Kamis, Juli 24, 2008

Hak Cuti Haid Buruh Perempuan

Oleh: Achmad Hidir

1. Fenomena Haid.

Seks secara fisik biologis antara perempuan dan laki-laki memang berbeda. Paling tidak, peralihan masa pubertas antara laki-laki dan perempuan dialami oleh masing-masing individu dengan cara dan pola yang berbeda. Laki-laki ditandai dengan adanya mimpi basah (wet dream) yang nyaris tidak ada perubahan dan kecemasan yang berarti secara psikologis bagi individu si laki-laki, dan itupun terjadi hanya beberapa menit saja di dalam mimpinya. Selanjutnya, kejadian itupun tidak akan pernah diketahui oleh orang lain, sepanjang individu si laki-laki itu tidak bercerita tentang pengalamannya itu.

Berbeda dengan perempuan, terjadinya peralihan dari masa prapubertas ke masa pubertas dalam diri individu perempuan diawali dengan perubahan fisik yang sangat jelas dengan ditandai adanya menstruasi pertama yang berlangsung selama beberapa hari dan secara fisik biasanya akan diketahui pula oleh orang lain, terutama ibunya yang biasanya turut membantu dan memberi pengarahan tentang proses penanganan masalah tersebut.

Anak perempuan yang mengalami manarche biasanya mengalami kecemasan dan malu terhadap lingkungan sekitarnya terutama keluarganya yang mengetahui dirinya telah mengalami menstruasi. Oleh sebab itu, banyak anak perempuan yang mengalami manarche biasanya mengurung diri di rumah karena malu tentang perubahan dalam dirinya.

Dengan demikian, paling tidak, secara umum peralihan masa prapubertas ke masa pubertas dalam diri individu laki-laki tidak secemas dalam diri individu perempuan. Buktinya, dalam banyak budaya tradisional peralihan masa prapubertas ke pubertas yang dialami kaum perempuan yang ditandai dengan manarche itu seringkali diadakan ritus peralihan (inisiasi).

Upacara ini dianggap sebagai wujud pendewasaan kaum perempuan, namun adapula anggapan dalam budaya tertentu seperti yang terjadi di beberapa suku di daratan Afrika dan Papua yang menganggap bahwa perempuan yang mengalami manarche harus diasingkan karena dapat dianggap pembawa malapetaka bagi kelompoknya. Oleh sebab itu selama dalam pengasingannya, mereka tidak boleh bertemu dengan kelompoknya sebelum upacara ritual penolak bala selesai. Konon dalam budaya lain seperti yang terjadi si Kepulauan Samoa, seorang perempuan yang beranjak dewasa harus merelakan tubuhnya untuk dirajah (tatoo) atau bahkan di Bali sekalipun dahulu seorang perempuan yang beranjak dewasa wajib mengikir giginya sebagai ritus peralihan dari masa prapubertas ke alam kedewasaan yang baru.

Ritus peralihan yang dialami individu perempuan secara nyata dalam banyak budaya terkadang memang lebih rumit daripada yang dialami kaum laki-laki. Dan dalam sejarahnya proses siklus reproduksi dalam diri perempuan itu selalu dipenuhi dengan mitos dan tabu yang terkadang banyak mengekang kebebasan diri perempuan. Hasil penelitian Hidir (2001) tentang mitos dan tabu hamil di kalangan masyarakat Melayu Kuantan Singingi menunjukkan bahwa akibat praktek tabu dan mitos yang mereka jalankan banyak perempuan miskin pedesaan mengalami malnutrisi.

2. Cuti Haid.

Dalam perjalanannya siklus reproduksi kaum perempuan ternyata cukup panjang dan rumit. Seperti yang telah dipaparkan di atas, di mulai dari masa pra pubertas, pubertas, menarche, reproduksi, pra menopause, menopause, pasca menopause, ooforopause, prasenium dan senium. Siklus yang demikian rumit ini dianggap sebagai kodrat perempuan sehingga semua fase siklus itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja tidak ada sesuatu yang aneh. Oleh karena dianggap sebagai sesuatu yang wajar, maka fenomena cuti haid dan hamil seringkali dalam konteks pekerjaan perempuan dianggap tidak ada.

Bahkan bila merujuk pada Peraturan Pemerintah tentang Ketentuan Pegawai Negeri, yaitu ketentuan untuk cuti haid tidak dinyatakan secara eksplisit dan hanya untuk cuti hamil saja yang dinyatakan secara jelas yang dapat mencapai 3 bulan lamanya. Sementara untuk cuti haid paling hanya dinyatakan sebagai ijin sakit saja. Apalagi dalam praktek dunia industri yang mempekerjakan perempuan hampir sama sekali tidak disentuh tentang siklus haid ini bagi kaum perempuan.

Sebenarnya untuk kalangan industri dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1951 pasal 13, dinyatakan : buruh wanita tidak diwajibkan bekerja pada hari pertama dan hari kedua pada waktu haid. Dalam pelaksanaan cuti ini pihak perusahaan harus tetap membayar gaji buruh tanpa harus memotong upah dari akibat ketidakhadirannya bekerja. Namun dalam prakteknya Undang-Undang No.1 Tahun 1951 ini tidak pernah berjalan karena pihak industri selalu mengedepankan kerja yang efektif dan efisien. Apalagi dalam masa sekarang haid sudah tidak dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu aktivitas kaum perempuan, karena bisa diatasi dengan berbagai alat bantu (Helida Heirani,1997).

Pada hal kaum perempuan yang bekerja sebagai buruh umumnya dalam posisi yang sangat lemah, mereka tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang hak-haknya. Apalagi kaum perempuan yang bekerja di sektor industri lebih banyak yang berstatus pekerja harian atau borongan, sehingga hak-hak mereka menjadi terabaikan. Sebagai ilustrasi, masih menurut Heirani (1997) bahwa buruh industri pabrik rokok yang menggunakan hak cuti haid tidak sampai 5 %, selebihnya mereka tidak mau menggunakan haknya tersebut. Ini disebabkan adanya ketakutan dari mereka sendiri untuk merasa malu menyampaikan tentang siklus bulanan yang mereka alami. Apalagi ada anggapan bahwa haid adalah tabu untuk dibicarakan dengan orang lain.

