi karena faktor ekonomi, suriteladan, dan fasilitas sosial pendidikan yang minim menyebabkan mereka seolah-olah “kurang perduli “ terhadap pendidikan. Selain itu pola nomaden yang disinyalir sebagian pihak masih terjadi terhadap mereka, ternyata kini tidaklah pula seluruhnya benar. Kaum Talang Mamak, Akit dan Suku Laut lambat laun kini mulai menetap. Dengan model permukiman menetap ini, maka untuk penuntasan program wajib belajar, sebenarnya lebih mudah untuk dilakukan.
Alternatif yang dapat dilakukan untuk penuntasan program wajar dikdas 9 tahun, antara lain:
1. Di daerah Talang Mamak (Indragiri Hulu) dapat dilakukan dan dikembangkan model sekolah lokal jauh (SLJ). Penekanan sekolah lokal jauh berbeda dengan sistem pendidikan jarak jauh. Sistem pendidikan jarak jauh adalah peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya; menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain. Sedangkan sekolah lokal jauh adalah tetap menggunakan sistem pendidikan konvensional tetapi penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan lokasi daerah yang bersangkutan.
2. Beberapa catatan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan lokal jauh adalah:
Sarana dan Prasarana pendidikan harus cukup tersedia dan dapat menampung seluruh anak usia sekolah.
Rasio kecukupan guru dan siswa harus seimbang.
Pendirian SLJ harus benar-benar representatif dengan kondisi lapangan dan aksesibilitas penduduk.
Adanya komitmen pemerintah dan stakeholder pendidikan untuk turut mensukseskan kegiatan di maksud.

Untuk terlaksananya model ini harus ada Sekolah Induk sebagai payung dan pembina sekolah lokal jauh. Kenyataan beberapa SD yang sudah ada kini sudah dijadikan sebagai SD induk yang berfungsi membina SLJ-SLJ yang ada. Skema dan sistematika model sekolah lokal jauh yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut:








Model ini dirasakan cocok untuk menjangkau anak usia sekolah yang jauh jaraknya dengan tempat sekolah induk. Pemilihan sekolah lokal jauh merupakan bentuk dari SD filial yang merupakan kelompok belajar (POKJAR), pada lokasi (sentra-sentra permukiman penduduk yang representatif) terjangkau dan layak yang dapat menampung siswa usia sekolah.
Pola ini sebenarnya sudah dilaksanakan di Indragiri Hulu dengan bantuan tenaga pengajar ( Guru Huni ), pada beberapa bangunan darurat yang dibangun secara swadaya. Maka ini kiranya perlu dikembangkan lebih lanjut pada daerah-daerah lain yang serupa.
Pelaksanaan Sekolah lokal jauh ini koordinasi Pemerintah Provinsi Riau dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Indragiri Hulu. Diperoleh data bahwa gaji guru huni sebesar Rp. 750,000,- dipotong PPh 15 % serta diberi kelengkapan pakaian ( pakaian sekolah dan sepatu olahraga serta buku dan alat tulis). Kendatipun demikian, di daerah Indragiri Hulu lembaga pendidikan yang ada seperti SD induk dan SLJ belum dapat menjangkau dan memberikan pendidikan dasar kepada anak usia sekolah seluruhnya. Jarak yang jauh dan sulit ditempuh mengakibatkan pendidikan jadi tidak efektif, juga masih banyak jalan yang belum disirtu sesuai dengan rencana Pemda. Maka ke depan perlu dipikirkan untuk kelengkapan sarana dimaksud dengan membangun lebih banyak kelas-kelas jauh. Beberapa bentuk keunggulan sekolah lokal jauh antara lain adalah:
1. Dapat menampung siswa yang tidak terjangkau akses pendidikan
2. Program tatap muka yang diadakan di beberapa tempat oleh guru (baik guru kunjung maupun guru huni) tidak kalah efektif dengan bentuk sekolah biasa, asal dilakukan secara benar dan tepat.
3. Waktu belajar bisa fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan guru pengajar; tetapi tetap dengan pedoman waktu yang jelas dan terukur.