Konsekuensinya, buruh perempuan dengan segala resikonya mereka tetap bekerja dalam kondisi sedang haid. Pada hal menurut Kartini Kartono (1987) masalah haid pada kaum perempuan tidak selamanya membawa akibat positif, bahkan seringkali haid disertai dengan keluhan lain seperti; strees, mual, pusing dan emosional.

Selain kurangnya perhatian pihak perusahaan pada hak-hak buruh perempuan, juga seringkali pihak perusahaan kurang mengindahkan kepentingan umum buruh perempuan. Seperti misalnya untuk kasus industri plywood di daerah Riau yang banyak memperkerjakan ribuan buruh perempuan, ternyata jumlah kamar kecil yang tersedia tidak seimbang dengan jumlah kebutuhan pekerja. Hal ini tentunya menyulitkan bagi mereka dalam mengantisipasi segala sesuatu yang terjadi dengan siklus reproduksinya. Pada hal dalam proses buang hajat dan antisipasi siklus reproduksi antara buruh perempuan dan laki-laki jelas berbeda kebutuhannya. Bagi buruh laki-laki kondisi seperti itu nyaris tidak akan banyak mengalami kesulitan, sementara untuk buruh perempuan kurangnya kamar kecil yang tersedia menjadi hambatan dalam banyak hal.

Adanya Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) yang dibentuk oleh serikat pekerja dengan pihak perusahaan yang bertujuan untuk melindungi hak-hak pekerja terutama buruh perempuan dari hasil Konvensi ILO yang diratifikasi Depnaker, sebenarnya telah memuat esensi hak-hak reproduksi kaum perempuan. Di dalam KKB itu, secara nyata diberikan hak cuti haid, hamil dan cuti sakit untuk seluruh pekerja. Namun kenyataannya, pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Apalagi kaum buruh perempuan umumnya hanya bekerja sebagai pekerja unskill labour yang nota bene berpendidikan rendah, sehingga mereka tidak mengetahui tentang hak-haknya. Mereka sudah cukup puas dengan keadaan serupa itu, sehingga tuntutan ke arah itu tidak pernah terfikirkan oleh mereka.


Malang, 21 September 2003


Minggu, Juli 20, 2008

TREN BUNUH DIRI DALAM MASYARAKAT KITA


1. Gejala Bunuh Diri.

Menurut laporan untuk tahun 2000 telah terjadi 520.000 kasus pembunuhan. Dari jumlah itu laki-laki yang terbunuh jumlahnya mencapai 70 %, dan yang tertinggi berada dalam kategori usia 15-29 tahun. Sedangkan angka bunuh diri dalam tahun yang sama berjumlah 815.000 kasus dari jumlah inipun diketahui 60 % adalah berkelamin laki-laki dalam rentangan usia 15- 44 tahun. Sedang untuk kasus bunuh diri kaum perempuan juga mengalami peningkatan, namun kaum laki-laki lebih dominan. (Kompas 18 November 2002).

Dengan demikian angka bunuh diri lebih tinggi daripada angka kasus pembunuhan. Dan harus diakui bahwa fenomena bunuh itu ibarat bola salju dan gunung es. Artinya, semakin lama semakin banyak dan besar sementara jumlah yang berhasil dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah kasus yang terjadi. Asumsi ini dapat kita cermati dari amatan akhir-akhir ini di mana hampir setiap media massa dalam rubrik kriminalitasnya selalu muncul berita tentang kasus-kasus bunuh diri. Tampaknya fenomena bunuh diri dalam masyarakat kita kini kian menggejala saja dengan berbagai macam modus dan bentuknya. Pola bunuh diri yang dilakukan oleh masyarakat cukup bervariasi, mulai dari yang minum racun serangga, loncat dari gedung yang tinggi hingga pola yang paling umum dilakukan seperti gantung diri.

Fenomena ini menjadi paradok di tengah maraknya kontroversi tentang penerapan perlu tidaknya hukuman mati dilakukan terhadap terpidana mati, di mana banyak kalangan yang kontra terhadap penerapan sanksi hukuman seperti ini karena dianggap sebagai pengekangan terhadap hak hidup manusia. Tetapi justru ironinya dalam masyarakat kita banyak terjadi kasus bunuh diri ?. Bahkan kasus bunuh diri dalam masyarakat kita akhir-akhir ini tampaknya sudah semakin menggejala dan menunjukkan ke arah peningkatan !.

Buktinya, indikasi ini dapat diamati dari laporan buku “ Mayat Luar “ milik Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo Jakarta hingga akhir februari 2003 lalu di mana tercatat ada 17 mayat dari luar yang dikirim ke rumah sakit untuk divisum dengan gejala kematian akibat bunuh diri. Dari laporan itu, usia mereka yang teridentifikasi sebagai pelaku bunuh diri tidak mengenal istilah tua atau muda baik berkelamin laki-laki atau perempuan. Karena dari beberapa mayat yang dikirim itu ada seorang perempuan tua berumur 62 tahun dan gadis muda berumur 16 tahun (Kompas 3 Maret 2003).


KASUS BUNUH DIRI DI JABOTABEK SELAMA JANUARI-MARET 2003

No

Tanggal

Kasus


Indikasi kematian

Indikasi Penyebab

1.

12 Januari

Yayan (53 thn) Tangerang

Gantung diri

Tekanan ekonomi

2.

21 Januari

Rojana (17 thn) Cipondoh

Gantung diri

Malu atas ulah pamannya terhadap temannya sesama baby sitter

3.