Selain itu pendidikan ini juga harus diarahkan pada upaya peningkatan mutu pendidikan. Dengan model pembelajaran "joyful learning" atau yang lebih dikenal dengan model pembelajaran PAKEM (Pembelajaran Aktif, Efektif dan Menyenangkan). Sehingga akan menimbulkan motivasi siswa untuk terus bersekolah dan akan terjadinya estafet sesama mereka dari anak sekolah ke anak usia sekolah lain yang belum sekolah.
1. Di daerah suku Akit (Rupat Utara-Bengkalis) dan suku Laut (Tanah Merah- Indragiri Hilir). Pola permukiman mereka cenderung mengelompok pada sentra-sentra permukiman tertentu. Pada daerah ini jumlah SD dan SLTP memang sangat kurang sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab terdahulu.
2. Tetapi karena jumlah siswa yang sedikit, pembangunan unit sekolah baru (baik untuk SD maupun SMP) terkadang tidak efisien. Sementara dilain pihak daerah-daerah ini merupakan daerah Angka Partisipasi Kasar (APK) nya rendah dalam bidang pendidikan. Maka cara yang paling mudah untuk dilakukan adalah sama dengan membentuk SLJ (seperti di daerah Indragiri Hulu untuk kasus sekolah dasarnya).
3. Tetapi untuk kasus SLTP (baik di Inhu, Inhil dan Bengkalis), cara yang dapat digunakan untuk mendekatkan SMP dengan tempat konsentrasi anak-anak yang belum mendapatkan layanan pendidikan SLTP ( tanpa harus membuat unit sekolah baru). Adalah dengan mengembangkan Pendidikan Dasar Terpadu atau SD-SMP satu atap. Pengembangan pendidikan dasar terpadu adalah dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang ada di SD yang telah ada untuk digunakan secara bersama.
4. Pendirian SD-SMP secara terpadu ini dikelola dalam satu manajemen dan kelembagaan; gunanya untuk memperluas pemerataan layanan pendidikan dasar pada daerah terpencil, terisolir, dan terpencar-pencar guna menunjang penuntasan wajib belajar sembilan tahun. Karena di daerah-daerah ini banyak lulusan SD yang tidak melanjutkan SMP. Karena itu, SD-SMP Satu atap layak digunakan, konsep awal pembentukannya berangkat dari semangat untuk menunjang penuntasan program wajib belajar sembilan tahun, dengan menerapkan sistem kelas dari I hingga IX. Kelas I-VI adalah setara SD, sedangkan siswa kelas I-III SMP pada umumnya.
5. Penerapan SD-SMP terpadu, tetap harus ditunjang dengan pasokan sarana dan prasarana pendidikan, terutama guru dan fasilitas bahan ajar lainnya. Karena tidak ada gunanya bila gedung dibuat atau disatupadukan tetapi guru dan bahan ajarnya tidak ada.
Dalam menerapkan sekolah-sekolah lokal jauh dan SD-SMP terpadu ini pendekatan pendidikan yang dilakukan harus tetap memperhatikan broad based education. Terdapat 4 alasan mengapa sistem broad based education diperlukan yaitu:
1. Alasan ekonomis. Karena ketidakmampuan orang tua atau faktor kemiskinan, maka tidak semua tamatan SD dan SLTP dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (misalnya ke SMA/SMK).
2. Alasan kemampuan intelektual. Secara nasional cukup banyak (sekitar 40 persen) anak yang dengan susah payah menyelesaikan SD dan tidak mempunyai kemampuan intelektual untuk mengikuti pelajaran di SLTP/SLTA;
3. Alasan tidak berminat; Untuk mengakomodasi kebutuhan pendidikan bagi lulusan SD dan SLTP yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sistem broad based education dalam bentuk pendidikan keterampilan sudah merupakan suatu kebutuhan, agar mereka memiliki life skill yang relevan dengan peluang kesempatan kerja yang tersedia di daerah mereka.
4. Pendidikan harus tetap mengedepankan pendidikan kontekstual yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya yang disesuaikan dengan kondisi geografis dan budaya mereka.
Hal ini didasari karena adanya beberapa permasalahan pokok sebagai berikut: (1) pada usia muda mereka sudah menjadi tenaga kerja keluarga atau bekerja pada orang lain; (2) waktu musim tanam atau panen, mereka bekerja melebihi jam kerja normal dan sekolah mereka tinggalkan; (3) untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga mereka wajib kerja mencari upah; (5) mereka tidak ingin berbaur dengan teman sebaya yang melek huruf, meskipun usia mereka sama; (7) merasa takut terhadap situasi belajar mengajar yang sifatnya formal.
Pendidikan berdasarkan sistem broad based education ialah konsep pendidikan yang mengacu pada life skill. Tujuan utamanya adalah untuk mengakomodasi kebutuhan pendidikan masyarakat yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Beberapa alasan mendasar yang perlu mendapat perhatian antara lain: a) tidak semua lulusan SD dan SLTP memiliki potensi intelektual untuk belajar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi; terutama bagi mereka suku terpencil; b) SLTP yang ada masih bersifat umum, dan lulusannya dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, akibatnya lulusan SD yang tidak memiliki potensi intelektual untuk belajar di SLTP umum menjadi putus sekolah karena tidak tersedia SLTP keterampilan; c) ketidak-mampuan orang tua karena masalah kemiskinan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi lulusan SD dan SLTP tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Untuk memecahkan masalah ini, perlu pendidikan keterampilan yang sesuai dengan peluang kesempatan kerja yang dibutuhkan masyarakat dengan mempertimbangkan bakat dan minat , serta kemungkinan mereka dapat bekerja mandiri atau bekerja pada orang lain. Pendekatan ini sifatnya manusiawi, artinya bahwa terdapat pengakuan bahwa mereka memiliki potensi untuk dapat berkembang. Karena itu, gagasan untuk mendirikan SLTP yang menekankan pada keterampilan sudah merupakan kebutuhan yang dirasakan bagi anak-anak SD yang tidak mampu melanjutkan pendidikan di SLTP umum.
Selain itu untuk meningkatkan perluasan dan pemerataan, pendidikan di kalangan komunitas adat terpencil ini; strategi pembangunan yang harus ditempuh adalah dengan melaksanakan:
1. Pemberian subsidi bagi sekolah lokal jauh untuk lebih berdaya
2. Melakukan penggabungan (regrouping) sekolah SD dan SLTP terutama di daerah-daerah perdesaan yang sulit dengan azas representatif berdasarkan sentra-sentra permukiman masyarakat.
7. Rekomendasi.
Dari beberapa temuan itu, maka langkah yang perlu diambil oleh pemerintah daerah untuk mengatasi masalah dimaksud antara lain dengan:
1. Untuk menata manajemen pendidikan, utamanya perbaikan kualitas dan gaji guru di era otonomi daerah terutama untuk kasus-kasus di pedesaan Komunitas Adat Terpencil, adalah sebagai berikut:
Perlu dilakukan need assessment terhadap kebutuhan guru dan operasional sekolah yang terkait. Disarankan kepada Pemda dan Diknas setempat untuk lebih fokus meningkatkan anggaran bagi perbaikan kualitas guru, terutama untuk gaji/pendapatan guru, studi lanjut, dan kegiatan pelatihan, dan yang paling penting adalah penambahan jumlah guru.
Perlunya penerapan SBB (school based budgeting) yang didasarkan pada kebutuhan ril sekolah, sehingga tidak terjadi kekurangan dan kelangkaan bahan ajar dan bahan pendukung lainnya. Dinas Diknas kabupaten/kota perlu memberikan wewenang dan pembinaan kepada sekolah dan Komite sekolah untuk bersama mengatur rumah tangga sekolah secara transparan dan akuntabiltas.
Penerapan five C’S (Commitment, Collaboration, Concern, Consideration, and Change) yang realistis, sinergis dan berkesinambungan pada Pemda, Dinas Diknas, sekolah, dan LPTK yang ada untuk bersama maju membangun daerahnya masing-masing.
2. Untuk memberdayakan pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa perlu dialokasikan anggaran secara memadai baik oleh pemerintah pusat (APBN) maupun daerah (APBD), Berdasarkan SPN 2003, pasal 49 (1) sektor pendidikan mendapatkan anggaran minimal 20% dari APBD. Agar masyarakat bersedia berpartisipasi dengan sukarela, program itu dapat didukung dengan melakukan pengurangan dan penghapusan pajak untuk pendidikan bagi pihak-pihak yang menyumbang program pendidikan secara finansial. Di samping itu, pemerintah dapat memungut pajak kekayaan yang dikhususkan untuk pendidikan.
3. Pendekatan model pendidikan konvensional dirasakan masih cocok untuk dikembangkan disetiap lokasi kajian. Karena sebenarnya keinginan dan kemauan belajar dan merubah hidup pada generasi-generasi penerus di kalangan mereka sudah tumbuh dan sadar akan pentingnya arti pendidikan. Tetapi karena minimnya fasilitas sosial yang tersedia, serta sebarannya tidak merata dan adanya belenggu kemiskinan di kalangan mereka sendiri, maka akses mereka untuk bersekolah jadi tersumbat. Maka ke depan perlu perbaikan, penambahan dan pemerataan sarana-prasarana pendidikan yang ada dengan mempertimbangkan aksesibiltas sosial, ekonomi dan budaya pada mereka.
4. Untuk itu di setiap lokasi kajian (Bengkalis, Inhu dan Inhil) perlu memperbaiki dan meningkatkan kualifikasi, kamampuan dan kesejahteraan guru, serta kepala sekolah sebagai faktor yang mempengaruhi secara langsung terhadap mutu pendidikan; melengkapi sarana dan prasarana pendidikan; mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya pendidikan agar lebih efisien.
5. Untuk efektifnya proses wajib belajar usia 9 tahun pada; sekolah Induk, harus memperhatikan;
Untuk di daerah Talang Mamak, perlu memprioritaskan pengangkatan PNS, bagi Guru honor yang telah mengabdi pada lokasi (pada sekolah-sekolah marjinal) tersebut yang memenuhi persyaratan sedangkan guru honor yang latar belakang non pendidikan di beri kesempatan untuk mengikuti pendidikan Akta IV.
Penambahan sarana Gedung, mebeler, dan mengingat kondisi alam yang sulit, para Guru dilengkapi dengan sepeda motor. Memberikan insentif bagi guru melalui dana APBD Kabupaten, serta menambah Sekolah Lokal Jauh. Memprioritas pengangkatan PNS/Guru bagi tanaga honorer yang memenuhi persyaratan. Membangun bangunan / lokal Pokjar minimal di masing-masing desa pada lokasi mayoritas penduduknya.
Perlu difasilitasi berdirinya Sekolah Lanjutan Pertama yang komperhensif pada posisi yang strategis;
6. Untuk di Rupat Utara (desa Titi Akar) perlu dibangun sarana pendidikan prasekolah dan Taman Kanak-Kanak untuk menstimulus masyarakat memasuki sekolah dasar serta diiringi dengan pembentukan SLJ pada pulau-pulau kecil sekitarnya. Sementara untuk jenjang pendidikan lanjutan, perlu dibangun SD-SMP terpadu yang dapat menampung anak usia sekolah. Dan dalam jangka panjang kebutuhan SMK (bisnis dan manajemen) perlu dikembangkan di daerah ini, karena potensi masyarakatnya yang menginginkan SMK.
7. Untuk menstimulus pembangunan ekonomi di daerah Rupat Utara (Titi Akar) pembangunan pola kemitraan melalui PIR (dan sejenisnya) sangat berpotensi untuk dikembangkan sesuai dengan keinginan masyarakatnya. Dan untuk masyarakat suku Laut perlu penekanan pada program K2I pada sektor kelautan/perikanan.
8. Selain masalah diungkapkan di atas, juga di Titi Akar perlu juga penambahan sarana dan prasarana gedung yang representatif di setiap sentra lokasi permukiman penduduk, karena selama ini lokasi sekolah hanya tersedia di desa-desa utama yang menyulitkan para anak didik untuk bersekolah, karena mereka sulit untuk menyebrang laut/selat antar pulau apalagi untuk ukuran seorang anak kecil yang masih terbatas kemampuan fisiknya.
9. Untuk kasus suku Laut, mereka sebenarnya sudah berkeinginan untuk sekolah, tetapi sarana dan prasarana pendukung kurang memadai, baik dari sisi internal (individu) mereka sendiri yaitu karena faktor budaya dan kemiskinannya juga karena fasilitas sosial yang tersedia memang kurang. Maka hal ini perlu pembenahan lebih lanjut untuk peningkatan kualitas dan kuantitas pembelajaran pada mereka.
10. Secara umum stigma sebagai suku terbelakang dan miskin pada mereka, perlu diubah karena sebenarnya mereka adalah orang-orang yang memiliki budaya dan juga berkeinginan maju. Seperti misalnya ; untuk suku Laut guna memicu prestasi di kalangan mereka maka perlu adanya tokoh-tokoh kunci yang benar-benar representatif dan layak dari kalangan mereka sendiri untuk dilibatkan dalam berbagai kegiatan pembangunan sebagai stimulus dan reference (contoh teladan) bagi mereka; bahwa dari kalangan merekapun ternyata mampu dan dihargai. Karena selama ini menurut mereka keterlibatan dari tokoh-tokoh mereka sangat kurang.

Selasa, Juni 15, 2010

BUNUH DIRI DALAM MASYARAKAT INDONESIA



1. Latar Belakang
Menurut laporan harian Kompas 18 November 2002 untuk tahun 2000 telah terjadi 520.000 kasus pembunuhan. Dari jumlah itu laki-laki yang terbunuh jumlahnya mencapai 70 %, dan yang tertinggi berada dalam kategori usia 15-29 tahun. Sedangkan angka bunuh diri dalam tahun yang sama berjumlah 815.000 kasus dari jumlah inipun diketahui 60 % adalah berkelamin laki-laki dalam rentangan usia 15- 44 tahun. Sedang untuk kasus bunuh diri kaum perempuan juga mengalami peningkatan, namun kaum laki-laki lebih dominan. (Kompas 18 November 2002).
Dari data itu tampak bahwa angka bunuh diri lebih tinggi daripada angka kasus pembunuhan. Dan harus diakui bahwa fenomena bunuh itu ibarat bola salju dan gunung es. Artinya, semakin lama semakin banyak dan besar sementara jumlah yang berhasil dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah kasus yang terjadi. Asumsi ini dapat kita cermati dari amatan akhir-akhir ini di mana hampir setiap media massa dalam rubrik kriminalitasnya selalu muncul berita tentang kasus-kasus bunuh diri. Di Surabaya seorang pembantu terjun bebas dari lantai 3 Pasar Turi, di Jakarta, Medan dan kota-kota besar lainnya juga muncul laporan dari berbagai media massa.
Tampaknya fenomena bunuh diri dalam masyarakat kita kini kian menggejala saja dengan berbagai macam modus dan bentuknya. Pola bunuh diri yang dilakukan oleh masyarakat cukup bervariasi, mulai dari yang minum racun serangga, loncat dari gedung yang tinggi hingga pola yang paling umum dilakukan seperti gantung diri.
Fenomena ini menjadi paradok di tengah maraknya kontroversi tentang penerapan perlu tidaknya hukuman mati dilakukan terhadap terpidana mati, di mana banyak kalangan yang kontra terhadap penerapan sanksi hukuman seperti ini karena dianggap sebagai pengekangan terhadap hak hidup manusia. Tetapi justru ironinya dalam masyarakat kita banyak terjadi kasus bunuh diri ?. Bahkan kasus bunuh diri dalam masyarakat kita akhir-akhir ini tampaknya sudah semakin menggejala dan menunjukkan ke arah peningkatan !.
2. Masalah.
Kajian bahasan makalah ini akan ditelaah kasus bunuh diri dalam perspektif teori-teori dalam kaitannya dengan masalah sosial.
3. Tujuan.
Makalah ini ditulis dalam kaitannya dengan beberapa tujuan antara lain:
1. Memahami fenomena bunuh diri di Indonesia yang kian marak.
2. Apakah yang menyebabkan seseorang bunuh diri dalam perspektif teori sosiologi
3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sosiologi.
4. Teori.
Fenomena bunuh diri sebenarnya pernah dicermati oleh seorang ahli sosiologi Perancis bernama Durkheim dalam bukunya Suicide. Durkheim menganalisa bahwa faktor solidaritas sangat terkait dengan kecendrungan seseorang melakukan bunuh diri (Johnson, 1985).
Analisa Durkheim secara implisit, menjelaskan bahwa solidaritas sosial terkait dengan faktor ekonomi dan keluarga. Sebab kekentalan nilai kohesif yang ada dalam setiap individu untuk berbagi rasa sangat mewarnai pilihan untuk melakukan bunuh diri. Durkheim membandingkan antara mereka yang kawin dengan yang tidak kawin, mereka yang memiliki anak dan yang tidak memiliki anak. Kesimpulannya bahwa keajegan hubungan sosial yang dibangun diantara mereka dapat mengurangi angka bunuh diri.
Sementara itu seorang antropolog Inggris James Frazer, (Koentjaraningrat, 1983) mencoba memecahkan teka-teki bunuh diri ini dikaitkan dengan pemahaman religi. Teori Frazer tentang batas akal mencoba menjelaskan fenomena ini. Bahwa seseorang dalam kapasitas tertentu akan mencoba memecahkan setiap persoalan hidupnya dengan akal sehat (rasionalitas) nya. Namun batas akal seseorang ini memiliki batas toleransi, di mana bila himpitan persoalan seseorang itu telah mencapai puncaknya dan akal mereka sudah tidak mampu lagi mencerna, maka seseorang cenderung akan memecahkan persoalan hidupnya secara irasional melalui perantaraan religi.
Penguasaan religi seseorang itu menurut Frazer sangat relatif, maka ini kiranya yang dianggap sebagai penguasaan eksternal oleh Ronny Nitibaskara tadi yang menjelaskan bahwa seseorang itu jadi atau tidaknya melakukan bunuh diri. Pemahaman faktor eksternal yang kuat, dalam hal ini religi dapat menekan perilaku bunuh diri. Dengan demikian religi di sini memiliki fungsi sebagai peredam kegalauan dan kegundahan hati manusia.
Maka menurut Frazer seseorang yang cukup kuat penguasaan religinya, mereka akan menyikapi segala persoalan hidupnya dengan sikap mental positif dan adanya rasa kepasrahan (tawakal). Namun mereka yang tidak mampu memecahkan masalah hidupnya dan penguasaan religinya juga rendah, cenderung untuk mengambil jalan pintas dengan jalan bunuh diri.
5. Analisis Pembahasan Masalah.
Menurut dari laporan buku “ Mayat Luar “ milik Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo Jakarta hingga akhir februari 2005 lalu di mana tercatat ada 17 mayat dari luar yang dikirim ke rumah sakit untuk divisum dengan gejala kematian akibat bunuh diri. Dari laporan itu, usia mereka yang teridentifikasi sebagai pelaku bunuh diri tidak mengenal istilah tua atau muda baik berkelamin laki-laki atau perempuan. Karena dari beberapa mayat yang dikirim itu ada seorang perempuan tua berumur 62 tahun dan gadis muda berumur 16 tahun (Kompas 3 April 2005).

KASUS BUNUH DIRI DI JABOTABEK SELAMA JANUARI-MARET 2005
No Tanggal Kasus
Indikasi kematian Indikasi Penyebab
1. 12 Januari Yayan (53 thn) Tangerang Gantung diri Tekanan ekonomi
2. 21 Januari Rojana (17 thn) Cipondoh Gantung diri Malu atas ulah pamannya terhadap temannya sesama baby sitter
3. 9 Februari Johan Darmawan (35 thn) Tangerang - Bunuh diri karena burung kesayangannya mati
4. 13 Februari Slamet (65 thn) Tangerang Gantung diri Cemburu pada istrinya
5. 26 Februari Ajun Malik (50 thn) Gantung diri Tekanan ekonomi
6. 16 Maret Helen (24 thn) Tangerang Gantung diri Sering cekcok dan cemburu pada suami
7. 17 Maret Indra (32 thn) Depok Gantung diri Tekanan ekonomi karena terbelit utang
8. 29 Maret Agung Ali Bani (22 thn) Jakarta Gantung diri Tidak ada data penyebab
9. 13 April Maryam (18 thn) Jakarta Gantung diri Mendapat kabar ibunya sakit
10. 15 April Nawawi (41 thn) Jakarta Gantung diri Diduga karena ditanyai soal gaji oleh istrinya
11. 17 April Sugiharto (53 thn) Bogor Gantung diri Tekanan ekonomi dan terbelit utang
12. 19 April Edi Mustofa (18 thn) Jakarta Gantung diri Cinta ditolak
13. 28 April Botang (63 thn) Depok Gantung diri Dilarang ke empat anaknya untuk jual tanahnya untuk biaya nikah lagi
Sumber : Diolah dari Harian Kompas Januari- Mei 2005