9 Februari

Johan Darmawan (35 thn) Tangerang

-

Bunuh diri karena burung kesayangannya mati

4.

13 Februari

Slamet (65 thn) Tangerang

Gantung diri

Cemburu pada istrinya

5.

26 Februari

Ajun Malik (50 thn)

Gantung diri

Tekanan ekonomi

6.

16 Maret

Helen (24 thn) Tangerang

Gantung diri

Sering cekcok dan cemburu pada suami

7.

17 Maret

Indra (32 thn) Depok

Gantung diri

Tekanan ekonomi karena terbelit utang

8.

29 Maret

Agung Ali Bani (22 thn) Jakarta

Gantung diri

Tidak ada data penyebab

9.

13 April

Maryam (18 thn) Jakarta

Gantung diri

Mendapat kabar ibunya sakit

10.

15 April

Nawawi (41 thn) Jakarta

Gantung diri

Diduga karena ditanyai soal gaji oleh istrinya

11.

17 April

Sugiharto (53 thn) Bogor

Gantung diri

Tekanan ekonomi dan terbelit utang

12.

19 April

Edi Mustofa (18 thn) Jakarta

Gantung diri

Cinta ditolak

13.

28 April

Botang (63 thn) Depok

Gantung diri

Dilarang ke empat anaknya untuk jual tanahnya untuk biaya nikah lagi

Sumber : Diolah dari Harian Kompas Januari- Mei 2003

Data di atas memang hanya melaporkan kasus yang terjadi di wilayah Jabotabek saja, tetapi sebenarnya kalau kita simak dari laporan media massa lokal ternyata kasus bunuh diri tidak hanya terjadi di Jabotabek saja. Misalnya harian Jawa Pos Surabaya dan Suara Merdeka Jawa Tengah juga melaporkan terjadinya kasus-kasus bunuh diri di daerahnya.


2. Pola Bunuh Diri.

Dilaporkan lagi, bahwa angka bunuh diri saat ini tertinggi memang terjadi di kawasan konflik seperti di kawasan Timur Tengah (Palestina), namun bunuh diri yang mereka lakukan meminjam istilah Durkheim cenderung lebih bersifat altruisme ketimbang kasus yang terjadi di Indonesia yang lebih bersifat individual.

Bila demikian halnya, sebenarnya apa yang tengah terjadi di dalam masyakat kita ini ?. Mengapa mereka dengan mudah mengakhiri kehidupan ini ?. Pada hal hidup ini sebenarnya menurut sebagian orang adalah sesuatu kenikmatan. Buktinya banyak orang dengan rela menghamburkan banyak uang dengan tujuan mencari berbagai bentuk pengobatan sebagai alternatif untuk memperpanjang usia hidupnya. Tetapi di pihak lain justru ada sebagian lain dari mereka yang nyata-nyata sehat secara fisik tetapi justru mereka tidak mau hidup lebih lama. Mereka bunuh diri !! .

Sebenarnya untuk menganalisis gejala bunuh diri, ada banyak pendapat. Misalnya menurut seorang ahli psikologi klinis dari Universitas Indonesia Kristi Poerwandari, menjelaskan untuk menelaah kenapa seseorang melakukan bunuh diri. Menurutnya minimal harus memenuhi dua syarat, pertama adanya faktor pendahulu yang mempengaruhi seseorang melakukan percobaan bunuh diri, dan kedua adanya faktor pencetus dan situasi yang mendorong seseorang melakukan bunuh diri.

Faktor pendorong orang melakukan bunuh diri ini dianggap paling banyak mempengaruhi perilaku seseorang untuk melakukan bunuh diri. Apalagi menurut Ronny Nitibaskara seorang kriminolog yang sama dari Universitas Indonesia mengatakan bila faktor pendorong yang dimiliki seseorang itu tidak didukung dengan penguasaan eksternal yang kuat, maka perilaku ini akan mendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri.

Walaupun sejauh ini dan apapun alasannya, seseorang itu melakukan bunuh diri memang sulit dicari penyebabnya. Namun paling tidak sebagian orang yang telah melakukan bunuh diri, seringkali meninggalkan catatan kecil atau semacam surat terakhir untuk orang yang ditinggalkannya yang memberikan kesan tentang suatu masalah yang dia hadapi sebagai penyebab mereka memutuskan pergi meninggal dunia fana ini. Catatan-catatan kecil itu, hampir semuanya menjelaskan bahwa mereka memutuskan untuk bunuh diri lebih disebabkan oleh faktor ekonomi, kisah asmara dan keluarga.

Fenomena ini sebenarnya pernah dicermati oleh seorang ahli sosiologi Perancis bernama Durkheim dalam bukunya Suicide. Durkheim menganalisa bahwa faktor solidaritas sangat terkait dengan kecendrungan seseorang melakukan bunuh diri. Analisa Durkheim secara implisit, menjelaskan bahwa solidaritas sosial terkait dengan faktor ekonomi dan keluarga. Sebab kekentalan nilai kohesif yang ada dalam setiap individu untuk berbagi rasa sangat mewarnai pilihan untuk melakukan bunuh diri. Durkheim membandingkan antara mereka yang kawin dengan yang tidak kawin, mereka yang memiliki anak dan yang tidak memiliki anak. Kesimpulannya bahwa keajegan hubungan sosial yang dibangun diantara mereka dapat mengurangi angka bunuh diri.

Sementara itu seorang antropolog Inggris James Frazer, mencoba memecahkan teka-teki bunuh diri ini dikaitkan dengan pemahaman religi. Teori Frazer tentang batas akal mencoba menjelaskan fenomena ini. Bahwa seseorang dalam kapasitas tertentu akan mencoba memecahkan setiap persoalan hidupnya dengan akal sehat (rasionalitas) nya. Namun batas akal seseorang ini memiliki batas toleransi, di mana bila himpitan persoalan seseorang itu telah mencapai puncaknya dan akal mereka sudah tidak mampu lagi mencerna, maka seseorang cenderung akan memecahkan persoalan hidupnya secara irasional melalui perantaraan religi.