Data di atas memang hanya melaporkan kasus yang terjadi di wilayah Jabotabek saja, tetapi sebenarnya kalau kita simak dari laporan media massa lokal ternyata kasus bunuh diri tidak hanya terjadi di Jabotabek saja. Misalnya harian Jawa Pos Surabaya dan Suara Merdeka Jawa Tengah juga melaporkan terjadinya kasus-kasus bunuh diri di daerahnya.
Dilaporkan lagi, bahwa angka bunuh diri saat ini tertinggi memang terjadi di kawasan konflik seperti di kawasan Timur Tengah (Palestina), namun bunuh diri yang mereka lakukan meminjam istilah Durkheim cenderung lebih bersifat altruisme ketimbang kasus yang terjadi di Indonesia yang lebih bersifat individual.
Bila demikian halnya, sebenarnya apa yang tengah terjadi di dalam masyakat kita ini ?. Mengapa mereka dengan mudah mengakhiri kehidupan ini ?. Pada hal hidup ini sebenarnya menurut sebagian orang adalah sesuatu kenikmatan. Buktinya banyak orang dengan rela menghamburkan banyak uang dengan tujuan mencari berbagai bentuk pengobatan sebagai alternatif untuk memperpanjang usia hidupnya. Tetapi di pihak lain justru ada sebagian lain dari mereka yang nyata-nyata sehat secara fisik tetapi justru mereka tidak mau hidup lebih lama. Mereka bunuh diri !! .
Sebenarnya untuk menganalisis gejala bunuh diri, ada banyak pendapat. Misalnya menurut seorang ahli psikologi klinis dari Universitas Indonesia Kristi Poerwandari, menjelaskan untuk menelaah kenapa seseorang melakukan bunuh diri. Menurutnya minimal harus memenuhi dua syarat, pertama adanya faktor pendahulu yang mempengaruhi seseorang melakukan percobaan bunuh diri, dan kedua adanya faktor pencetus dan situasi yang mendorong seseorang melakukan bunuh diri.
Faktor pendorong orang melakukan bunuh diri ini dianggap paling banyak mempengaruhi perilaku seseorang untuk melakukan bunuh diri. Apalagi menurut Ronny Nitibaskara seorang kriminolog yang sama dari Universitas Indonesia mengatakan bila faktor pendorong yang dimiliki seseorang itu tidak didukung dengan penguasaan eksternal yang kuat, maka perilaku ini akan mendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri.
Walaupun sejauh ini dan apapun alasannya, seseorang itu melakukan bunuh diri memang sulit dicari penyebabnya. Namun paling tidak sebagian orang yang telah melakukan bunuh diri, seringkali meninggalkan catatan kecil atau semacam surat terakhir untuk orang yang ditinggalkannya yang memberikan kesan tentang suatu masalah yang dia hadapi sebagai penyebab mereka memutuskan pergi meninggal dunia fana ini. Catatan-catatan kecil itu, hampir semuanya menjelaskan bahwa mereka memutuskan untuk bunuh diri lebih disebabkan oleh faktor ekonomi, kisah asmara dan keluarga.
Terlepas dari berbagai argumen teoretis itu, tampaknya gejala bunuh diri di Indonesia menunjukkan grafik kenaikan. Kondisi ini bila dilihat secara ekonomi sekarang ini memang tidak kondusif untuk sebagian masyarakat. Tingginya angka pengangguran, kenaikan sejumlah harga kebutuhan pokok, kemiskinan, bencana alam, dan konflik horizontal, telah menyebabkan sebagian dari masyarakat kita mengalami kesulitan hidup. Hal mana telah dilansir menurut Durkheim dalam Johnson (1985) dan juga Frazer dalam Koentjaraningrat (1983).
Kasus bunuh diri yang terjadi dalam masyarakat menurut Durkheim ini dikarenakan menurunnya solidaritas organic dan tingkat anomi dalam masyarakat naik (anomik). Menurunnya tingkat solidaritas menjadikan masyarakat kehilangan control social sehingga tidak ada kekuatan dalam diri setiap individu.
Menurut Durkheim orang dapat melakukan bunuh diri manakala agamanya kurang mengikatnya, masyarakat dilanda krisis politik, atau keluarganya kurang mengikatnya. Sementara masyarakat sudah tidak lagi memberikan pegangan bagi warganya. Dengan demikian seseorang melakukan bunuh diri bisa saja karena agama yang dia miliki tidak mampu membentengi dirinya. Jadi, seseorang melakukan bunuh diri bukan karena factor individu, malainkan bersumber pada masyarakat.
Buktinya angka depresi dan potensi stress bagi sebagian masyarakat ibukota justru kinipun menunjukkan ke arah peningkatan. Hal ini mungkin dianggap sebagai pendorong untuk seseorang melakukan berbagai perilaku menyimpang. Maka konsekuensinya angka kriminalitas seperti pencurian, perampokan, dan pembunuhan menjadi semakin tinggi. Pilihan-pilihan perilaku kriminalitas yang dilakukan sebagian orang ini bisa jadi disebabkan hanya untuk tetap survive dalam persaingan yang tidak seimbang. Karena untuk memasuki dunia formal dalam pemenuhan ekonomi keluarga bagi sebagian masyarakat krannya sudah tertutup. Tertutup oleh hambatan struktural dan kultural yang dibangun oleh masyarakat sendiri.
Di pihak lain, bagi mereka yang tidak mampu berusaha survival dan melakukan penyimpangan perilaku ditambah memiliki penguasaan eksternal yang rendah maka pilihan bunuh diri adalah yang paling mudah untuk mereka lakukan. Karena dengan bunuh diri dianggap persoalan hidup yang kurang menguntungkan bagi dirinya terselesaikan. Maka jadi wajar bila angka bunuh diri semakin meningkat di tengah alam ekonomi dan belenggu kemiskinan banyak memihak pada kaum yang mudah putus asa karena penguasaan eksternalnya lemah.
6. Penutup.
Dari pembahasan dan kasus sebagaimana diungkap di atas, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa tingginya angka bunuh diri di Indonesia disebabkan karena adanya anomie dalam masyarakat dan terjadinya kerenggangan dalam hubungan kohesi sosial antar warga sehingga menyebabkan angka bunuh diri semakin meningkat.
Selain itu tuntutan dalam berbagai kehidupan masyarakat yang semakin tinggi menyebabkan batas akal manusia mengalami kebuntuan untuk mencari jalan keluar, sehingga sampai pada titik klimak mereka tidak mampu lagi mengatasinya, maka kemudian itulah yang menyebabkan mereka menjadi bunuh diri.

Kepustakaan
Anonim, Bunuh Diri Semakin Meningkat, Kompas 18 November 2002
Anonim, Mayat Luar DI RS Cipto Milik Siapa ? Kompas 3 April 2005.
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosilogi Klasik-Modern Jilid 1, terjemahan Robert MZ Lawang, PT. Gramedia Jakarta, 1985
Koentjaraningrat, Teori Antropologi, jilid 1 UI Press Jakarta, 1983
KEBIJAKAN PASAR KEUANGAN MIKRO
Peranan Kebijakan Pemerintah; Masalah Dan Potensinya



A. Latar Belakang

Sejak dahulu sampai sekarang, praktek politik tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan ekonomi. Kehidupan politik dan kehidupan ekonomi selalu saling bertemu, saling mempengaruhi dan jalin menjalin. Aktivitas-aktivitas politik karena itu amat sulit dipisahkan dari aktivitas-aktivitas ekonomi.
Dalam setiap tindakan politik ada aspek ekonominya, demikian pula struktur perekonomian suatu masyarakat dapat mempengaruhi lembaga-lembaga politik, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Orang-orang Yunani menciptakan istilah “oikonomos” yang berarti urusan rumah tangga, sejak itu pula kehidupan politik tidak terlepas darinya. Namun istilah tersebut tidak hanya dipergunakan dalam arti yang sempit—mengenai pengelolaan rumah tangga saja—tetapi juga dipergunakan dalam arti luas, menyangkut pengelolaan negara kota. Karena negara kota itu disebut dengan negara polis, maka istilah political economy sudah digunakan. Istilah tersebut mengandung pengertian bahwa dalam sebuah masyarakat ekonomi, keterlibatan pemerintah di dalamnya memang tidak dapat dinafikan.
Dalam suatu negara kesejahteraan, negara mempunyai tugas politik dalam semua sektor kehidupan, terutama dalam sektor perekonomian. Tugas negara dalam menciptakan kesejahteraan tidak terbatas pada suatu golongan tertentu dalam masyarakat, tetapi adalah untuk semua warganegara dan tidak pula untuk suatu waktu dalam kehidupan individu, dimulai dari dilahirkan sampai meninggal. Negara harus memperhatikan kesejahteraan individu dan masyarakat tersebut dan inilah yang dinamakan universalisme negara kesejahteraan. Seiring dengan lahirnya konsepsi negara kesejahteraan ini, timbul pula apa yang dinamakan “konsepsi ekonomi kesejahteraan” yang memberikan dasar-dasar teoritis ekonomis kepada konsepsi negara kesejahteraan itu.
B. Masalah
Masalah bahasan dari makalah ini adalah membahas kebijakan sosial negara dalam bidang ekonomi, terutama kebijakannya dalam kontek kebijakan pasar keuangan mikro.
C. Tujuan.
Pembahasan makalah ini lebih ditujukan untuk memahami masalah kebijakan sosial yang dilakukan negara/pemerintah dalam menangangi pasar keuangan mikro di Indonesia. Terutama berkaitan dengan masalah dan potensinya.
D. Telaah Pustaka.
Konsep pasar keuangan mikro adalah : aspek keuangan dari semua proses ekonomi di segmen usaha mikro dan pedesaan yang meliputi segala sesuatu yang menyangkut tabungan dan pembiayaan usaha/ perkreditan (. Pengertian ini memang terlalu luas, dibanding pengertian sempit segmen usaha mikro selama ini yang hanya mencakup kredit sektor pertanian di pedesaan.
Batasan yang luas itu pertama-tama disebabkan oleh kenyataan bahwa sumber mata pencaharian masyarakat pedesaan tidak lagi hanya sektor pertanian tetapi juga aneka ragam kegiatan usaha ekonomi seperti; perdagangan, industri kecil, kerajinan dan jasa. Hal ini makin nampak jelas pada desa-desa yang padat penduduk, dan lahan pertanian menjadi semakin terbatas. Yang kedua, karena aspek tabungan memperoleh sorotan khusus -- disamping aspek kredit --, yang selama ini merupakan faktor penting yang dilupakan dalam membahas keuangan mikro (Anonim, 2004).
Sementara itu konsep kebijakan adalah; menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu) (Suharto, 2008). Dari dua batasan tersebut (yaitu kebijakan sosial dan pasar ekonomi mikro), maka dapat dipahami bahwa kebijakan sosial yang dilakukan oleh pemerintah dalam upayanya melakukan perbaikan pasar keuangan (ekonomi) mikro adalah suatu ketetapan yang berlaku umum dan harus terlaksana di berbagai daerah di Indonesia.
Tetapi kenyataannya, pasang-surut pasar keuangan mikro sangat tergantung kepada pelaku/Aktor, perilaku dan kinerjanya. Transaksi-transaksi dalam pasar uang berakar pada keputusan-keputusan ekonomi yang rasional dari para pelaku seperti; rumah tangga dalam perannya sebagai penabung dan peminjam, lembaga-lembaga keuangan sebagai fihak yang memberikan pinjaman atau yang menerima tabungan.
Menurut (Deliarnov, 2000) untuk memahami dengan jernih, pasar keuangan mikro dapat dirinci menjadi dua golongan sub-sistim; yaitu pasar tabungan dan pasar kredit. Pemahaman terhadap pasar tabungan dititik beratkan pada hambatan-hambatan dalam masalah mobilisasi tabungan. Kemudian pemahaman terhadap pasar kredit akan menyoroti masalah-masalah dalam mekanisme pasar perkreditan. Lembaga-lembaga keuangan mikro dan kelayakannya akan memperoleh perhatian secara khusus.
Bilamana tidak ada campur tangan kebijakan Pemerintah yang terlelu besar, maka uang akan mengalir sesuai hukum pasar, mengikuti saling pengaruh antara posisi penawaran dan permintaan yang akan menentukan harga uang.
E. Analisis
Selama ini kebijakan pemerintah (negara) dalam pengembangan pasar keuangan mikro lebih nampak sebagai “program pemberian kredit bersubsidi kepada petani dan pengusaha mikro”. Disamping itu ada anggapan yang keliru bahwa rumah tangga di desa pada umumnya miskin dan tidak dapat menabung. Sebagai akibatnya, tingkat bunga kredit ditetapkan sangat rendah dan disubsidi dengan harapan agar para petani yang miskin itu mau menerima teknologi dan sarana produksi pertanian modern guna meningkatkan hasil panen, pendapatan keluarga dan standard hidup mereka.
Akibat yang paling parah dari kebijakan ini adalah bank menjadi tergantung kepada sumber dana murah yang disediakan oleh Pemerintah dan mengabaikan sumber dana dari mobilisasi tabungan masyarakat. Pengalaman menunjukkan bahwa kebijakan kredit yang bersumber dari dana murah Pemerintah; kelihatannya dapat mengatasi kemiskinan; namun daya gunanya sebagai instrumen pengembangan ekonomi amat sangat diragukan, terutama dalam jangka panjang. Bahkan kemudian, kesulitan untuk menyediakan sumber dana murah dan tunggakan kredit yang makin membengkak menjadi masalah yang serius.
Kini para penentu kebijakan pembangunan, bahkan juga para bankir swasta harus menghadapi krisis karena masalah tersebut diatas dalam upaya untuk merobah dan membangun kembali prasarana pasar uang mikro dan pedesaan. Upaya itu antara lain pembatasan peranan Instansi Sektoral Pemerintah dalam pemberian rekomendasi untuk memperoleh kredit , dan menyerahkan sepenuhnya tugas tersebut kepada bank dengan dana yang harus dihimpun dari tabungan masyarakat lewat mekanisme pasar.
Walaupun ada upaya besar-besaran dalam program kredit bagi petani kecil diwaktu yang lalu, namun sebenarnya hanya sebagian kecil dari mereka dapat memelihara aksesnya dengan bank untuk memperoleh kredit dalam mekanisme pasar yang normal. Walaupun telah dikembangkan bank ataupun lembaga perkreditan khusus untuk mengelola program kredit bersubsidi bagi kelompok sasaran tertentu. Sebagian besar program itu kurang berhasil. Akibatnya bank pelaksana program harus menanggung tunggakan kredit yang besar, yang mengancam kelayakan dan kesehatan operasinya.
Apalagi program-program semacam itu juga kurang berhasil mencapai kelompok sasarannya, sebab segmen pasar semacam itu dianggap oleh bank beresiko tinggi dan tidak menguntungkan. Bank cenderung untuk memilih nasabah yang lebih aman dan menguntungkan yang lazimnya disyaratkan untuk menyerahkan agunan . Hal ini menyebabkan para petani, pengusaha mikro, kecil dan sektor informal semakin mustahil untuk memperoleh layanan kredit dari bank.
Kredit bersubsidi memang nampak sebagai kredit dengan harga murah . Hal itu dapat terjadi karena mengabaikan adanya biaya transaksi. Pada sisi peminjam, biaya transaksi dapat berupa ; biaya transport dan makan pada saat pengurusan kredit, pencairan, pembayaran angsuran; biaya mengurus dokumen legal dan syarat-syarat kredit; biaya konsultan atau perantara; sogokan / suap atau uang pelicin bagi pejabat bank, dan biaya karena mengorbankan waktu, tenaga. Untuk pasar mikro, semua biaya transaksi itu dapat lebih besar dibanding biaya dana. Akibatnya kredit yang murah sampai ke peminjam menjadi mahal. Oleh karena biaya transaksi adalah biaya tetap, maka semakin kecil jumlah kredit semakin besar proporsi biaya transaksinya. Ini menyebabkan kredit skala mikro untuk masabah perorangan menjadi semakin mustahil saja.
Pada sisi bank, biaya transaksi akan menyebabkan biaya operasi semakin tinggi. Sementara harga kredit untuk nasabah mikro dan kecil acapkali ditetapkan oleh Pemerintah, yang membuat bank semakin berusaha menghindari nasabah mikro dan mencari nasabah besar yang lebih aman dan menguntungkan.
Akibatnya, bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya telah menciptakan sendiri hambatan-hambatan psikologis untuk melayani pasar usaha mikro dan menanamkan sikap tersebut kepada para pegawainya. Bank juga mematok ukuran minimum kredit per-nasabah/rekening yang besarnya berada diluar jangkauan nasabah mikro. Masalah ini juga berdampak pada distribusi penyebaran lokasi kantor bank. Di tempat tertentu menumpuk, ditempat yang lain; tak ada satu bank pun beroperasi disitu.
Prosedur pelayanan Bank menjadi kaku, proses layanan kredit menjadi rumit, bertele-tele, membutuhkan sejumlah syarat formal yang tidak mungkin dipenuhi oleh pengusaha mikro dan kecil yang membutuhkan kredit. Akses pengusaha mikro dan kecil ke bank dipersempit oleh kenyataan bahwa mereka ini tidak memiliki kekayaan yang dapat dijaminkan (agunan) yang disyaratkan oleh bank guna mengamankan setiap skim kredit yang diberikan.
Kenyataan itu semua memaksa para pengusaha mikro, kecil dan sektor informal berpaling dan mendekati rentenir; yang lambat laun semakin diakui sebagai pelaku penting dan berhasil dalam pasar keuangan mikro. Kepada peminjam skala mikro dan kecil, rentenir menjadi semakin populer dan berpengaruh karena caranya yang luwes, kredit dapat diperoleh kapan saja, tujuan penggunaan kredit tidak dipersoalkan, tidak berorientasi pada agunan yang formal, dan tak ada biaya transaksi. Hanya tentu saja, bunganya relatif tinggi.


F. Kesimpulan
Oleh karena pedesaan dan segmen usaha mikro masih merupakan sektor yang dominan dalam penyerapan tenaga kerja dan perkembangan ekonomi, maka sistim keuangan mikro acapkali menjadi instrumen bagi Pemerintah dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan tertentu yang stretegis. Kebijakan ini umumnya dalam bentuk pengaturan-pengaturan tertentu yang mempengaruhi sikap dan perilaku penabung, peminjam dan lembaga-lembaga perantara keuangan. Tidak perlu diragukan lagi bahwa secara ekonomis kucuran dana kredit kepada sektor ekonomi tertentu akan mempercepat pertumbuhan melebihi sektor yang lain. Tetapi dalam kenyataannya dalam pembangunan pasar keuangan ekonomi mikro di pedesaan tidak seperti yang dibayangkan, karena masih banyaknya kendala yang dihadapi dari sisi masyarakat, perbankan dan faktor pendukung lainnya. Itulah sebabnya kebijakan ini belum sepenuhnya mampu memberikan jalan keluar yang terbaik.