Penguasaan religi seseorang itu menurut Frazer sangat relatif, maka ini kiranya yang dianggap sebagai penguasaan eksternal oleh Ronny Nitibaskara tadi yang menjelaskan bahwa seseorang itu jadi atau tidaknya melakukan bunuh diri. Pemahaman faktor eksternal yang kuat, dalam hal ini religi dapat menekan perilaku bunuh diri. Dengan demikian religi di sini memiliki fungsi sebagai peredam kegalauan dan kegundahan hati manusia. Maka menurut Frazer seseorang yang cukup kuat penguasaan religinya, mereka akan menyikapi segala persoalan hidupnya dengan sikap mental positif dan adanya rasa kepasrahan (tawakal). Namun mereka yang tidak mampu memecahkan masalah hidupnya dan penguasaan religinya juga rendah, cenderung untuk mengambil jalan pintas dengan jalan bunuh diri.

Terlepas dari berbagai argumen teoretis itu, tampaknya gejala bunuh diri di Indonesia menunjukkan grafik kenaikan. Kondisi ini bila dilihat secara ekonomi sekarang ini memang tidak kondusif untuk sebagian masyarakat. Tingginya angka pengangguran, kenaikan sejumlah harga kebutuhan pokok, kemiskinan, bencana alam, dan konflik horizontal, telah menyebabkan sebagian dari masyarakat kita mengalami kesulitan hidup. Bahkan angka depresi dan potensi stress bagi sebagian masyarakat ibukota justru kinipun menunjukkan ke arah peningkatan. Hal ini mungkin dianggap sebagai pendorong untuk seseorang melakukan berbagai perilaku menyimpang. Maka konsekuensinya angka kriminalitas seperti pencurian, perampokan, dan pembunuhan menjadi semakin tinggi. Pilihan-pilihan perilaku kriminalitas yang dilakukan sebagian orang ini bisa jadi disebabkan hanya untuk tetap survive dalam persaingan yang tidak seimbang. Karena untuk memasuki dunia formal dalam pemenuhan ekonomi keluarga bagi sebagian masyarakat krannya sudah tertutup. Tertutup oleh hambatan struktural dan kultural yang dibangun oleh masyarakat sendiri.

Di pihak lain, bagi mereka yang tidak mampu berusaha survival dan melakukan penyimpangan perilaku ditambah memiliki penguasaan eksternal yang rendah maka pilihan bunuh diri adalah yang paling mudah untuk mereka lakukan. Karena dengan bunuh diri dianggap persoalan hidup yang kurang menguntungkan bagi dirinya terselesaikan. Maka jadi wajar bila angka bunuh diri semakin meningkat di tengah alam ekonomi dan belenggu kemiskinan banyak memihak pada kaum yang mudah putus asa karena penguasaan eksternalnya lemah.

Malang, 11 November 2003






Entri Populer

MARI BERGABUNG DAN DISKUSI YUK !!!

BAGI PENCINTA DAN PEMINAT SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI BOLEH MENGUTIP POSTING DI SINI. ASALKAN MENYEBUTKAN SUMBERNYA YA !!!

APA KOMENTAR ANDA DENGAN BLOG INI ?


Perkenalan

Suka duka jadi seorang antropolog lebih banyak sukanya, karena lebih banyak mengenal masyarakat dengan berbagai karakteristik dan keragaman mereka.


Siapa bilang mereka adalah masyarakat bodoh .......mereka justru adalah masyarakat yang pintar, arif terhadap lingkungan dan taat dalam menjalankan norma adat mereka.

Bekal ini digunakan untuk menyebarluaskan kearifan mereka di tengah masyarakat modern, yang katanya paling hebat. Tapi nyatanya.........???????

Potret Masyarakat Pesisir

Potret Masyarakat Pesisir

Pembangunan PLB

Pembangunan PLB

PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP POLITIK

1. Pengantar

Sejarah perkembangan partisipasi dan partai politik di Indonesia sangat mewarnai perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal ini sangat mudah dipahami, karena partai politik dan partisipasi politik merupakan gambaran wajah peran rakyat dalam percaturan politik nasional atau dengan kata lain merupakan cerminan tingkat partisipasi politik masyarakat. Romantika kehidupan partai politik sejak kemerdekaan, ditandai dengan bermunculannya banyak partai (multi partai). Secara teoritikal, makin banyak partai politik memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkan kewajibannya sebagai warga negara. Banyaknya alternatif pilihan dan meluasnya ruang gerak partisipasi rakyat memberikan indikasi yang kuat bahwa sistem pemerintahan di tangan rakyat sangat mungkin untuk diwujudkan. Sebagaimana diketahui bahwa konflik memang sangat diperlukan untuk menumbuhkan kompetisi antarkontestan dan sekaligus menarik motivasi masing masing untuk melakukan koreksi, berbenah diri, dan mengejar ketinggalan dalam rangka memenangkan persaingan dalam merebut hati rakyat.

Pada gilirannya akan terjadi proses belajar dan proses pertumbuhan secara terus menerus menuju kearah lebih maju, lebih baik, dan lebih mensejahterakan rakyat. Namun bila kepentingan-kepentingan cenderung bersifat divergen dan kesadaran politik serta toleransi politik belum cukup memadai, maka banyaknya partai politik bisa menimbulkan keadaan makin meruncingnya perbedaan dan memperparah keruwetan, yang berimplikasi pada sulitnya manajemen politik untuk memelihara konflik pada tingkatan yang optimal. Dengan premis seperti itulah, maka pemerintah orde baru merasakan perlu untuk mereduksi partai politik agar menjurus ke dalam bentuknya yang lebih sederhana. Menurut jalan pemikirannya, tujuan yang ingin dicapai adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi makin berperannya partai politik di satu segi dan makin mudahnya pengendalian konflik dikala mencapai tingkatan yang dianggap membahayakan persatuan dan mengganggu jalannya pembangunan nasional pada segi yang lain. Oleh karena itulah, maka kemudian berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1975, partai politik yang semula jumlahnya cukup banyak direduksi menjadi tiga kekuatan politik saja, yaitu menjadi dua partai politik dan satu golongan karya (Golkar).