KEPUSTAKAAN

Anonim, Modul Pemberdayaan LSPBM, Proyek CERD Ditjen PMPD Departemen Dalam Negeri, Jakarta 2004
Suharto, Edi, Materi Latihan : Analisis Kebijakan Sosial. http://www.policy.hu/suharto/makIndo21.html, updated, 5 Januari 2009.
Deliarnov, Ekonomi Politik: Sebuah Perbandingan, Unri Press, Pekanbaru 2000

Entri Populer

MARI BERGABUNG DAN DISKUSI YUK !!!

BAGI PENCINTA DAN PEMINAT SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI BOLEH MENGUTIP POSTING DI SINI. ASALKAN MENYEBUTKAN SUMBERNYA YA !!!

APA KOMENTAR ANDA DENGAN BLOG INI ?


Perkenalan

Suka duka jadi seorang antropolog lebih banyak sukanya, karena lebih banyak mengenal masyarakat dengan berbagai karakteristik dan keragaman mereka.


Siapa bilang mereka adalah masyarakat bodoh .......mereka justru adalah masyarakat yang pintar, arif terhadap lingkungan dan taat dalam menjalankan norma adat mereka.

Bekal ini digunakan untuk menyebarluaskan kearifan mereka di tengah masyarakat modern, yang katanya paling hebat. Tapi nyatanya.........???????

Potret Masyarakat Pesisir

Potret Masyarakat Pesisir

Pembangunan PLB

Pembangunan PLB

PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP POLITIK

1. Pengantar

Sejarah perkembangan partisipasi dan partai politik di Indonesia sangat mewarnai perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal ini sangat mudah dipahami, karena partai politik dan partisipasi politik merupakan gambaran wajah peran rakyat dalam percaturan politik nasional atau dengan kata lain merupakan cerminan tingkat partisipasi politik masyarakat. Romantika kehidupan partai politik sejak kemerdekaan, ditandai dengan bermunculannya banyak partai (multi partai). Secara teoritikal, makin banyak partai politik memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkan kewajibannya sebagai warga negara. Banyaknya alternatif pilihan dan meluasnya ruang gerak partisipasi rakyat memberikan indikasi yang kuat bahwa sistem pemerintahan di tangan rakyat sangat mungkin untuk diwujudkan. Sebagaimana diketahui bahwa konflik memang sangat diperlukan untuk menumbuhkan kompetisi antarkontestan dan sekaligus menarik motivasi masing masing untuk melakukan koreksi, berbenah diri, dan mengejar ketinggalan dalam rangka memenangkan persaingan dalam merebut hati rakyat.

Pada gilirannya akan terjadi proses belajar dan proses pertumbuhan secara terus menerus menuju kearah lebih maju, lebih baik, dan lebih mensejahterakan rakyat. Namun bila kepentingan-kepentingan cenderung bersifat divergen dan kesadaran politik serta toleransi politik belum cukup memadai, maka banyaknya partai politik bisa menimbulkan keadaan makin meruncingnya perbedaan dan memperparah keruwetan, yang berimplikasi pada sulitnya manajemen politik untuk memelihara konflik pada tingkatan yang optimal. Dengan premis seperti itulah, maka pemerintah orde baru merasakan perlu untuk mereduksi partai politik agar menjurus ke dalam bentuknya yang lebih sederhana. Menurut jalan pemikirannya, tujuan yang ingin dicapai adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi makin berperannya partai politik di satu segi dan makin mudahnya pengendalian konflik dikala mencapai tingkatan yang dianggap membahayakan persatuan dan mengganggu jalannya pembangunan nasional pada segi yang lain. Oleh karena itulah, maka kemudian berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1975, partai politik yang semula jumlahnya cukup banyak direduksi menjadi tiga kekuatan politik saja, yaitu menjadi dua partai politik dan satu golongan karya (Golkar).

Patut diduga sebelumnya, bahwa rupanya upaya penyederhanaan partai politik lebih berat perkembangannya pada pengendalian konflik yang makin lama makin ketat dan melampaui batas toleransi yang sewajarnya bagi perkembangan partai politik. Pemerintah, terutama eksekutif makin kuat secara berlebihan dan partai politik makin lemah kekuasaannya sampai pada posisi yang tidak berdaya. Dalam kondisi seperti ini, jangankan dapat memainkan perannya untuk peningkatan partisipasi politik masyarakat, untuk bertahan hidup saja barangkali harus dengan bantuan pihak lain yang lebih memiliki kekuasaan. Implikasi selanjutnya, mudah diterka bahwa masyarakat dan rakyat tidak berdaya di satu sisi, dan kolusi, korupsi, dan nepotisme negatif merajalela tanpa hambatan dan makin lama makin tak terkendali.

Menyadari keadaan yang sangat distruktif bagi perkembangan negara dan bangsa, maka lahirlah gerakan reformasi yang tujuannya tidak lain untuk menghambat dan menghentikan proses dan praktik-praktik yang distruktif dan menggantinya dengan tatanan, proses, dan praktik-praktik yang konstruktif bagi perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara. Selanjutnya gerakan reformasi berubah bentuknya secara lebih sistematik menjadi agenda nasional. Sejalan dengan upaya reformasi yang merupakan agenda nasional yang kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Undang- undang No. 3 Tahun 1999, kehidupan kepartaian berubah kembali dengan kehidupan multi partai dan telah melahirkan 147 partai politik. Dengan mencermati uraian tersebut di atas, sangat mudah dimengerti bahwa ternyata sepak terjang peran partai politik sejak kemerdekaan sampai saat ini mengalami pasang dan surut dalam pembangunan bangsa khususnya peningkatan partisipasi politik masyarakat di dalam segenap aspek kehidupan pembangunan nasional. Peran partai politik yang bersifat pasang surut tersebut terutama dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat terlihat dalam pasang surutnya peran sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutment politik, dan sarana pengaturan konflik; karena keempat peran itu diambil alih oleh pemerintah khususnya eksekutif yang didukung oleh legislatif dan yudikatif.


2. Konsep Partai dan Partisipasi Politik.

Sistem politik demokrasi modern adalah sistem demokrasi perwakilan yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan partai politik. Di negara demokrasi, partai politik adalah suatu keniscayaan karena berkaitan erat dengan kemunculan lembaga-lembaga perwakilan sebagai sarana politik untuk mewujudkan aspirasi rakyat. Prinsip pemerintahan demokrasi, yakni "oleh rakyat" diwujudkan dengan adanya partai politik dan "dari rakyat" dapat diukur dari hasil pemilihan umum yang bersifat umum, langsung, bebas, rahasia, dan adil. Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan tentang kemunculan partai politik.

  1. Teori kelembagaan. Teori itu menyatakan bahwa munculnya partai politik karena dibentuk oleh kalangan legislatif untuk mengadakan kontak dengan masyarakat.

  2. Teori situasi historis yang menyatakan bahwa adanya partai politik sebagai jawaban untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan oleh perubahan masyarakat secara luas berupa krisis legitimasi, integrasi, dan partisipasi.

  3. Teori pembangunan yang mengungkapkan bahwa kelahiran partai politik merupakan hasil produk modernisasi sosial ekonomi.

Selanjutnya kemunculan partai politik setidaknya memiliki lima fungsi politik yang sangat penting.

  1. Sarana sosialisasi politik di mana partai melakukan kegiatan dalam proses pembentukan sikap dan orientasi politik masyarakat.

  2. Sarana komunikasi politik, yakni peran parpol sebagai agen penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah.

  3. Rekrutmen politik di mana parpol melakukan seleksi dan pengangkatan individu atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peran dalam sistem politik.

  4. Pengelola konflik. Yaitu parpol berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara-cara dialog, menampung, dan memadukan aspirasi maupun kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik.

  5. Artikulasi dan agregasi kepentingan politik di mana parpol memiliki peran penting dalam menyalurkan aspirasi dan kepentingan pemilihnya.

Sekarang masalahnya adalah; sejauhmanakah keterlibatan masyarakat dalam kegiatan partai politik ?. Dan bagaimana pula bentuk partisipasi politiknya ?.

Untuk kasus dewasa ini, memasuki lembaga legislatif mau-tidak mau harus melalui partai politik. Keterlibatan dalam partai politik adalah juga bentuk dari partisipasi politik. Berbicara tentang keterlibatan atau partisipasi politik, tentu saja kita tidak dapat menghindarkan diri dari diskusi tentang partisipasi politik menurut disiplin ilmu politik. Mely G. Tan (1992) dalam Yulfita (1995) membedakan partisipasi politik dalam dua aspek, yaitu dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit berupa keikutsertaan dalam politik praktis dan aktif dalam segala kegiatannya, sedangkan dalam arti luas, berupa keikutsertaan secara aktif dalam kegiatan yang mempunyai dampak kepada masyarakat luas, mempunyai kemampuan, kesempatan, dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang mendasar yang menyangkut kehidupan orang banyak. Budiardjo (1981) menyatakan partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memiliki pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah.

Kalau Huntington dijuluki sebagai bapaknya partisipasi politik, maka David Easton dapat pula dijuluki sebagai bapaknya teori sistem politik. Analisa teori sistem politik David Easton, memang paling mudah untuk dicermati - dalam kerangka sistem politik yang demokrasi, sebab alur pikirnya sangat sederhana, tetapi kegunaannya sangat luar biasa. Dalam teorinya yang sederhana, yakni ;

-->- input --> proses --> output -->-
|----------------------------------|
|
----------------------------------|
--<---------- Masyarakat ---------<--


Melihat proses tersebut di atas, dapat diasumsikan, seorang penguasa mengeluarkan (output) peraturan atau prundang-undangan, sampai di masyarakat, masyarakat bisa setuju atau sebaliknya tanggapanya (input), akan diproses kembali oleh sang penguasa untuk kemudian dikeluarkannya kembali peraturan yang dapat diterima oleh masyarakat. Dan demikian selanjutnya.

Dalam teori ini ada dua ciri pelaku partisipasi politik, yang membedakan seseorang berpartisipasi dalam politik, yakni :

  1. Yang dimobilisasikan

  2. Otonom
    Sikap politik pada kelompok pertama (yang dimobilisasikan), biasanya tampak orang tersebut sangat fanatik. Karena orang tersebut, hanya sok-sok an, sehingga yang ia tahu hanya berpihak, berpihak dan berpihak. Sedangkan strategi untuk memenangkannya - karena ia memang tidak paham, hanyalah melawan orang atau kelompok di luar dirinya, atau di luar kelompoknya.

Lain halnya dengan orang-orang yang mempunyai sikap otonom, biasanya mereka mengikutinya dengan seksama, menganalisanya, baik buruknya dari partai yang ingin ia dukung. Sehingga sikap otonom ini sangat sukar dipengaruhi untuk menjadi ugal-ugalan.

Pertanyaannya, siapakah diri Anda, apakah Anda kelompok pertama atau kedua?. Yang perlu kita ketahuai adalah, apakah kita sudah mempunyai kedewasaan berpolitik, atau belum?.

Khusus berkaitan dalam bidang partisipasi politik, menurut Rush dan Althoff (1983) untuk dapat melihat sejauhmana keikutsertaan seseorang dalam kegiatan politik dapat dilihat dari hierarki partisipasi politik yang dilakukannya. Hierarki partisipasi politik itu dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 1.1

Hierarki Partisipasi Politik



Menduduki Jabatan politik dan administratif



Mencari jabatan politik atau administratif



Keanggotaan aktif suatu organisasi politik



Keanggotaa pasif suatu organisasi politik



Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik



Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik



Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, kampanye dan sebagainya


Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum


Pemberian suara (voting)

Sumber: Rush dan Althoff, 1983


Masih menurut Rush dan Althoff (1983) hierarki partisipasi yang berupa tingkatan itu, bukanlah merupakan prasyarat bagi jenis partisipasi suatu tingkatan berikutnya, walaupun mungkin berlaku bagi tipe-tipe partisipasi tertentu. Kemudian dari skema itu tampak bahwa bila hierarki partisipasi politik semakin naik, maka semakin mengecil volumenya, ini artinya bahwa; jenis partisipasi semakin ke atas semakin sedikit jumlahnya untuk diikuti oleh setiap individu.

Kemudian selain itu, banyak teori dan pendapat dari para ahli politik dan sosial yang mengatakan; karakteristik sosial seseorang, seperti status sosial ekonomi, kelompok ras atau etnik, usia, seks dan agama, baik mereka hidup di kota atau di pedesaan, semuanya akan mempengaruhi partisipasi politiknya. Dengan demikian, faktor seks, pendidikan dan geografis (desa-kota) tampaknya juga sangat berpengaruh dalam bentuk partisipasi politik. Pendapat ini didukung oleh Almond dan Verba, yang pernah melakukan penelitian dengan membandingkan seks dan jenjang pendidikan di beberapa negara, hasilnya mereka menyimpulkan:


Tabel 1.1

Keanggotaan Organisasi Sukarela dilihat dari Seks dan Pendidikan


Karakteristik

AS

Inggris

Jerman

Italia

Meksiko

%

%

%

%

%

Pria

68

66

66

41

43

Wanita

47

30

24

19

15

Pendidikan dasar atau kurang

46

41

41

25

21

Sedikit pendidikan lanjutan

55

55

63

37

39

Sedikit pendidikan universitas

80

92

62

46

68

Sumber : Almond dan Verba, 1963


Kesimpulan dari kajian Almond dan Verba (1963) ini tampak bahwa; pria lebih cenderung menjadi anggota organisasi sukarela daripada perempuan, dan partisipasinya bertambah dengan pertambahan pendidikan. Almond dan Verba (1963) juga mencatat bahwa; status pekerjaan yang lebih tinggi pada umumnya melibatkan keanggotaan asosiasi sukarela, walaupun hubungannya tidak seerat antara pendidikan dan afiliasi.

Asumsi konservatif yang diungkap oleh Almond dan Verba (1963), Russett (1964) serta Rush dan Althoff (1983) ini yang menjelaskan bahwa partisipasi politik sangat tergantung pada status sosial ekonomi sebagaimana dikutip di atas telah dipatahkan dalam kasus perempuan buruh pabrik garmen PT. Tongkyung Makmur Abadi di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Jakarta. Hasil penelitian disertasi Nurul Aini1 (61) ini memperlihatkan adanya partisipasi otonom dari buruh yang umumnya berstatus sosial ekonomi rendah. Menurut Nurul Aini dalam disertasi doktornya, mengatakan bahwa partisipasi politik muncul karena tekanan dan perlakuan tidak adil yang terus-menerus diterima dari pengusaha dan dilandasi kesadaran akan hak-hak yang harus diperjuangkan.

Bila asumsi hasil penelitian Nurul Aini itu benar maka kajian ini telah merontokkan asumsi konservatif lama tentang partisipasi politik yang selalu mengkaitkan dengan domisili desa-kota dan tinggi-rendahnya status sosial ekonomi.

Kemudian bila berbicara masalah partisipasi politik, partisipasi politik dapat diartikan sebagai keterlibatan (involvement) terhadap kehidupan politik yang diwujudkan dalam bentuk tindakan (action) dan dilakukan secara sukarela (voluntary). Dalam studi partisipasi politik, partisipasi politik juga seringkali didefinisikan sebagai tindakan —bukan keyakinan atau sikap— warganegara biasa, bukan elite politik, untuk mempengaruhi keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik, bukan suatu kelompok masyarakat keagamaan tertentu, dan dilakukan secara sukarela, bukan dipaksa.

Partisipasi politik bukanlah sejenis kepercayaan atau keimanan, tapi juga bukan sikap seseorang terhadap sesuatu. Partisipasi politik membutuhkan tindakan individu. Ia telah mencapai pada level psikomotorik seseorang yang diwujudkan dengan perbuatan, bukan lagi pada level kognitif dan afektif. Kemudian secara sederhana, jenis partisipasi politik terbagi menjadi dua:

  1. Partisipasi secara konvensional di mana prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga.

  2. Partisipasi secara non-konvensional. Artinya, prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang melakukan partisipasi itu sendiri .

Jenis partisipasi yang pertama, terutama pemilu dan kampanye. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi konvensional warganegara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput.

Sementara bentuk partisipasi politik yang kedua biasanya terkait dengan aspirasi politik seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi demokrasi, dan karenanya, menyalurkannya melalui protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari protes sosial ini juga beragam, seperti memboikot, mogok, petisi, dialog, turun ke jalan, bahkan sampai merusak fasilitas umum. Selain itu, partisipasi politik dapat pula mengambil bentuk yang aktif dan yang pasif; tersusun mulai dari menduduki jabatan dalam organisasi sedemikian rupa, sampai kepada memberikan dukungan keuangan dengan jalan membayar sumbangan atau iuran keanggotaan. Kegiatan pemberian suara dapat dianggap sebagai bentuk partisipasi politik aktif paling kecil (lihat gambar 1.1), karena hal itu menuntut suatu keterlibatan minimal, yang akan berhenti jika pemberian suara telah terlaksana.

Selain membicarakan masalah partisipasi politik aktif, ada baiknya juga perlu dijelaskan macam-macam alasan mereka tidak ikut serta dalam kegiatan politik. Ketidakikutsertaan mereka ini, dapat disebabkan oleh alasan yang berbeda-beda. Penyebab ketidakikutsertaan mereka ini dapat disebabkan:

  1. Apati (masa bodoh), secara sederhana diartikan sebagai tidak punya minat atau perhatian terhadap orang lain, situasi atau gejala-gejala disekitarnya. Mengapa mereka memiliki sikap apatis, paling tidak ada 3 alasan pokok untuk menerangkan adanya apatis:

    1. Adanya konsekuensi yang ditanggung dari aktivitas politik. Hal ini dapat mengambil beberapa bentuk: individu dapat merasa, bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai aspek kehidupannya. Umpamanya; aktivitas politik yang ia ikuti dikuatirkan akan dapat mengancam eksistensi keluarganya; posisi sosialnya akan terganggu atau rusak dan lain sebagainya.