Patut diduga sebelumnya, bahwa rupanya upaya penyederhanaan partai politik lebih berat perkembangannya pada pengendalian konflik yang makin lama makin ketat dan melampaui batas toleransi yang sewajarnya bagi perkembangan partai politik. Pemerintah, terutama eksekutif makin kuat secara berlebihan dan partai politik makin lemah kekuasaannya sampai pada posisi yang tidak berdaya. Dalam kondisi seperti ini, jangankan dapat memainkan perannya untuk peningkatan partisipasi politik masyarakat, untuk bertahan hidup saja barangkali harus dengan bantuan pihak lain yang lebih memiliki kekuasaan. Implikasi selanjutnya, mudah diterka bahwa masyarakat dan rakyat tidak berdaya di satu sisi, dan kolusi, korupsi, dan nepotisme negatif merajalela tanpa hambatan dan makin lama makin tak terkendali.

Menyadari keadaan yang sangat distruktif bagi perkembangan negara dan bangsa, maka lahirlah gerakan reformasi yang tujuannya tidak lain untuk menghambat dan menghentikan proses dan praktik-praktik yang distruktif dan menggantinya dengan tatanan, proses, dan praktik-praktik yang konstruktif bagi perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara. Selanjutnya gerakan reformasi berubah bentuknya secara lebih sistematik menjadi agenda nasional. Sejalan dengan upaya reformasi yang merupakan agenda nasional yang kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Undang- undang No. 3 Tahun 1999, kehidupan kepartaian berubah kembali dengan kehidupan multi partai dan telah melahirkan 147 partai politik. Dengan mencermati uraian tersebut di atas, sangat mudah dimengerti bahwa ternyata sepak terjang peran partai politik sejak kemerdekaan sampai saat ini mengalami pasang dan surut dalam pembangunan bangsa khususnya peningkatan partisipasi politik masyarakat di dalam segenap aspek kehidupan pembangunan nasional. Peran partai politik yang bersifat pasang surut tersebut terutama dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat terlihat dalam pasang surutnya peran sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutment politik, dan sarana pengaturan konflik; karena keempat peran itu diambil alih oleh pemerintah khususnya eksekutif yang didukung oleh legislatif dan yudikatif.


2. Konsep Partai dan Partisipasi Politik.

Sistem politik demokrasi modern adalah sistem demokrasi perwakilan yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan partai politik. Di negara demokrasi, partai politik adalah suatu keniscayaan karena berkaitan erat dengan kemunculan lembaga-lembaga perwakilan sebagai sarana politik untuk mewujudkan aspirasi rakyat. Prinsip pemerintahan demokrasi, yakni "oleh rakyat" diwujudkan dengan adanya partai politik dan "dari rakyat" dapat diukur dari hasil pemilihan umum yang bersifat umum, langsung, bebas, rahasia, dan adil. Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan tentang kemunculan partai politik.

  1. Teori kelembagaan. Teori itu menyatakan bahwa munculnya partai politik karena dibentuk oleh kalangan legislatif untuk mengadakan kontak dengan masyarakat.

  2. Teori situasi historis yang menyatakan bahwa adanya partai politik sebagai jawaban untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan oleh perubahan masyarakat secara luas berupa krisis legitimasi, integrasi, dan partisipasi.

  3. Teori pembangunan yang mengungkapkan bahwa kelahiran partai politik merupakan hasil produk modernisasi sosial ekonomi.

Selanjutnya kemunculan partai politik setidaknya memiliki lima fungsi politik yang sangat penting.

  1. Sarana sosialisasi politik di mana partai melakukan kegiatan dalam proses pembentukan sikap dan orientasi politik masyarakat.

  2. Sarana komunikasi politik, yakni peran parpol sebagai agen penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah.

  3. Rekrutmen politik di mana parpol melakukan seleksi dan pengangkatan individu atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peran dalam sistem politik.

  4. Pengelola konflik. Yaitu parpol berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara-cara dialog, menampung, dan memadukan aspirasi maupun kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik.

  5. Artikulasi dan agregasi kepentingan politik di mana parpol memiliki peran penting dalam menyalurkan aspirasi dan kepentingan pemilihnya.

Sekarang masalahnya adalah; sejauhmanakah keterlibatan masyarakat dalam kegiatan partai politik ?. Dan bagaimana pula bentuk partisipasi politiknya ?.

Untuk kasus dewasa ini, memasuki lembaga legislatif mau-tidak mau harus melalui partai politik. Keterlibatan dalam partai politik adalah juga bentuk dari partisipasi politik. Berbicara tentang keterlibatan atau partisipasi politik, tentu saja kita tidak dapat menghindarkan diri dari diskusi tentang partisipasi politik menurut disiplin ilmu politik. Mely G. Tan (1992) dalam Yulfita (1995) membedakan partisipasi politik dalam dua aspek, yaitu dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit berupa keikutsertaan dalam politik praktis dan aktif dalam segala kegiatannya, sedangkan dalam arti luas, berupa keikutsertaan secara aktif dalam kegiatan yang mempunyai dampak kepada masyarakat luas, mempunyai kemampuan, kesempatan, dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang mendasar yang menyangkut kehidupan orang banyak. Budiardjo (1981) menyatakan partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memiliki pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah.

Kalau Huntington dijuluki sebagai bapaknya partisipasi politik, maka David Easton dapat pula dijuluki sebagai bapaknya teori sistem politik. Analisa teori sistem politik David Easton, memang paling mudah untuk dicermati - dalam kerangka sistem politik yang demokrasi, sebab alur pikirnya sangat sederhana, tetapi kegunaannya sangat luar biasa. Dalam teorinya yang sederhana, yakni ;

-->- input --> proses --> output -->-
|----------------------------------|
|
----------------------------------|
--<---------- Masyarakat ---------<--


Melihat proses tersebut di atas, dapat diasumsikan, seorang penguasa mengeluarkan (output) peraturan atau prundang-undangan, sampai di masyarakat, masyarakat bisa setuju atau sebaliknya tanggapanya (input), akan diproses kembali oleh sang penguasa untuk kemudian dikeluarkannya kembali peraturan yang dapat diterima oleh masyarakat. Dan demikian selanjutnya.

Dalam teori ini ada dua ciri pelaku partisipasi politik, yang membedakan seseorang berpartisipasi dalam politik, yakni :

  1. Yang dimobilisasikan

  2. Otonom
    Sikap politik pada kelompok pertama (yang dimobilisasikan), biasanya tampak orang tersebut sangat fanatik. Karena orang tersebut, hanya sok-sok an, sehingga yang ia tahu hanya berpihak, berpihak dan berpihak. Sedangkan strategi untuk memenangkannya - karena ia memang tidak paham, hanyalah melawan orang atau kelompok di luar dirinya, atau di luar kelompoknya.

Lain halnya dengan orang-orang yang mempunyai sikap otonom, biasanya mereka mengikutinya dengan seksama, menganalisanya, baik buruknya dari partai yang ingin ia dukung. Sehingga sikap otonom ini sangat sukar dipengaruhi untuk menjadi ugal-ugalan.

Pertanyaannya, siapakah diri Anda, apakah Anda kelompok pertama atau kedua?. Yang perlu kita ketahuai adalah, apakah kita sudah mempunyai kedewasaan berpolitik, atau belum?.

Khusus berkaitan dalam bidang partisipasi politik, menurut Rush dan Althoff (1983) untuk dapat melihat sejauhmana keikutsertaan seseorang dalam kegiatan politik dapat dilihat dari hierarki partisipasi politik yang dilakukannya. Hierarki partisipasi politik itu dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 1.1

Hierarki Partisipasi Politik



Menduduki Jabatan politik dan administratif



Mencari jabatan politik atau administratif



Keanggotaan aktif suatu organisasi politik



Keanggotaa pasif suatu organisasi politik



Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik



Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik



Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, kampanye dan sebagainya


Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum


Pemberian suara (voting)

Sumber: Rush dan Althoff, 1983


Masih menurut Rush dan Althoff (1983) hierarki partisipasi yang berupa tingkatan itu, bukanlah merupakan prasyarat bagi jenis partisipasi suatu tingkatan berikutnya, walaupun mungkin berlaku bagi tipe-tipe partisipasi tertentu. Kemudian dari skema itu tampak bahwa bila hierarki partisipasi politik semakin naik, maka semakin mengecil volumenya, ini artinya bahwa; jenis partisipasi semakin ke atas semakin sedikit jumlahnya untuk diikuti oleh setiap individu.

Kemudian selain itu, banyak teori dan pendapat dari para ahli politik dan sosial yang mengatakan; karakteristik sosial seseorang, seperti status sosial ekonomi, kelompok ras atau etnik, usia, seks dan agama, baik mereka hidup di kota atau di pedesaan, semuanya akan mempengaruhi partisipasi politiknya. Dengan demikian, faktor seks, pendidikan dan geografis (desa-kota) tampaknya juga sangat berpengaruh dalam bentuk partisipasi politik. Pendapat ini didukung oleh Almond dan Verba, yang pernah melakukan penelitian dengan membandingkan seks dan jenjang pendidikan di beberapa negara, hasilnya mereka menyimpulkan:


Tabel 1.1

Keanggotaan Organisasi Sukarela dilihat dari Seks dan Pendidikan


Karakteristik

AS

Inggris

Jerman

Italia

Meksiko

%

%

%

%

%

Pria

68

66

66

41

43

Wanita

47

30

24

19

15

Pendidikan dasar atau kurang

46

41

41

25

21

Sedikit pendidikan lanjutan

55

55

63

37

39

Sedikit pendidikan universitas

80

92

62

46

68

Sumber : Almond dan Verba, 1963


Kesimpulan dari kajian Almond dan Verba (1963) ini tampak bahwa; pria lebih cenderung menjadi anggota organisasi sukarela daripada perempuan, dan partisipasinya bertambah dengan pertambahan pendidikan. Almond dan Verba (1963) juga mencatat bahwa; status pekerjaan yang lebih tinggi pada umumnya melibatkan keanggotaan asosiasi sukarela, walaupun hubungannya tidak seerat antara pendidikan dan afiliasi.

Asumsi konservatif yang diungkap oleh Almond dan Verba (1963), Russett (1964) serta Rush dan Althoff (1983) ini yang menjelaskan bahwa partisipasi politik sangat tergantung pada status sosial ekonomi sebagaimana dikutip di atas telah dipatahkan dalam kasus perempuan buruh pabrik garmen PT. Tongkyung Makmur Abadi di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Jakarta. Hasil penelitian disertasi Nurul Aini1 (61) ini memperlihatkan adanya partisipasi otonom dari buruh yang umumnya berstatus sosial ekonomi rendah. Menurut Nurul Aini dalam disertasi doktornya, mengatakan bahwa partisipasi politik muncul karena tekanan dan perlakuan tidak adil yang terus-menerus diterima dari pengusaha dan dilandasi kesadaran akan hak-hak yang harus diperjuangkan.

Bila asumsi hasil penelitian Nurul Aini itu benar maka kajian ini telah merontokkan asumsi konservatif lama tentang partisipasi politik yang selalu mengkaitkan dengan domisili desa-kota dan tinggi-rendahnya status sosial ekonomi.