    2. Adanya anggapan aktivitas politik yang dilakukannya hanya akan sia-sia saja. Sebagai individu tunggal ia tidak mampu mempengaruhi iklim politik, ia merasa bahwa kekuatan politik selalu berada di luar kontrol dirinya sehingga apapun yang ia lakukan dianggap hanya akan sia-sia saja.

    3. Kehidupan politik dianggap kurang begitu memuaskan, partisipasi politik dianggap sebagai hasil yang sama sekali tidak layak bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan kebutuhan materinya.

  2. Sinisme, seperti halnya apati, meliputi kepasifan dan ketidak aktifan relatif, merupakan satu sikap yang dapat diterapkan baik pada aktivitas maupun ketidak aktifan. Secara politis sinisme menampilkan diri dalam bentuk; perasaan bahwa politik itu kotor, menjadi politisi itu tidak dapat dipercaya dan lain sebagainya.

  3. Alienasi politik sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berfikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa, yang dilakukan oleh orang lain untuk orang-orang lain, mengikuti sekumpulan aturan-aturan yang tidak adil. Dianggapanyalah bahwa kegiatan politik yang dilakukan oleh penguasa hanya menguntungkan mereka saja, tetapi tidak bagi dirinya.

  4. Anomie, perasaan kehilangan nilai dan ketiadaan arah, dalam mana individu mengalami perasaan ketidak efektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak perduli yang mengakibatkan devaluasi daripada tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.


3. Kegunaan partisipasi politik dalam kehidupan sehari-hari

Khusus di bidang politik, masih ada anggapan bahwa dunia politik itu identik dengan dunia maskulin dan penuh intrik. Anggapan ini muncul akibat adanya “image“ yang tidak sepenuhnya tepat tentang kehidupan politik; yaitu bahwa politik itu kotor, keras, penuh intrik, dan semacamnya, yang diidentikkan dengan karakteristik laki-laki. Selain itu pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik juga cenderung masih rendah. Akibatnya, jumlah masyarakat yang terjun di dunia politik kecil, termasuk di negara-negara yang tingkat demokrasinya dan persamaan hak asasinya cukup tinggi. Sebenarnya partisipasi politik masyarakat sangat penting berkaitan dengan:

  1. Partisipasi politik masyarakat dapat diarahkan untuk mengubah keputusan-keputusan penguasa, juga menggantikan atau bahkan mempertahankan suatu kekuasaan.

  2. Dalam bentuk institusi, partisipasi politik dapat diarahkan untuk mengubah ataupun mempertahankan organisasi sistem politik yang sudah ada, beserta aturan-aturan permainan politiknya.

Selain apa yang dijelaskan di atas, ada beberapa faktor Pendukung dan Penghambat Terhadap Peran Partai Politik dalam Peningkatan Partisipasi politik Masyarakat. Faktor-faktor pendukung bagi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat antara lain yang terpenting adalah:

  1. Masih diterimanya Pancasila serta pembukaan UUD 1945 dan keinginan untuk mengamandemen UUD 1945 merupakan wujud kesadaran berpolitik yang berakar kepada demokratisasi;

  2. Masih berjalan dan kuatnya struktur politik dengan semakin mantapnya kearah demokratisasi;

  3. Makin tingginya kesadaran politik masyarakat, ditunjukkan dengan pelaksanaan pemilu yang berlangsung aman, langsung, umum, bebas dan rahasia; dan

  4. Masih tingginya atensi politik terhadap penyelenggaraan kepemimpinan nasional, menunjukkan sikap mengarah kedewasaan berpolitik.

Faktor-faktor penghambat bagi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat antara lain yang terpenting adalah:

  1. Masih kurang ditaatinya peraturan, perundangan tentang mengeluarkan pendapat dan berkumpul serta masih diragukannya RUU KKN walaupun sudah diperbaiki dan disempurnakan;

  2. Kurangnya dilaksanakan dalam sikap dan tindakan yang lebih mengutamakan kepentingna nasional, dapat mengakibatkan melesetnya arah ketujuan nasional;

  3. Proses demokrasi dengan partai yang sangat banyak dapat memungkinkan lambatnya proses politik;

  4. Kemenangan pro kemerdekaan di Timor Timor menyebabkan suhu politik semakin hangat, ditambah masalah Aceh dan Ambon yang belum tuntas menyebabkan elit politik menggunakan suasana tersebut untuk mendapatkan keuntungan bukan justru memecahkan permasalahan;

  5. Masih adanya ide sparatis yang justru timbul pada saat situasi politik dan ekonomi lemah, serta dihadapkannya TNI dan Polri dalam front politik serta keamanan yang sangat luas.

Sedangkan faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat dapat diidentifikasikan antara lain:

  1. Faktor Sosial Ekonomi ; Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.

  2. Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :

    1. Komunikasi Politik, antara pemerintah (parpol) dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika

    2. Kesadaran Politik, menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan.

    3. Pengetahuan Masyarakat terhadap Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan akan menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil

    4. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik. Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan tertentu. Kontrol untuk mencegah dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik, kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik, memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat, untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan mengenai pembangunan politik .

  3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan Faktor fisik individu sebagai sumber kehidupan termasuk fasilitas serta ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaganya.

  4. Faktor Budaya, Budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, etika politik maupun teknik penerapannya. Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.


4. PENUTUP.

Beberapa permasalahan penting yang sekiranya dapat diangkat sebagai suatu deskripsi indikatif yang merupakan titik-titik tegas dari keseluruhan substansi yang dibahas antara lain adalah:

  1. Peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat khususnya peran sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen, dan sarana pengatur konflik masih belum optimal. Dalam rangka untuk mengoptimalkan peran partai politik tersebut telah disampaikan konsepsi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat, antara lain melalui pembangunan sistem kehidupan yang demokratis dan stabil yang dijabarkan dalam strategi pengembangan partisipasi politik masyarakat dan pembenahan mekanisme hubungan antar komponen dalam sistem politik; dan dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk upaya restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi partai politik dan berbagai aspek yang terkait.

  2. Untuk menjamin berjalannya peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat secara optimal, diperlukan keselarasan dan keseimbangan hubungan antar kekuatan sosial politik dan keseimbangan serta keselarasan peran partai politik itu sendiri baik sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, maupun sebagai sarana pengatur konflik. Hal yang terakhir ini perlu digaris bawahi karena keempat peran tersebut pada hakikatnya saling terkait dan bersifat saling mendukung satu dengan yang lain.

  3. Prospek perkembangan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat sangat tergantung pada kondisi politik secara makro dan tingkat kedewasaan elit politik dalam memainkan perannya sebagai penggerak dan pengorganisasi komponen komponen politik dan kemasyarakatan. Tingkat kesadaran politik rakyat yang sudah cukup tinggi yang terrefleksi dari keberhasilan dalam pelaksanaan Pemilu secara jurdil, luber, dan aman; tidak boleh diposisikan pada situasi yang justru mengakibatkan berbaliknya ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik. Sebab hal itu akan sangat menyulitkan dalam upaya peningkatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat.

  4. Dalam rangka penguatan peran partai politik untuk peningkatan partisipasi politik masyarakat, harus didahului atau terlebih dahulu harus diberdayakan partai politik itu sendiri dalam kancah percaturan politik nasional dengan menempatkannya pada posisi yang kuat dan memiliki daya tawar yang cukup memadai. Caranya adalah dengan restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi partai politik baik yang menyangkut struktur, mekanisme, budayanya, serta kapasitasnya dalam melakukan fungsinya sebagai saluran komunikasi politik.


Daftar Rujukan.

Arbi Sanit, Ormas dan Politik, Lembaga Studi Informasi dan Pembangunan, Jakarta, 1995

Bruce M Russett, et al. World Bank Hand Book of Political and Social Indication, New Haven, Conn, 1964.

Gabriel A. Almond dan Sydney Verba, The Civic Culture, Princeton, 1963

Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, alih bahasa Kartini Kartono, CV Rajawali Jakarta, 1983

Morris Rosenberg, Some Determinant of Political Apathy, Public Opinion Quarterly, 1954 349-366

Samuel P Huntington dan Joan M.Nelson, Partisipasi Politik Tak Ada Pilihan Mudah, PT. Sangkala Pulsar, Jakarta, tanpa tahun.


1 Anonim, Status Sosial Ekonomi Tidak Pengaruhi Partisipasi Politik, Harian Kompas 2 Agustus 2002