Kemudian bila berbicara masalah partisipasi politik, partisipasi politik dapat diartikan sebagai keterlibatan (involvement) terhadap kehidupan politik yang diwujudkan dalam bentuk tindakan (action) dan dilakukan secara sukarela (voluntary). Dalam studi partisipasi politik, partisipasi politik juga seringkali didefinisikan sebagai tindakan —bukan keyakinan atau sikap— warganegara biasa, bukan elite politik, untuk mempengaruhi keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik, bukan suatu kelompok masyarakat keagamaan tertentu, dan dilakukan secara sukarela, bukan dipaksa.

Partisipasi politik bukanlah sejenis kepercayaan atau keimanan, tapi juga bukan sikap seseorang terhadap sesuatu. Partisipasi politik membutuhkan tindakan individu. Ia telah mencapai pada level psikomotorik seseorang yang diwujudkan dengan perbuatan, bukan lagi pada level kognitif dan afektif. Kemudian secara sederhana, jenis partisipasi politik terbagi menjadi dua:

  1. Partisipasi secara konvensional di mana prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga.

  2. Partisipasi secara non-konvensional. Artinya, prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang melakukan partisipasi itu sendiri .

Jenis partisipasi yang pertama, terutama pemilu dan kampanye. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi konvensional warganegara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput.

Sementara bentuk partisipasi politik yang kedua biasanya terkait dengan aspirasi politik seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi demokrasi, dan karenanya, menyalurkannya melalui protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari protes sosial ini juga beragam, seperti memboikot, mogok, petisi, dialog, turun ke jalan, bahkan sampai merusak fasilitas umum. Selain itu, partisipasi politik dapat pula mengambil bentuk yang aktif dan yang pasif; tersusun mulai dari menduduki jabatan dalam organisasi sedemikian rupa, sampai kepada memberikan dukungan keuangan dengan jalan membayar sumbangan atau iuran keanggotaan. Kegiatan pemberian suara dapat dianggap sebagai bentuk partisipasi politik aktif paling kecil (lihat gambar 1.1), karena hal itu menuntut suatu keterlibatan minimal, yang akan berhenti jika pemberian suara telah terlaksana.

Selain membicarakan masalah partisipasi politik aktif, ada baiknya juga perlu dijelaskan macam-macam alasan mereka tidak ikut serta dalam kegiatan politik. Ketidakikutsertaan mereka ini, dapat disebabkan oleh alasan yang berbeda-beda. Penyebab ketidakikutsertaan mereka ini dapat disebabkan:

  1. Apati (masa bodoh), secara sederhana diartikan sebagai tidak punya minat atau perhatian terhadap orang lain, situasi atau gejala-gejala disekitarnya. Mengapa mereka memiliki sikap apatis, paling tidak ada 3 alasan pokok untuk menerangkan adanya apatis:

    1. Adanya konsekuensi yang ditanggung dari aktivitas politik. Hal ini dapat mengambil beberapa bentuk: individu dapat merasa, bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai aspek kehidupannya. Umpamanya; aktivitas politik yang ia ikuti dikuatirkan akan dapat mengancam eksistensi keluarganya; posisi sosialnya akan terganggu atau rusak dan lain sebagainya.

    2. Adanya anggapan aktivitas politik yang dilakukannya hanya akan sia-sia saja. Sebagai individu tunggal ia tidak mampu mempengaruhi iklim politik, ia merasa bahwa kekuatan politik selalu berada di luar kontrol dirinya sehingga apapun yang ia lakukan dianggap hanya akan sia-sia saja.

    3. Kehidupan politik dianggap kurang begitu memuaskan, partisipasi politik dianggap sebagai hasil yang sama sekali tidak layak bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan kebutuhan materinya.

  2. Sinisme, seperti halnya apati, meliputi kepasifan dan ketidak aktifan relatif, merupakan satu sikap yang dapat diterapkan baik pada aktivitas maupun ketidak aktifan. Secara politis sinisme menampilkan diri dalam bentuk; perasaan bahwa politik itu kotor, menjadi politisi itu tidak dapat dipercaya dan lain sebagainya.

  3. Alienasi politik sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berfikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa, yang dilakukan oleh orang lain untuk orang-orang lain, mengikuti sekumpulan aturan-aturan yang tidak adil. Dianggapanyalah bahwa kegiatan politik yang dilakukan oleh penguasa hanya menguntungkan mereka saja, tetapi tidak bagi dirinya.

  4. Anomie, perasaan kehilangan nilai dan ketiadaan arah, dalam mana individu mengalami perasaan ketidak efektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak perduli yang mengakibatkan devaluasi daripada tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.


3. Kegunaan partisipasi politik dalam kehidupan sehari-hari

Khusus di bidang politik, masih ada anggapan bahwa dunia politik itu identik dengan dunia maskulin dan penuh intrik. Anggapan ini muncul akibat adanya “image“ yang tidak sepenuhnya tepat tentang kehidupan politik; yaitu bahwa politik itu kotor, keras, penuh intrik, dan semacamnya, yang diidentikkan dengan karakteristik laki-laki. Selain itu pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik juga cenderung masih rendah. Akibatnya, jumlah masyarakat yang terjun di dunia politik kecil, termasuk di negara-negara yang tingkat demokrasinya dan persamaan hak asasinya cukup tinggi. Sebenarnya partisipasi politik masyarakat sangat penting berkaitan dengan:

  1. Partisipasi politik masyarakat dapat diarahkan untuk mengubah keputusan-keputusan penguasa, juga menggantikan atau bahkan mempertahankan suatu kekuasaan.

  2. Dalam bentuk institusi, partisipasi politik dapat diarahkan untuk mengubah ataupun mempertahankan organisasi sistem politik yang sudah ada, beserta aturan-aturan permainan politiknya.

Selain apa yang dijelaskan di atas, ada beberapa faktor Pendukung dan Penghambat Terhadap Peran Partai Politik dalam Peningkatan Partisipasi politik Masyarakat. Faktor-faktor pendukung bagi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat antara lain yang terpenting adalah:

  1. Masih diterimanya Pancasila serta pembukaan UUD 1945 dan keinginan untuk mengamandemen UUD 1945 merupakan wujud kesadaran berpolitik yang berakar kepada demokratisasi;

  2. Masih berjalan dan kuatnya struktur politik dengan semakin mantapnya kearah demokratisasi;

  3. Makin tingginya kesadaran politik masyarakat, ditunjukkan dengan pelaksanaan pemilu yang berlangsung aman, langsung, umum, bebas dan rahasia; dan

  4. Masih tingginya atensi politik terhadap penyelenggaraan kepemimpinan nasional, menunjukkan sikap mengarah kedewasaan berpolitik.

Faktor-faktor penghambat bagi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat antara lain yang terpenting adalah:

  1. Masih kurang ditaatinya peraturan, perundangan tentang mengeluarkan pendapat dan berkumpul serta masih diragukannya RUU KKN walaupun sudah diperbaiki dan disempurnakan;

  2. Kurangnya dilaksanakan dalam sikap dan tindakan yang lebih mengutamakan kepentingna nasional, dapat mengakibatkan melesetnya arah ketujuan nasional;

  3. Proses demokrasi dengan partai yang sangat banyak dapat memungkinkan lambatnya proses politik;

  4. Kemenangan pro kemerdekaan di Timor Timor menyebabkan suhu politik semakin hangat, ditambah masalah Aceh dan Ambon yang belum tuntas menyebabkan elit politik menggunakan suasana tersebut untuk mendapatkan keuntungan bukan justru memecahkan permasalahan;

  5. Masih adanya ide sparatis yang justru timbul pada saat situasi politik dan ekonomi lemah, serta dihadapkannya TNI dan Polri dalam front politik serta keamanan yang sangat luas.

Sedangkan faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat dapat diidentifikasikan antara lain:

  1. Faktor Sosial Ekonomi ; Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.

  2. Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :

    1. Komunikasi Politik, antara pemerintah (parpol) dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika

    2. Kesadaran Politik, menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan.

    3. Pengetahuan Masyarakat terhadap Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan akan menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil

    4. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik. Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan tertentu. Kontrol untuk mencegah dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik, kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik, memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat, untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan mengenai pembangunan politik .

  3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan Faktor fisik individu sebagai sumber kehidupan termasuk fasilitas serta ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaganya.

  4. Faktor Budaya, Budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, etika politik maupun teknik penerapannya. Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.


4. PENUTUP.

Beberapa permasalahan penting yang sekiranya dapat diangkat sebagai suatu deskripsi indikatif yang merupakan titik-titik tegas dari keseluruhan substansi yang dibahas antara lain adalah:

  1. Peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat khususnya peran sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen, dan sarana pengatur konflik masih belum optimal. Dalam rangka untuk mengoptimalkan peran partai politik tersebut telah disampaikan konsepsi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat, antara lain melalui pembangunan sistem kehidupan yang demokratis dan stabil yang dijabarkan dalam strategi pengembangan partisipasi politik masyarakat dan pembenahan mekanisme hubungan antar komponen dalam sistem politik; dan dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk upaya restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi partai politik dan berbagai aspek yang terkait.

  2. Untuk menjamin berjalannya peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat secara optimal, diperlukan keselarasan dan keseimbangan hubungan antar kekuatan sosial politik dan keseimbangan serta keselarasan peran partai politik itu sendiri baik sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, maupun sebagai sarana pengatur konflik. Hal yang terakhir ini perlu digaris bawahi karena keempat peran tersebut pada hakikatnya saling terkait dan bersifat saling mendukung satu dengan yang lain.

  3. Prospek perkembangan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat sangat tergantung pada kondisi politik secara makro dan tingkat kedewasaan elit politik dalam memainkan perannya sebagai penggerak dan pengorganisasi komponen komponen politik dan kemasyarakatan. Tingkat kesadaran politik rakyat yang sudah cukup tinggi yang terrefleksi dari keberhasilan dalam pelaksanaan Pemilu secara jurdil, luber, dan aman; tidak boleh diposisikan pada situasi yang justru mengakibatkan berbaliknya ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik. Sebab hal itu akan sangat menyulitkan dalam upaya peningkatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat.

  4. Dalam rangka penguatan peran partai politik untuk peningkatan partisipasi politik masyarakat, harus didahului atau terlebih dahulu harus diberdayakan partai politik itu sendiri dalam kancah percaturan politik nasional dengan menempatkannya pada posisi yang kuat dan memiliki daya tawar yang cukup memadai. Caranya adalah dengan restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi partai politik baik yang menyangkut struktur, mekanisme, budayanya, serta kapasitasnya dalam melakukan fungsinya sebagai saluran komunikasi politik.


Daftar Rujukan.

Arbi Sanit, Ormas dan Politik, Lembaga Studi Informasi dan Pembangunan, Jakarta, 1995

Bruce M Russett, et al. World Bank Hand Book of Political and Social Indication, New Haven, Conn, 1964.

Gabriel A. Almond dan Sydney Verba, The Civic Culture, Princeton, 1963

Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, alih bahasa Kartini Kartono, CV Rajawali Jakarta, 1983

Morris Rosenberg, Some Determinant of Political Apathy, Public Opinion Quarterly, 1954 349-366

Samuel P Huntington dan Joan M.Nelson, Partisipasi Politik Tak Ada Pilihan Mudah, PT. Sangkala Pulsar, Jakarta, tanpa tahun.


1 Anonim, Status Sosial Ekonomi Tidak Pengaruhi Partisipasi Politik, Harian Kompas 2 Agustus 2002